Depok (ANTARA) - Ketua Ikatan Alumni (ILUNI) Universitas Indonesia (UI) Anita Wahid mengatakan hoaks menjadi berbahaya bukan hanya karena informasinya yang salah, tapi karena hoaks sengaja dibuat dengan tujuan memainkan emosi manusia untuk menimbulkan rasa takut dan cemas berlebihan, sehingga nalar berpikir menjadi terganggu.
"Dengan matinya nalar, maka proses berpikir kita akan rusak dan sulit mengambil keputusan-keputusan yang objektif," kata Anita Wahid dalam keterangannya, Minggu.
Anita mengatakan hal tersebut ketika tampil sebagai pembicara pada sesi Masterclass: Critical Thinking, di acara Kegiatan Awal Mahasiswa Baru (KAMABA) UI tahun akademik 2021/2022. Sesi tersebut bertujuan membangun daya nalar para mahasiswa baru agar bisa berpikir kritis di tengah masyarakat digital. Anita menyampaikan topik “Membentuk dan Membangun Kemampuan untuk Filtrasi Informasi di Era Post Truth dan Hyper Reality”.
Menurut Anita ada dua kelompok emosi yang mudah dipengaruhi hoaks. Pertama, emosi yang muncul ketika merasa ada ancaman terhadap keselamatan dan keamanan suatu individu, seperti hoaks tentang kesehatan, bencana alam, atau kriminalitas. Kedua, emosi yang muncul ketika merasa ada ancaman terhadap identitas seseorang, seperti hoaks tentang politik, agama, etnisitas, maupun ideologi.
Baca juga: Dokter Reisa: Hoaks jadi tantangan utama vaksinasi
Berita hoaks pada akhirnya akan menimbulkan rasa curiga, tidak percaya, marah ataupun benci terhadap kelompok tertentu. Jika seseorang sudah terpengaruh hoaks, maka individu tersebut akan mudah dan rentan untuk melakukan dikotomi atau polarisasi, yaitu pengelompokan pemikiran yang saling bertentangan.
"Ketika sudah masuk ke dalam polarisasi ini, pandangan kita akan sangat tribal. Kita hanya melihat hal-hal baik dari kelompok kita, dan hanya melihat hal-hal buruk dari kelompok yang bertentangan dengan kita,” ujarnya menjelaskan.
Efek kacamata tribal (kesukuan) akan menghasilkan pemikiran bahwa hal yang kelompok tersebut lakukan adalah karena kecintaan terhadap bangsa dan negara, tanpa menyadari telah menjadi alat untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Akibatnya, labelling, stigma, menjadi gampang untuk disematkan kepada kelompok tertentu hanya karena pandangan yang berbeda, fakta dan data menjadi tidak relevan. Inilah apa yang dinamakan era post-truth di mana kebenaran hanyalah apa yang sesuai dengan kepentingan kelompok atau pemikiran kita, bukan lagi berdasar kepada fakta dan data. Terjebak pada ruang pemikiran sendiri, melihat segala sesuatu dengan kacamata kuda,” katanya.
Dampak buruk hoaks akan sangat terasa baik di tingkat individu, masyarakat, maupun bangsa. Di tingkat individu, seseorang menjadi kehilangan kemampuan berpikir kritis, penuh kecurigaan, dan kebencian. Di tingkat masyarakat, ia membentuk masyarakat post-truth, yaitu masyarakat yang kasar, mudah termakan teori konspirasi, dan penuh keresahan sosial karena mempunyai ketidakpercayaan yang tinggi kepada pemimpin.
Baca juga: Psikiater: Hoaks membuat terlena dan tidak tepat ambil keputusan
Bagi sebuah bangsa, hoaks menjadi sesuatu yang berbahaya. Ia bisa membawa pengaruh disintegrasi, cepat atau lambat. Untuk menghadapi dampak buruk tersebut, masing-masing individu harus memiliki berbagai kompetensi supaya tidak termakan hoaks. Kompetensi yang dimaksud meliputi digital skills, digital culture, digital ethics, digital safety, dan yang paling penting adalah kemampuan berpikir kritis.
Berpikir kritis adalah sebuah proses yang komponen utamanya adalah mengecek fakta yang dianggap benar. Selain itu, untuk mencapai kemampuan ini sebelumnya harus mengecek logika atau proses dalam berpikir. Berpikir kritis tidak hanya menyangkut informasi yang diterima, tetapi juga melibatkan diri dalam proses reflektif dan berpikir independen.
Anita menyampaikan tentang penggunaan nilai-nilai inti sebagai sarana mengkaji informasi yang ada di sekitar. "Nilai-nilai itu bebas ditentukan. Saya sebagai salah seorang anak dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden keempat Indonesia, menggunakan sembilan nilai utama Gus Dur sebagai tolok ukur keteladanan," katanya.
Ia melanjutkan nilai-nilai tersebut adalah nilai ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan lokal.” Dengan memiliki dan mengamalkan nilai-nilai tersebut, diharapkan bisa menjadi panduan dalam derasnya informasi yang beredar luas saat ini.
Tips Facebook
Sementara itu, Facebook turut membantu Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Kementerian Kesehatan untuk menyediakan informasi akurat tentang COVID-19.
Berikut adalah enam tips dari Facebook mengutip siaran persnya, Jumat, untuk menjaga komunitas di Indonesia tetap terinformasi secara memadai dan melawan misinformasi COVID-19 secara kolektif demi menjaga satu sama lain tetap aman di masa pandemi ini.
1. Dapatkan keseluruhan cerita, bukan hanya tajuk berita
Pengguna ada baiknya membaca keseluruhan berita dan hati- hati dengan gambar, angka, kutipan, dan tanggal yang tidak memiliki sumber, sudah usang, atau telah diambil di luar konteks.
2. Sumber tepercaya adalah pilihan teraman bagi Anda
Periksa bagian “Tentang” dari sumber tersebut atau lakukan pencarian cepat untuk mempelajari lebih lanjut.
Anda juga dapat memeriksa apakah otoritas kesehatan masyarakat mengonfirmasi atau menentang informasi tersebut.
Tentunya dengan demikian anda bisa memastikan sumber bacaan dan informasi yang anda terima termasuk sumber yang akurat atau bukan.
3. Bagikan fakta, bukan rumor
Cari petunjuk kecil yang mengarah ke informasi yang salah yaitu URL palsu, ejaan yang buruk, atau tata letak yang janggal.
Jika terasa terlalu banyak hal yang tidak sesuai, maka ada baiknya anda tidak perlu membagikan informasi itu.
Baca juga: Vaksinolog: Proteksi Vaksin COVID-19 tidak turun meski kadar antibodi turun
4. Dapatkan konteks lengkap dari sumber yang kredibel
Cari laporan lain dari sumber yang dapat dipercaya untuk memverifikasi bahwa cerita tersebut mengandung informasi akurat dari otoritas kesehatan.
Jangan hanya terpaku pada satu sumber, di era informasi selain informasi yang bertebaran, tentunya semakin banyak cara juga untuk memastikan informasi itu benar atau tidak.
Dengan melakukan pemeriksaan ke sumber- sumber lain terkait informasi tersebut anda dapat memastikan benar atau tidaknya sebuah informasi yang anda terima di media sosial.
5. Jika cerita atau informasi yang tidak akurat baru saja dibagikan oleh teman atau anggota keluarga
Kirimkan pesan pribadi untuk memberitahu mereka bahwa informasi yang dibagikannya kurang tepat.
Lalu bagaimana jika ternyata unggahan tersebut terlanjur viral dan banyak disukai?
Ada baiknya anda melakukan koreksi publik secara halus dengan menyertakan tautan berisikan informasi akurat.
6. Pikir dulu sebelum membagikan
Beberapa cerita mungkin menggunakan bahasa emosional yang kuat tanpa memberikan fakta. Jadi coba #TahanDulu sebelum membagikan ceritanya ke orang lain.
Periksa keakuratannya dulu dan atau merujuklah ke sumber tepercaya seperti situs Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Halaman Kementerian Kesehatan.
Baca juga: Menkominfo minta medsos bantu atasi hoaks COVID-19
Dengan demikian anda bisa melindungi diri sendiri, keluarga, serta lingkungan anda dari misinformasi yang bisa membuat kesalahapahaman.
Hingga Juli 2021, sebanyak 12 juta konten misinformasi tentang COVID-19 dan vaksinasi telah dihapus di platform Facebook secara global.
Selain itu unggahan sebanyak 167 juta konten telah ditandai salah oleh pemeriksa fakta atau “fact checker” dari pihak ketiga mengenai konten- kontenterkait COVID-19.
Rupanya ketika pengguna melihat label itu, artinya 95 persen dari mereka yang melihat konten tidak melihat konten orisinilnya.
Maka dari itu selain upaya pencegahan yang dilakukan oleh pengelola aplikasi dan berbagai otoritas di Pemerintah, masyarakat pun harus secara aktif melindungi dirinya sendiri dari informasi yang tidak benar sehingga tetap terlindungi dan tidak menjadi salah paham.
Anita Wahid: Hoaks berbahaya karena mainkan emosi (+tips Facebook)
Senin, 2 Agustus 2021 10:12 WIB
Inilah apa yang dinamakan era post-truth di mana kebenaran hanyalah apa yang sesuai dengan kepentingan kelompok atau pemikiran kita, bukan lagi berdasar kepada fakta dan data. Terjebak pada ruang pemikiran sendiri, melihat segala sesuatu dengan kacam