Denpasar (ANTARA) - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI H Mahyudin berpandangan dengan penguatan kewenangan DPD, maka akan membuat semangat daerah untuk membangun menjadi lebih kuat, sekaligus mengurangi perbedaan antara pusat dan daerah serta daerah satu dengan lainnya.
"Negara yang besar seperti Indonesia ini membutuhkan sebuah lembaga yang merepresentasikan daerah yang kuat karena menghindari agar tidak ada lagi daerah yang merasa tertinggal," kata Mahyudin saat membuka acara FGD di Denpasar, Jumat.
FGD bertajuk Memperkuat Sistem Ketatanegaraan sesuai Rumusan Pendiri Bangsa dalam Konteks Proposal Kenegaraan DPD RI itu dihadiri sejumlah anggota DPD dari beberapa daerah di Tanah Air dan juga anggota DPD Dapil Bali Made Mangku Pastika serta puluhan akademisi dan mahasiswa.
Menurutnya, penting peran DPD sebagai representasi daerah. Mestinya DPD sebagai regional representatif diperkuat agar menjadi seimbang dengan kekuatan DPR sehingga daerah-daerah lebih berdaya dan bisa menghapus perbedaan.
"Negara yang besar ini tidak bisa meniadakan keterwakilan (DPD). Apalagi sampai ada yang ingin meniadakannya. Ini pikiran sesat. Boleh saja mengubah nama lembaga ini, tetapi rohnya harus tetap ada," ujarnya pada acara yang menghadirkan narasumber Edward Thomas Lamury dan akademisi Dr Eka Fitriantini.
Sebelumnya DPD telah mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (UU MD3). Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan telah mengabulkan sebagian permohonan judicial review.
Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan DPD terkait kewenangan dalam membahas RUU dan kewenangan menyusun anggaran secara mandiri.
"DPD dimenangkan. Cuma sampai hari ini DPR belum menurunkan ke dalam UU MD3. Mungkin ke depan kami akan meminta UU DPD itu tersendiri tidak digabung dengan UU MD3. Kemudian kewenangannya sesuai dengan yang diamanatkan UU dan keinginan masyarakat daerah," katanya.
Mahyudin juga menyoroti soal APBN dengan pendapatan yang mencapai Rp2.788 triliun sementara belanja negara Rp3.500 triliun. Ini akan menambah utang lagi, apalagi kalau penggunaan dananya tidak tepat sasaran.
"Kalau bangsa ini mau naik kelas, mestinya pendapatan per kapita harus naik signifikan sehingga generasi yang akan datang hidup lebih baik dari sekarang," ujarnya.
Sementara itu anggota DPD RI Dapil Bali Made Mangku Pastika mengatakan diskusi ini untuk mencari bentuk dan posisi DPD yang pas dalam sistem ketatanegaraan, karena posisi DPD dalam sistem ketatanegaraan dengan UU yang ada masih lemah.
Padahal awalnya DPD dibentuk sebagai lembaga penyeimbang antara eksekutif dan legislatif agar tidak ada dominasi, baik dominasi eksekutif atau dominasi legislatif.
"Sekarang yang terjadi mereka malah bersatu. DPD ya tidak bisa apa-apa. Jadi hasil pengawasan, pembahasan peraturan perundang-undangan, aspirasi dari rakyat itu bentuknya hanya sebagai bahan pertimbangan, rekomendasi baik kepada DPR maupun pemerintah," ucap mantan Gubernur Bali dua periode itu.
Menurut Pastika, kewenangan atau kekuatan "memaksanya" DPD itu tidak ada. "Akibatnya ya suka-suka, banyak yang lolos, apa yang menjadi maunya pemerintah dan maunya DPR. Kalau pemerintah sudah mau, dan DPR setuju ya jalanlah itu. Padahal banyak yang dianggap merugikan kepentingan daerah," kata Pastika.
DPD, kata Pastika tugasnya mewakili daerah. Hal inilah yang sedang dibicarakan, diperjuangkan. Mestinya DPD punya undang-undang sendiri, tidak masuk dalam MD3.
"Kalaupun masuk, harus ada kewenangan yang sejajar, setara supaya bisa menjalankan fungsi penyeimbang. Sekarang 'kan tidak seimbang. DPD hanya memberi pertimbangan, seolah-olah subordinat, bawahan. Harusnya posisinya sama sehingga untuk perubahan itu hanya bisa dilakukan melalui UU," ujarnya.