Denpasar (ANTARA) - Pentas kesenian Prembon yang disajikan Sanggar Mumbul Sari, Desa Keramas, Kabupaten Gianyar di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 tak hanya hanya tampil kocak, tetapi sekaligus sarat pesan.
"Kami sampaikan pesan kita mesti menjalankan swadharma (kewajiban) masing-masing dengan baik. Swadharma sebagai pregina (penari), sebagai masyarakat pada umumnya agar selalu eling pada visi pemerintah," kata Koordinator yang juga Ketua Sanggar Mumbul Sari I Wayan Suarta di Denpasar, Kamis.
Prembon dengan didukung 30 seniman tari dan tabuh di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar itu mengangkat judul Eling yang mengingatkan kepada diri sendiri dan orang lain untuk tetap eling atau ingat pada kewajiban masing-masing.
Pergelaran Prembon kali ini juga berbeda karena tidak mengangkat cerita Panji, tetapi mengangkat kisah karangan. "Seperti arti Prembon yaitu dramatari arja yang diperimbuhkan, dikolaborasikan dengan kesenian lain," ujar Suarta.
Kalau dulu dipadukan dengan topeng, ucap dia, namun kali ini prembon disisipkan lagu-lagu dengan menampilkan penyanyi dan musik modern seperti memasukkan keyboard, gitar bass dan kendang Sunda sebagai daya tarik.
"Nah, setelah semua eling dengan swadharma secara sekala (jasmani) dan niskala (rohani) lalu menampilkan suka cita kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menyuguhkan seni. Nah, diakhir pertunjukan prembon ini, kami menyuguhkan seni musik itu sebagai persembahan bahwa kita semua sudah eling," katanya.
Dalam prembon tersebut juga ditampilkan penari pendatang baru yaitu Diah Gek Templon Encong Similikiti dan Desak Rai. Walau sebagai penari prembon pendatang baru, tetapi kedua penari laki yang memerankan tokoh perempuan ini sangat fasih melakoni perannya.
Mereka tak hanya piawai menari, tetapi lihai juga mengocok perut penonton dengan lontaran leluconnya. "Kami lebih memberikan kesempatan atau mengorbit seniman-seniman muda. Termasuk peran cemplon ini," ujarnya.
Dalam prembon berjudul Eling itu dikisahkan di Kerajaan Magada Pura yang diperintah oleh raja bernama Sri Diah Magemblung. Raja ini mempunyai dua putra laki-laki bernama Raden Magada dan Raden Magadon.
Raden Magada diceritakan telah beberapa bulan pergi melakukan konsolidasi dengan kerajaan-kerajaaan tetangga untuk mempererat hubungan baik di bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan. Saat melakukan tugasnya, Raden Magada meninggalkan istri bernama Diah Gek Templon Encong Similikiti.
Raden Magadon yang masih jomblo sangat terpesona dengan kercantikan iparnya itu. Karena pikiran kalut, Raden Magadon ¹1 iparnya, namun diketahui oleh ibunya.
Sang Raja Diah Magemblung lalu menasehati anaknya dan menantunya untuk "eling" atau ingat dengan status swadharmanya. Diah Gek Templon dingatkan untuk eling terhadap suaminya yang sedang bertugas, eling dengan ¹, dan mengajak semua pengunjung yang hadir untuk eling pada swadarmanya masing-masing.
Pentas Prembon oleh Sanggar Mumbul Sari di PKB tampil kocak dan sarat pesan
Kamis, 23 Juni 2022 23:08 WIB