Denpasar (ANTARA) - Pergerakan penumpang di Pelabuhan Sanur, Kota Denpasar, Bali, padat, terutama saat akhir pekan, dengan lalu lalang wisatawan menyeberang menuju Pulau Nusa Penida yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Klungkung.
Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Benoa yang menaungi Pelabuhan Sanur mencatat rata-rata pergerakan penumpang per hari di pelabuhan itu mencapai sekitar 7.000 orang untuk periode musim liburan dan saat hari biasa sekitar 3.000 orang.
Selain dari Sanur, jalur menuju pulau mungil dengan luas 202,84 kilometer persegi itu juga bisa melalui Kusamba di daratan Kabupaten Klungkung dan Pelabuhan Padangbai, Kabupaten Karangasem.
Pergerakan orang itu bisa menjadi gambaran tingginya minat kunjungan wisatawan ke Pulau Nusa Penida, termasuk dua gugusan pulau lain di dalamnya, yakni Pulau Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan.
Tiga pulau itu menjadi magnet wisata di Bali, dengan pemandangan alam ikonik punggung bukit di Pantai Kelingking, Nusa Penida, berbentuk mirip hewan purba, dinosaurus T-rex dan potensi bawah laut di pulau tersebut.
Zonasi Penida
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Sistem Data Base Konservasi (Sidako) mencatat di Bali terdapat empat wilayah konservasi perairan, salah satunya Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida, yang paling luas mencapai 20.057 hektare.
Sementara yang lainnya ada di Kawasan Konservasi Maritim Teluk Benoa, dengan luas 1.243 hektare, Kawasan Konservasi Buleleng seluas 18.060 hektare, dan Kawasan Konservasi Karangasem seluas 5.478 hektare.
Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan Nomor 24 Tahun 2014, Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida dikelola sebagai Taman Wisata Perairan.
Daya tarik wisata di pulau itu, di antaranya pariwisata bahari yang wisatawan dapat melakukan snorkling atau menyelam. Karena itu, kawasan tersebut memiliki potensi ekonomi, di antaranya perikanan dan budi daya rumput laut.
Kawasan tiga pulau itu merupakan rumah bagi 296 spesies karang dan 576 spesies ikan karang, sehingga menjadikannya salah satu tempat terbaik untuk berenang bersama pari manta dan bahkan bisa menyelam bersama ikan mola-mola atau giant sunfish.
Dalam Kepmen itu juga sudah diatur zonasi wilayah konservasi, di antaranya zona inti konservasi, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona suci.
Untuk zona inti konservsi seluas 468,85 hektare di wilayah Desa Pejukutan, Toyapakeh, dan Desa Sakti.
Kemudian zona perikanan berkelanjutan, yakni perikanan tradisional seluas 16.915,71 hektare, pariwisata bahari khusus seluas 905,24 hektare, budi daya rumput laut seluas 464,25 hektare.
Kemudian zona pemanfaatan, yakni kawasan untuk pariwisata bahari seluas 1.221,28 hektare dan zona suci seluas 46,71 hektare.
Apabila dikalkukasi, total wilayah pariwisata bahari khusus untuk zona perikanan berkelanjutan dan wilayah pariwisata bahari untuk zona pemanfaatan, total mencapai 2.126,52 hektare, tersebar di Desa Kutampi Kaler, Toyapakeh, Ped, Jungutbatu, dan Lembongan. Kemudian di Desa Suana, Batununggul, Sakti, Ceningan, Bunga Mekar, Batumadeng, dan Batukandik.
Dampak wisata
Tidak bisa dipungkiri, tingginya minat wisatawan berkunjung di Pulau Nusa Penida yang saat ini menjadi magnet di Bali melahirkan dampak lain, salah satunya kerusakan ekosistem bawah laut terumbu karang.
Yayasan independen dan nirlaba, Pusat Segitiga Karang (Coral Triangle Center/CTC) Denpasar, Bali melakukan pengumpulan data kondisi terumbu karang di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida sejak 2008-2024.
Penasehat Konservasi Kelautan CTC Marthen Welly mengungkapkan meski menyedot kunjungan wisata, dari hasil pengamatan selama 16 tahun itu tren kondisi terumbu karang di Nusa Penida cukup stabil atau dalam kondisi baik, dengan persentase rata-rata mencapai 60 persen, dengan perbandingan kesehatan karang untuk persentase 0-25 persen dinilai buruk, kemudian 25-50 persen merupakan tingkat sedang dan di atas 50 persen memiliki kategori baik.
Meskipun begitu, masih ada pekerjaan rumah untuk mempertahankan kondisi kesehatan terumbu karang dan menyelamatkan 40 persen sisa terumbu karang yang dalam kondisi rusak.
Penyebab kerusakan terumbu karang itu, di antaranya penempatan fasilitas wisata yang kurang tepat, misalnya ada beberapa ponton atau platform terapung yang memberi dampak terhadap ekosistem terumbu karang di bawahnya.
Kemudian, aktivitas penyelaman yang merusak terumbu karang, misalnya karena ulah usil oknum penyelam, hingga kecerobohan yang menyebabkan terumbu karang rusak.
Masyarakat tentu masih ingat dengan temuan terumbu karang dicoret-coret oleh penyelam pada sekitar tahun 2016 yang viral dan menyedot perhatian masyarakat nasional dan internasional.
Upaya restorasi
Badan PBB untuk Program Lingkungan (UNEP) mengestimasi terumbu karang memiliki nilai yang signifikan, di antaranya untuk pariwisata, perikanan, perlindungan pesisir, hingga sumber untuk obat-obatan mencapai 2,7 triliun dolar AS per tahun.
Bahkan, terumbu karang yang sehat dapat menyerap karbon dioksida dari atmosfer, sehingga berperan terhadap upaya menekan dampak pemanasan global.
Hanya saja, aktivitas manusia cenderung mendorong degradasi terumbu karang, sehingga membutuhkan upaya pemulihan yang perlu melibatkan kerja sama banyak pihak.
Untuk itu, CTC melakukan restorasi terumbu karang di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida, sejak tiga tahun lalu. Pemetaan dilakukan untuk program restorasi itu menyasar wilayah yang terumbu karangnya rusak.
Di Nusa Penida, metode restorasi dilakukan dengan memasang wadah berbahan besi, dengan bentuk menyerupai bintang atau reef star. Agar fragmen karang menempel dengan baik, wadah tersebut dilapisi pasir.
Tanpa dilapisi pasir, fragmen karang yang hanya diikat di besi, dinilai tidak efektif karena berpotensi lepas dan tidak tumbuh.
Total sudah ada sekitar 1.000 reef star yang ditempatkan di dasar laut atau setara dengan luas sekitar 2.000 meter persegi di sejumlah wilayah di Nusa Penida yang terumbu karangnya rusak, di antaranya di Desa Toya Pakeh dan Desa Ped.
Lokasi lain yang disasar untuk restorasi adalah kawasan Teluk Gamat di Desa Sakti, dengan potensi rehabilitasi mencapai sekitar 5.000 meter persegi.
Upaya restorasi itu tidak semata dilakukan di kawasan terkenal dan menjadi primadona wisatawan, tapi juga di titik lain agar menjadi objek baru, sehingga beban turisme bisa merata.
Periode Maret-Mei dan September-November merupakan waktu yang tepat untuk melakukan restorasi terumbu karang karena mempertimbangkan air laut yang tenang dan musim laut yang stabil.
Kuota penyelaman
Di kawasan Nusa Penida, setidaknya ada sekitar 18 titik penyelaman, namun yang lebih terkenal dan menjadi favorit adalah Crystal Bay dan Manta Point. Akibatnya, aktivitas pariwisata bahari terkonsentrasi di titik tertentu, sehingga beban wisata tidak merata.
Untuk itu, perlu diterapkan kuota dengan cara pendaftaran secara daring, sehingga ada skema bergiliran untuk menyelam. Apabila dalam satu waktu ada 40-45 perahu cepat, dengan asumsi masing-masing kapal membawa empat orang penyelam, maka diperkirakan sebanyak 180 orang menyelam dalam satu waktu dan tempat secara bersamaan.
arena itu, kapasitas perlu diatur, misalnya, maksimal dalam satu waktu 10 kapal, dengan asumsi empat orang atau 40 orang penyelam dan dilanjutkan dengan bergiliran.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali Putu Sumardiana menyebutkan saat ini masih tahap kajian daya dukung lingkungan, khususnya untuk ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi Nusa Penida dan dua pulau lainnya.
Sehingga saat ini belum ada pengaturan terkait kuota di titik penyelaman tertentu. Di satu sisi, penerapan kuota berpotensi memberi dampak terhadap ekonomi, yakni berkurangnya pemasukan.
Namun di sisi lain, ada potensi nilai tambah ketika kuota penyelaman itu diterapkan, yakni memberi ruang lebih besar dalam menjaga keberlanjutan ekosistem terumbu karang sebagai aset berharga untuk jangka panjang.
Transportasi laut dan alat penyelaman yang canggih, bisa jadi tidak memberi arti jika keindahan terumbu karang itu rusak.
Meskipun ada upaya restorasi, namun langkah tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Selain itu, upaya tersebut juga perlu dibarengi dengan menjaga lingkungan agar terhindar dari sampah plastik yang juga berdampak buruk terhadap ekosistem laut.