Badung (ANTARA) - Pemkab Badung, Bali bersama dengan Forkopimda serta jajaran Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali melakukan koordinasi terkait dengan masalah batas wilayah, terutama pembangunan tapal batas Desa Adat Gelogor Carik, Denpasar yang berada di wilayah administratif Badung dan secara adat masuk wilayah Banjar Adat Temacun, Kuta, Badung.
"Koordinasi ini memang harus segera dilakukan guna menyamakan persepsi terkait dengan permasalahan yang terjadi di lapangan, serta menghindari terjadinya gesekan di bawah," ujar Sekretaris Daerah Badung I Wayan Adi Arnawa di Mangupura, Selasa.
Dalam kesempatan itu, pihaknya meminta pemahaman dari jajaran Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali yang dapat dijadikan dasar dalam menyelesaikan masalah itu.
"Tentunya kami mengharapkan Dinas PMA Bali sesegera mungkin dapat memfasilitasi dengan mengundang pihak-pihak terkait duduk bersama memberi pemahaman dan pengertian sehingga permasalahan ini dapat diselesaikan dengan baik," kata dia.
Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Saputra mengatakan mengenai masalah tapal batas itu pihaknya akan memfasilitasi dengan mengundang majelis dan pihak desa adat, pihak terkait lainnya.
Menurutnya, permasalahan desa adat di Bali cukup banyak. Sejak Pemprov Bali menarik kewenangan desa adat ke provinsi, kemudian menyusun regulasi Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, memang desa adat seperti ada euforia.
"Sebenarnya dalam perda itu, desa adat diberikan kewenangan tetapi ada batas-batasnya. Tapal batas ini memang sangat penting baik bagi desa dinas, desa adat apalagi pemerintahan. Kalau batas administratif pemerintahan itu sudah jelas ada Permendagri yang mengatur, kalau batas-batas wilayah desa adat tidak ada," ungkap dia.
Menurutnya hampir semua batas wilayah desa adat itu adalah alam, saling seluk, beririsan semua, ada yang menggunakan sungai, bukit, dan lainnya sehingga memang sangat sulit menentukan batas-batas wilayah desa adat itu.
Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Saputra menambahkan, ada satu keputusan penting dari Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) hasil pesamuan agung pertama tahun 2006 terutama mengenai batas desa adat.
Dalam keputusan tersebut disebutkan, setiap desa pakraman atau yang saat ini disebut desa adat diusahakan memiliki batas desa yang jelas, karena batas desa pakraman tidak semata-mata berhubungan dengan sumber pendapatan desa.
Melainkan juga berkaitan erat dengan swadarma atau kewajiban dan swadikara atau hak penduduk, krama desa, krama tamiu dan tamiu. Selain itu batas desa juga penting dalam hubungan dengan masalah kesucian desa pakraman.
"Tidak semua desa pakraman dapat dibuatkan batas desa secara jelas. Batas desa yang dapat dibuat jelas patut dibuat secara jelas dalam bentuk peta desa pakraman. Desa atau wilayah tertentu yang sulit dibuat batasnya secara jelas dalam bentuk peta desa pekraman, agar tidak dipaksakan," ujar dia.
Ia menjelaskan, apabila pihaknya membaca hasil pesamuhan agung MUDP ktu, memiliki semangatnya pasuwitran nyatur desa sebenarnya atau bertetangga yang baik.
Menurutnya tidak boleh desa adat itu menentukan sendiri batas wilayahnya. Siapa yang diajak bertetangga itu yang diajak bicara dulu.
"Untuk itu kami dengan majelis desa adat juga akan memberi pembinaan, menyadarkan bahwa desa adat harus bersama bersinergi, berkolaborasi untuk membangun, pada prinsipnya tujuannya sama mensejahterakan krama desa adat, mensejahterakan rakyatnya," pungkas Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Saputra.