Oleh Indriani
Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tumbuhan, 9.000 di antaranya memiliki khasiat obat. Namun jumlah yang tercatat sebagai bahan obat tradisional hanya 6.000 spesies dan sekitar 1.000 jenis tanaman dimangaatkan untuk bahan baku jamu.
Di perairan Indonesia juga terdapat 1.800 kelompok algae, 3.500 jenis protozoa, 1.500 krustasea, 2.500 jenis moluska, 1.400 ekonodermata, 850 jenis koral, 745 jenis echinoderm dan 13.500 jenis hewan.
Kekayaan akan keanekaragaman hayati itulah yang membuat peneliti Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhammad Hanafi, mencoba mengembangkannya sebagai bahan baku obat herbal (Fitofarmaka).
"Bahkan menurut data Ditjen POM, ada 283 spesies tumbuhan obat yang sudah terdaftar digunakan industri tradisional di Indonesia, 180 spesies tumbuhan berasal dari hutan tropika," ujar Hanafi usai pengukuhannya sebagai profesor riset di Jakarta, Jumat (23/11).
Meskipun kaya akan keanekaragaman hayati dan potensi sumber bahan baku obat yang melimpah, tapi tidak banyak hasil yang dicapai.
Kondisi itu bertolak belakang dengan perkembangan masyarakat, khususnya di negara maju. Mereka berlomba-lomba ingin kembali ke alam. Obat tradisional yang semula tidak dilirik, kini menjadi populer.
"Obat tradisional merupakan bahan yang efektif sebagai sumber bahan baku obat. Bahan alam sudah lama dikenal sebagai bahan utama obat-obatan sebelum obat sintesa dikembangkan," katanya.
Penemuan obat baru juga terus dikembangkan --karena obat yang sudah ada sudah resistan dalam mengatasi berbagai penyakit-- yang membuat kerja obat tersebut menjadi kurang efektif.
Berangkat dari hal di atas, Hanafi mencoba menggabungkan antara kimia dan obat tradisional atau yang dikenal dengan sebutan Kimia Medisinal.
"Kimia Medisinal dapat membantu dalam mempercepat dan menghemat biaya dalam penemuan baru," katanya.
Dari hasil penelitiannya selama bertahun-tahun, ayah dua orang anak itu berhasil menemukan obat antikanker dan antikolestrol yang berasal dari mikroba.
Zat antikanker dan kolesterol banyak terdapat dalam tumbuhan maupun mikroba, seperti Garcinia (keluarga manggis), Curcuma (kunyit), Hedyotis (rumput mutiara), Pseudomonas (bakteri dari keluarga gram negatif yang banyak ditemukan di tanah dan air), dan Streptomyces (bakteri dari keluarga gram positif yang menghasilkan spora) yang telah diisolasi dan diidentifikasi senyawa aktifnya.
Setelah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa aktif maka dibuatkan senyawa analognya yang mempunyai potensi dalam menghambat pertumbuhan sel kanker.
Obat untuk antikolestrol adalah senyawa Lipistatin, sedangkan untuk antikanker adalah senyawa Salisil Anilida (SA). Lipistatin adalah turunan dari Lovastatin.
"Berdasarkan uji praklinis, senyawa SA mampu menurunkan kanker. Namun juga menunjukkan sifat toksik. Sementara Lipistatin mempunyai potensi sebagai obat antikolestrol," kata dia.
Perlu Diuji Klinis
Senyawa antikolestrol adalah senyawa yang mampu menghambat kerja enzim HMG-COA reduktase sehingga dapat menurunkan kadar Low Density Protein (LDL-kolestrol) atau kolestrol jahat.
Hanafi mengatakan, saat ini banyak obat antikolestrol turunan statin yang beredar seperti atorvastatin (Lipitor), fluvastatin (Lescol), lovastatin (Mevacor), pravastin (Pravachol), simvastatin (Zocor), rosuvastatin (Crestor) dan cerivastatin (Baycol).
"Namun, sejak 2001 cerivastatin sudah tidak boleh dipasarkan karena efek samping yang ditimbulkan cukup serius," ujarnya.
Senyawa statin dipilih karena terbukti mampu menurunkan kadar kolestrol jahat, lemak, dan menaikkan kadar HDL-kolestrol (kolestrol baik).
Tugas kolesterol HDL adalah menghancurkan kolesterol dari tubuh sebelum sel-sel itu punya kesempatan menghambat kelancaran arteri. Angka HDL harus lebih tinggi untuk mengurangi penyakit jantung.
Dari hasil pengujian, Lipistatin dapat menurunkan kadar kolestrol total sebanyak 31,93 persen, trigliserida (lemak) sebanyak 40 persen, dan LDL sebanyak 25 persen, serta menaikkan kadar HDL sebanyak 23,82 persen.
Peneliti utama LIPI itu juga melakukan uji toksisitas akut. Dari hasil pengamatan selama 14 hari terhadap bobot badan dan berat organ, diketahui bahwa Lipistatin aman digunakan sebagai obat antikolestrol.
Sedangkan hasil sintesis senyawa Salisil Anilida (SA) terbukti mampu menghambat pertumbuhan sel kanker.
Begitu juga dengan uji toksisitas akut dari SA, menunjukkan persentase terbentuknya kanker menurun, namun masih bersifat toksik (beracun).
Untuk dijadikan obat, katanya, perlu dilakukan uji klinis. Namun sayangnya, untuk melakukan uji klinis diperlukan biaya yang tidak sedikit.
Pihaknya sudah mengajukan untuk dilakukan uji klinis ke perusahaan obat, tapi hingga saat ini belum ada tindak lanjut.
"Mungkin karena biaya untuk uji klinis itu mahal, maka hingga sekarang belum ada kabarnya," kata dia.
Dia mengatakan untuk mengembangkan potensi alam untuk dijadikan sebagai obat herbal baik antikanker dan antikolestrol, perlu adanya penentuan prioritas dan fokus dalam melakukan penelitian.
Selain itu perlu adanya komunikasi lebih awal dan intensif dengan pihak industri farmasi untuk mengkomersilakn hasil penelitian. (*/T007)
Tumbuhan Obat Kanker dan Kolesterol
Senin, 26 November 2012 6:10 WIB