Oleh M Hari Atmoko
Pergelaran wayang kulit dengan lakon "Salya Begal" mulai berlangsung malam Minggu, beberapa menit setelah hujan deras mengguyur kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Lakon tersebut hanya dipentaskan setahun sekali, untuk merayakan HUT Boediardjo atau biasa dipanggil Pak Boed, mantan Menteri Penerangan (1968-1973), yang juga pendiri Pondok Tingal sekitar 500 meter timur Candi Borobudur, pegiat sosial, masyarakat, dan budaya.
Pak Boed yang lahir pada 16 November 1921 itu, meninggal dunia pada 15 Maret 1997 dengan pemakaman jenazahnya di kawasan Candi Borobudur, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.
Semasa hidupnya, Pak Boed yang pencinta wayang itu, juga pernah sebagai pejuang kemerdekaan, dinas militer, duta besar RI di Kamboja dan Spanyol, dan menduduki berbagai jabatan baik pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan, termasuk sebagai Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan (1980-1985).
Lakon "Salya Begal", adalah satu di antara empat cerita wayang ciptaannya. Lakon itu dipentaskan pertama kali ketika Pak Boed merayakan HUT ke-75 di Balai Budaya Jakarta dengan dalang Ki Manteb Sudarsono.
"Tiga lakon ciptaan Pak Boed lainnya yakni tentang Durgandini, Banjaran Rama Parasu, Gatotkaca Gugur, dan Kidung Pralaya Sang Senopati," kata Presidium Pondok Seni dan Budaya Boediardjo, Teguh Biyantoro.
Pergelaran "Salya Begal" pada Sabtu (24/11) malam itu, selain secara khusus untuk mengenang Pak Boed, juga bagian dari tradisi pentas wayang kulit, setiap bulan sekali di Pondok Tingal.
Pondok Tingal yang dibangun Pak Boed, selain sebagai hotel, restoran, dan ruang pertemuan, antara lain juga tempat berbagai aktivitas khususnya menyangkut seni, budaya, dan kemasyarakatan.
Hingga saat ini, di kompleks tersebut antara lain telah dibuka Museum Wayang yang mengoleksi berbagai model wayang nusantara dan dari beberapa dari negara lain, buku-buku wayang, rekaman pementasan wayang, dan naskah wayang.
Pentas wayang berdurasi pendek "Salya Begal" malam itu di Gandok Sawitri Pondok Tingal, sebagai pergelaran ke-195 atas agenda rutin bulanan, dengan dalang Sumantri, mahasiswa semester V Program Studi Seni Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Penonton malam itu, tak lebih dari 100 orang penggemar jagat pakeliran.
Para penabuh gamelan dan sinden juga berasal dari perguruan tinggi tersebut. Mereka juga didampingi pengamat pedalangan dan juga dosen Program Studi Seni Pedalangan, Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta Junaidi.
Teguh mengatakan, kisah dan makna detail tentang "Salya Begal" telah ditulis oleh Pak Boed dalam bukunya "Siapa Sudi Saya Dongengi" yang diterbitkan pertama pada 1996 dan kedua 1999 oleh Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
Tentang lakon "Salya Begal", terdapat di akhir buku kumpulan tulisan Pak Boed dengan judul halaman "Liding Dongeng" (moral cerita). Salya begal yang dimaksud dalam lakon wayang itu adalah Prabu Salya (tokoh wayang) dari Kerajaan Mandaraka dibegal oleh Kurawa terkait dengan cerita besar dunia pewayangan, Bharatayuda. Bharatayuda adalah kisah tentang perang antara keluarga Pandawa dengan Kurawa.
"Pelajaran yang ingin disampaikan Pak Boed melalui lakon karyanya itu supaya orang jangan putus asa, kalau putus asa berkepanjangan akan rugi sendiri. Kalau orang punya mau, sesuaikan dengan kehendak Tuhan dan bukan maunya kita," katanya.
Dalam buku itu, Pak Boed menceritakan betapa Salya yang sudah berumur tua itu putus asa karena gagal mencegah perang Barata.
Saat perjalanan dari Mandaraka ke Pandawa menggunakan kereta, ia mengira mendapat sambutan yang hebat oleh Nakula dan Sadewa. Akan tetapi, ternyata ia dibegal oleh Kurawa. Penyambutan yang dirasakan istimewa itu ternyata oleh Duryudhana dan Patih Sengkuni. Mereka membujuk Salya supaya membantu Kurawa dalam perang Barata melawan Pandawa.
"Ternyata Sengkuni dan Duryudana yang memberi pelayanan kepada Salya, berupa makanan dan hiburan. Dia ditipu sehingga terpaksa membela Kurawa," kata Junaidi yang tesisnya pada 2003 untuk program pascasarjana dari UGM Yogyakarta tentang lakon "Salya Begal" itu. Junaidi pada 2010 meraih gelar doktor dari UGM dengan penelitian tentang dalang anak.
Salya yang putus asa karena gagal mencegah perang Barata dikisahkan oleh Pak Boed melalui bukunya itu, antara lain membuang jimat Candrabirawa pemberian almarhum mertuanya, Bagaspati. Narada yang dari langit melihat keadaan Salya itu kemudian memberi tahu Semar.
Semar, dikisahkan dalam lakon itu oleh Pak Boed, lalu turun dari khayangan dan berbicara, memberi nasihat kepada Salya bahwa hidup sering dikaburkan oleh keinginan pribadi yang tiada habis. Kegagalan manusia memenuhi keinginan pribadi membuat putus asa berkepanjangan.
Selain itu, Tuhan membatasi berbagai keinginan manusia dengan cara membatasi kemampuan manusia. "Itulah yang disebut dengan 'manusia tidak sempurna. Jadi dalam hal keinginan, sebaiknya bukan 'aku yang ingin' melainkan "Tuhanlah yang menghendaki' melalui diri kita," tulis Pak Boed.
Junaidi menyebut nilai moral yang diunggah melalui lakon "Salya Begal" hingga saat ini masih tetap aktual dengan perkembangan dan persoalan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Antara lain, upaya gencar memberantas korupsi di Indonesia yang tidak boleh berhenti karena persoalan putus asa.
"'Salya Begal' masih tetap aktual. Orang tidak boleh kecewa berkepanjangan, tidak boleh takut untuk terus memberantas korupsi. Kisah itu juga mengingatkan manusia untuk bersikap pasrah kepada Tuhan. Jangan harap segera berhasil memberantas korupsi, tetapi terus menerus ada upaya," katanya.
Sekitar 15 menit menjelang tengah malam, bunyi tabuhan gamelan pengiring pementasan wayang "Salya Begal" telah berhenti. Tanah dengan rumput halaman kompleks Pondok Tingal masih basah oleh air hujan dan Gandok Sawitri terlihat lengang dengan kelir yang masih tergelar dan perangkat gamelan lengkap yang tetap di tempatnya itu.
Penonton beranjak dari tempat duduknya di gandok itu, sedangkan dalang dan wiyaga telah berganti kostum dari pakaian adat Jawa gaya Yogyakarta menjadi berpakaian biasa. Mereka berjalan menuju bus milik ISI Yogyakarta yang diparkir tak jauh dari gandok itu, untuk kemudian meninggalkan kompleks peninggalan Pak Boed tersebut yang saat ini dikelola oleh anak cucunya.
Tahun depan, Insya Allah, lakon "Salya Begal" dipentaskan lagi dengan mengusung aktualisasi makna tertentu, entah sama atau berbeda dengan pergelaran tahun ini.
Pergelaran wayang kulit dengan lakon khusus "Salya Begal" di kawasan Candi Borobudur, telah menjadi tradisi tahunan yang selain untuk mengenang jasa-jasa Pak Boed, juga mengunggah berbagai pesan aktual atas nilai hidup manusia. (*/T007)