Oleh I Komang Suparta
Denpasar (Antara Bali) - Tokoh spiritual Dr Somvir mengatakan politik itu identik dengan perilaku kotor, namun sebenarnya politik itu indah sebagai proses sebuah demokrasi.
"Karena itu bagaimana kita harus mampu mengubah kesan kotor tersebut menjadi indah dan bermartabat menuju demokrasi berkeadilan, serta bisa diubah menjadi politik spiritual," kata Dr Somvir saat ditemui di Kantor Bali-India Foundation di Denpasar, Kamis.
Karena dengan kesan atau identik kotor tersebut, kata dia, maka para spiritual tidak tertarik ikut terjun di dalamnya. Ini sebenarnya tantangan para spiritual harus mampu mengubah kesan kotor itu menjadi politik berspiritual.
"Saya pikir tidak semuanya yang bermain politik itu kotor, masih ada 20 persen yang memang benar-benar ingin menyejahterakan masyarakat. Namun, bagaimana mungkin memperjuangkan aspirasi masyarakat jika tidak masuk ke dalam sistem?" kata ahli yoga yang sudah 20 tahun menetap di Bali.
Oleh karena itu, kata Somvir, dirinya terpanggil hatinya untuk terjun ke dunia politik untuk meluruskan politik yang selama ini terkesan kotor agar menjadi politik Indonesia, khususnya di Bali berdasarkan spiritual.
"Selama ini kami berusaha menyampaikan aspirasi, tapi tetap tidak didengar. Akhirnya, saya berpikir, sebaiknya memang masuk ke dalam sistem agar bisa ikut langsung memberikan kontribusi tepat terhadap harapan masyarakat," kata Somvir.
Ia menyayangkan, banyak sekali Ashram (padepokan spiritual) di
Pulau Dewata, namun hanya beberapa yang mendapatkan bantuan. Padahal,
ashram memberikan banyak kontribusi pada perkembangan fisik dan mental
manusia.
Melihat sejarah India dan Bali yang begitu dekat, kata Somvir ingin
perjuangannya masuk ke ranah politik sebagai salah satu bagian misinya
untuk turut membangun Bali.
Saat ini, ia menilai, banyak politikus bergerak di luar jalan
spiritual sehingga arah kebijakannya lebih banyak mementingkan diri
sendiri dan korupsi. Dengan berjalan di bidang spiritual, ia sangat
yakin, pelan-pelan politik yang identik dengan kotor dapat terkikis dan
sesuai dengan harapan masyarakat.
Ia mengatakan banyak tokoh-tokoh dunia dan nasional menjadi
panutannya seperti Mahatma Gandi, Nehru, termasuk Ir Soekarno. Termasuk
juga pemimpin Bali seperti mantan Gubernur Bali Prof Ida Bagus Mantra,
salah satu pemimpin yang memang menjalankan kepemimpinan dengan
"political spiritual".
Dikatakan politik spiritual mementingkan kejujuran. Misalnya,
bantuan sosial (bansos) yang didapat anggota DPRD sebaiknya
dipublikasikan kepada masyarakat dan didelegasikan sesuai keperluan
masyarakat.
"Bantuan tidak hanya diberikan kepada warga yang memang dekat atau
konstituen pendukung pada saat menjadi calon legislatif saja. Tapi kalau
sudah duduk di parlemen harus merata dan adil, karena mereka sudah
mewakili rakyat semua," katanya.
Selain itu, Somvir lebih lanjut mengatakan transparan sangat diperlukan untuk menunjang kejujuran tersebut.
"Saya justru ingin bila saya berhasil maju dan duduk di lembaga
legislatif, gaji pokok saya sumbangkan ke masyarakat. Itu sebagai bentuk
bagian pengabdian saya selaku anggota DPRD," kata pria yang bergabung
ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Somvir mengatakan dirinya bukan baru memetakan peta politiknya.
Tetapi sejak dua tahun sudah melakukan konsolidasi untuk melihat
bagaimana kondisi masyarakat di pedesaan.
Karena itu, ia ingin mengutamakan tiga program penting dalam
pencalonan di DPRD pada Pemilu Legislatif tahun 2014. Yaitu akan fokus
pada program pemberdayaan perempuan, peduli generasi muda, dan konsen
terhadap pertanian.
Ia ingin membentuk koperasi perempuan di pedesaan untuk membantu
para isteri atau ibu rumah tangga dalam membantu perekonomian keluarga.
Sementara untuk pembinaan generasi muda, ia ingin mengusulkan
memasukkan yoga di semua sekolah. Tujuannya, untuk membuat masyarakat
sejahtera harus dimulai dari menjaga kesehatannya sendiri. Dengan yoga,
masyarakat bisa mendapatkan kesehatan jasmani dan rohani.
"Karena dengan menjalankan yoga saya harapkan mampu meminimalkan
tawuran antargenerasi muda, dan juga pelan-pelan dapat menghapus bibit
keinginan korupsi," ucapnya.
Menurut dia, kalau semua masyarakat dapat menjaga kesehatannya
dengan baik, berapa persen yang akan dihemat untuk biaya kesehatan
masyarakat.
Ia mengaku, sudah dari dulu mengusulkan agar yoga dimasukkan ke
dalam kurikulum sekolah, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi, semua itu bertujuan agar para generasi muda sehat dan cerdas.
Terlebih ke depannya, kata dia, masyarakat Indonesia menghadapi
pasar globalisasi. Disinilah, diperlukan kekuatan mental agar tetap
bertahan dalam kearifan lokal.
"Saya yakin semua itu akan bisa diatasi dengan belajar yoga. Karena
kita akan merasa tenang dan damai walau menghadapi dunia serba
globalisasi," kata Somvir.
Saat ini, Somvir sudah membangun Markandeya Yoga City di Desa
Sukasada, Kabupaten Buleleng. Alasanya berdasarkan pengamatannya,
Buleleng pernah menjadi Ibu Kota Provinsi Bali. Selain itu, para Rsi
suci seperti Rsi Markandeya dalam perjalanan spiritualnya, sebelum
menuju Karangasem, menyempatkan singgah di Buleleng.
Dia pun maju ke arena politik pada Pemilu legislatif mendatang
melalui daerah pemilihan Kecamatan Sukasada, Buleleng. Saat ini tokoh
spiritual asal India banyak mendapat dukungan para penekun spiritual.
"Mereka memiliki aspirasi yang selama ini kurang diserap
pemerintah. Untuk itu, saya maju ke politik untuk dapat mengakomodir
semua aspirasi tersebut," ujar guru yoga yang sudah memiliki sedikitnya
1.000 murid dan melahirkan 120 guru yoga yang tersebar di seluruh
Indonesia.
Somvir mengaku dirinya tidak memiliki ambisi muluk-muluk dan
berjanji kepada masyarakat yang istimewa. Baginya, maju ke politik untuk
mengubah perpolitikan yang sudah dikenal sangat kotor.
"Saya berkeyakinan jika para politikus bisa menjalankan politik
spiritual, maka kesejahteraan dan kedamaian masyarakat dapat
diwujudkan," kata Somvir menegaskan.
Politik Sentimen Keagamaan
Pengamat politik Dr I Nyoman Subanda memandang penggunaan sentimen
keagamaan untuk meraup suara dalam pemilu legislatif dan pemilihan
kepala daerah sudah tidak ampuh lagi.
"Partai-partai politik yang ada justru saya lihat telah mengalami
krisis ideologi, baik yang mengatasnamakan partai nasionalis maupun
agama," kata Subanda di Denpasar, baru-baru ini.
Menurut Subanda, fenomena itu sudah terjadi baik secara nasional
maupun di daerah. Kampanye hitam yang mengatasnamakan agama tidak lagi
mampu menarik simpati masyarakat dan memobilisasi massa.
"Memang cara-cara politisasi agama itu sebenarnya tidak sehat bagi
proses demokrasi dan bernegara dalam NKRI,"kata dosen FISIPOL
Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar itu.
Tidak hanya sentimen berkedok agama, lanjut Subanda, sentimen
kedaerahan pun telah mulai memudar digunakan dalam proses perpolitikan.
Salah satunya kemenangan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, walau pun
dia bukan orang Betawi.
"Di Bali pun, tampak buktinya di Pilkada Buleleng. Putu Agus
Suradnyana yang akhirnya menjadi bupati. Padahal ia sudah dicari-cari
kelemahannya bahwa ia tidak asli Buleleng. Ternyata sentimen kedaerahan
juga tak mempan," ucap Subanda.
Subanda melihat yang justru paling kental dan dinilai efektif oleh
parpol untuk meraup suara rakyat melalui praktik kecurangan dengan
menggunakan politik uang. (LHS)
Somvir Ubah Politik jadi Politik Spiritual
Kamis, 28 Februari 2013 10:23 WIB