Karangasem (Antara Bali) - Desa adat Tenganan yang terletak di Kabupaten Karangasem atau berjarak 65 kilometer dari kota Denpasar menolak investor masuk demi mempertahankan kelestarian adat dan budaya.
"Banyak investor, baik dari lokal maupun asing yang ingin membeli tanah dengan pemandangan pegunungan, namun kami langsung menolak meskipun tawarannya sangat tinggi. Berapapun harga yang kami minta pasti investor akan membeli," kata Kepala Desa (Perbekel) Tenganan I Putu Suarjana kepada ANTARA di Karangasem, Sabtu.
Ia mengemukakan, pihaknya bersama warga memiliki komitmen tinggi untuk tetap melestarikan budaya yang telah diwarisi leluhurnya secara turun menurun. Investor banyak mengincar tanah di desa itu untuk membangun fasilitas penginapan bagi wisatawan.
Desa Tenganan merupakan salah satu bentuk dari Bali Aga (Bali Kuno) yang terletak di kaki pegunungan dan sampai saat ini masih terus mempertahankan budaya asli.
Desa ini telah memiliki peraturan desa (awig-awig) yang memuat sejumlah ketentuan dan disepakati seluruh masyarakat, seperti tentang ahli waris, perkawinan, perceraian, kematian. Bahkan termasuk penggunaan aset kayu maupun buah-buahan yang ada di hutan, sampai dengan pelarangan menggadaikan aset tanah ke luar wilayah desa.
Desa adat Tenganan memiliki luas 917,5 hektare yang peruntukkannya telah dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu delapan persen untuk pemukiman, 22 persen untuk areal persawahan, dan 70 persen untuk lahan kering, tegalan, dan hutan.
"Kami masih tetap menghormati porsi itu dari sisi tata ruang dan semua lahan itu tidak boleh dialihfungsikan. Kalau memang sawah ya untuk sawah, dan tidak boleh areal hutan dipakai untuk lahan pemukiman," kata Suarjana.
Tak hanya itu, dalam aturan tertulis desa juga dimuat dari transaksi penjualan tidak boleh menggadaikan atau menjual tanah keluar desa adat sehingga lahan tetap utuh sampai sekarang. Kalaupun ada pengurangan, hal itu hanya terjadi pada pengikisan tanah.
Desa Tenganan itu pertama kali justru diperkenalkan oleh seorang sarjana asal Belanda bernama FE Korn yang pernah menulis buku berjudul 'The Republic Tenganan of Pegeringsingan.'
Pariwisata Bali sendiri mulai 'Booming' sekitar tahun 1980-an dan hal ini terus berkembang sampai akhirnya banyak agen perjalanan yang memanfaatkan desa ini sebagai salah satu tujuan pariwisata.
Sampai pada suatu saat ada rombongan tamu yang datang dari Prancis sekitar tahun 1990-an menyewa sebuah tempat di depan pura untuk menempatkan makanan ringan mereka. Setelah itu, banyak bekas plastik pembungkus yang berserakan dan mulai dari sinilah muncul kesadaran masyarakat bahwa sampah plastik tidak boleh dibiarkan berserakan.
Pada 12 Oktober 2002, terjadi ledakan bom Bali yang mengancam kondisi pariwisata Bali dan inilah titik balik pariwisata ekowisata yang menjadi harapan bagi masyarakat Tenganan dengan sumber alam yang melimpah. Mereka beranggapan jika mengandalkan pariwisata massal, maka Bali akan kehilangan daya tariknya. Satu-satunya cara adalah menangani ekowisata.
"Sesama desa ekowisata saling menjalin hubungan yang baik dan saling melengkapi, seperti Desa Plaga yang memiliki hasil melimpah perkebunan kopi, sementara Tenganan memiliki hasil kelapa yang melimpah. Hal ini bisa kami lakukan dengan sistem barter untuk dapat saling melengkapi," ujar dia.
Aturan desa tak hanya mengatur tanah milik desa, tapi juga tanah milik pribadi pun pemanfaatannya diatur oleh desa dan tidak boleh digunakan secara sembarangan.(*)