Jakarta (ANTARA) - Salah satu yang tidak bisa dihilangkan adalah jejak digital. Peringatan ini nyata adanya. Secepat apa seseorang menghapus unggahan yang sudah sempat diunggah di media sosial, saat itu juga jejak digital sudah terekam.
Apalagi sampai ada warganet (netizen) yang menyimpan dalam bentuk tangkapan layar, unggahan itu bisa menjadi bukti kejahatan atau tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Oleh karenanya perlu kehati-hatian, perlu mawas diri, harus cerdas selama berinteraksi di media sosial. Jika tidak, mungkin akan bernasib sama seperti Andi Pangerang Hasanuddin atau AP Hasanuddin.
AP Hasanuddin punya latar belakang pendidikan tinggi dan berprofesi sebagai peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang secara keilmuan sulit diterima oleh nalar bisa terjerumus dalam tindak pidana ujaran kebencian bermuatan SARA terhadap warga Muhammadiyah.
Di era digital saat ini pendidikan tinggi pun tak menjamin seseorang bebas dari jeratan hukum karena unggahan, postingan, maupun cuitannya di media sosial.
Sebut saja, pakar telematika Roy Suryo, terjerat kasus penistaan agama terkait meme Stupa Candi Borobodur yang bagian wajah diedit mirip Presiden Joko Widodo.
Ia dijerat Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat menjatuhkan pidana selama sembilan bulan penjara kepada mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) di era Presiden SBY itu.
Selain Roy Suryo dan AP Hasanuddin, sudah banyak contoh publik figur dan masyarakat umum yang terjerat UU ITE, seperti Jerinx terkait pengancaman terhadap Adam Deni. Adam Deni juga menjadi tersangka terkait pencemaran nama baik yang dilaporkan Ahmad Sahroni (Komisi II DPR RI).
Pentolan grub band Dewa 19 Ahmad Dhani juga ikut terjerat UU ITE karena membuat vlog berisi kata ‘idiot” saat berencana menghadiri deklarasi #2019GantiPresiden di Surabaya, pada Agustus 2018 Silam. Ayah dari Al, El dan Dul itu divonis 1,5 tahun penjara.
Patroli Siber
AP Hasanuddin mungkin tidak menyangka kelelahan dan kesalahannya terlibat dalam diskusi panjang yang menanggapi status yang ditulis oleh rekannya, Thomas Djamaluddin di akun Facebook pada 21 April 2023, telah memancing kemarahan warga Muhammadiyah.
AP Hasanuddin berkomentar dalam unggahan status Thomas Djamaluddin yang mempermasalahkan perbedaan penetapan Idul Fitri 1444 Hijriah/2023 antara Pemerintah dan Muhammadiyah, dengan kata-kata yang tak sepantasnya dikeluarkan oleh seorang berpendidikan dan bekerja sebagai peneliti.
Unggahan itu ia tulis di pukul 15.30 WIB di kediamannya di Jombang, Jawa Timur.
“Perlu saya halalkan gak neh darah darahnya semua Muhammadiyah? apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda Kalender Islam Global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang, sini saya bunuh kalian satu-satu. Silahkan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan, saya siap dipenjara. Saya capek lihat pengaduhan kalian,” tulis AP Hasanuddin kala itu.
Sebelum unggahan itu viral dan memancing kemarahan warga Muhammadiyah, hingga berujung pada laporan polisi tanggal 25 April di Bareskrim Polri dan sejumlah polda, Tim Patroli Siber Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Polri terlebih dahulu menemukan adanya dugaan ujaran kebencian bermuatan SARA yang bernada provokatif yang dilakukan oleh AP Hasanuddin.
Dari temuan tersebut, Tim Patroli Siber melakukan profiling si pengunggah, lalu menganalisis kontennya, jenis pelanggarannya, lalu memeriksanya kepada saksi ahli, yakni ahli bahasa, ahli ITE dan ahli hukum pidana. Setelah itu tim siber menerbitkan laporan informasi untuk diteruskan kepada penyidik Subdit II Dittipidsiber.
Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Adi Vivid A Bactiar menyatakan apa yang ditulis oleh AP Hasanuddin mengandung unsur tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan hasil analisis para ahli.
Dia menghalalkan darah semua warga Muhammadiyah, menakut-nakuti, pengancaman masalah pembunuhannya, yakni pada "akan saya bunuh satu per satu". Kata-kata tersebut, kata ahli, menghalalkan darah warga Muhammadiyah dan mengancam bunuh satu per satu. Dua frasa itu jelas mengandung unsur pidana.
Ancaman medsos
Akibat postingannya, AP Hasanuddin tidak hanya berurusan dengan pihak berwajib. Peneliti berusia 30 tahun itu menghadapi kemarahan warga Muhammadiyah. Sehingga saat akan ditangkap di kediamannya pada 30 April di Jombang, peneliti Astrologi itu sempat meminta perlindungan kepada polisi.
Saat ditampilkan kepada publik melalui media di Bareskrim Polri, Senin (1/5), AP Hasanuddin tidak bersedia untuk bicara ataupun menyampaikan permintaan maaf.
Dari keterangannya kepada penyidik, kalimat bernada ancaman dan ujaran kebencian itu ditulisnya sebagai bentuk kekhilafan dengan alasan lelah dan emosi karena diskusi panjang tiada akhir.
Penyidik juga memastikan tersangka tidak berniat untuk mewujudkan ancamannya untuk membunuh satu per satu warga Muhammadiyah.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengingatkan aparat penegak hukum dan juga masyarakat untuk tidak memandang sebelah mata adanya ancaman pembunuhan, seperti yang dilontarkan oleh peneliti BRIN kepada warga Muhammadiyah.
Sudah banyak contoh yang dapat dijadikan pelajaran dari kasus ancaman yang disampaikan lewat media sosial, seperti situasi-situasi yang terjadi di mancanegara.
Salah satunya, Salvador Ramos, sebelum menembak 19 murid dan dua guru pada Mei 2022, ia mengirim pesan di akun Facebook-nya yang berbunyi “Saya akan melakukan penembakan di sebuah SD”.
Kemudian, Travis McMichael juga meninggalkan jejak digital berupa pesan kebencian pada kalangan tertentu, sebelum menembak orang dari kelompok sosial yang dia benci.
Ketika ancaman pembunuhan saja sudah tidak patut dipandang sebelah mata, apalagi jika ancaman itu diekspresikan dalam bentuk hate crime (kejahatan berlatar kebencian).
Cerdas bermedia sosial
Kini AP Hasanuddin harus mempertanggungjawabkan perbuatan atas kelalaiannya untuk bijak saat bermedia sosial. Ia harus menjalani penahanan di Rutan Bareskrim Polri selama proses penyidikan berlangsung.
AP Hasanuddin menjadi tersangka yang dijerat dengan Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun, denda Rp 1 miliar, dan Pasal 45B juncto Pasal 29 UU ITE dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun dan denda Rp 750 juta.
Dittipidsiber Bareskrim mengimbau masyarakat untuk cerdas dalam bermedia sosial, dalam kondisi apapun. Kondisi capek dan emosi tidak boleh dituangkan di media digital atau internet.
Semua yang diucapkan, dituliskan, divideokan, digambarkan didigitalkan, kemudian diekspos dan diunggah, tidak bisa ditarik lagi. Apalagi bila sudah ditangkap layar oleh orang lain (netizen) Indonesia yang terkenal jeli. Jejak digital tersebut tidak akan hilang.
Sehingga, sebelum mengunggahnya, seseorang harus sadar apa yang diucapkan, apa yang ditulis dan ditayangkan di media sosial, baik itu Twitter, Facebook, maupun Instagram.
Masyarakat perlu diedukasi untuk mencegah terjerat tindak pidana UU ITE. Keteledoran di media sosial tidak memandang umur, maupun latar belakang pendidikan. Siapapun bisa terjerumus bila tak cermat, tidak berhati-hati dan tak bijaksana dalam bermedia sosial.
Banyak celah bisa membuat masyarakat terjerumus. Untuk itu perlu upaya pencegahan dari dua sisi, yakni dari masyarakat untuk bijak bermedia sosial, dan dari sisi kepolisian sebagai aparat penegak hukum.
Dittipidsiber Polri berupaya melakukan upaya pencegahan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat, seperti yang dilakukan polisi siber di beberapa negara, dengan membuat iklan layanan masyarakat, berupa film pendek mencegah penipuan berlatar belakang cinta (love scams).
Untuk pencegahan ini, Dittipidsiber sudah melakukan kajian dan mengupayakan ada kasubdit yang bertugas mengedukasi masyarakat, sebagai langkah pencegahan.
Intinya reserse tidak hanya bisa mengungkap kasus, tapi juga melalukan edukasi, supaya masyarakat tidak terjerat dan tidak menjadi korban atau menjadi pelaku.