Unggahan yang ditemukan di Facebook tersebut menyandingkan tiga gambar. Pertama, gambar tangkapan layar berita Kompas.com dengan judul "Argo Yuwono: Salah satu pelaku bom Gereja Katedral Makassar, adalah eks anggota intel yang telah dipecat".
Kedua, gambar seorang pria yang memakai sorban. Gambar tersebut adalah gambar pelaku pengeboman sebelum pelaku melakukan aksi teror.
Kemudian gambar terakhir merupakan tampilan seorang pria yang sedang berdiri dan memegang papan bertuliskan biodata diri termasuk agama yang disebut Protestan dan juga pekerjaan yang disebut sebagai eks-intel Polres Makassar.
Namun, benarkah unggahan tersebut terkait pelaku pengeboman adalah mantan polisi?
Baca juga: Kapolri: Terduga teroris di Mabes berideologi radikal ISIS
Penelusuran ANTARA tidak menemukan informasi terpercaya yang mendukung unggahan di media sosial itu, kemudian, tidak ditemukan pula judul pemberitaan di media Kompas.com persis sebagaimana disebut dalam unggahan media sosial itu.
Dalam berita Kompas.com, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan pelaku pengebom Gereja Katedral Makassar adalah suami-istri yang berafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daullah (JAD), bukan beragama Protestan seperti yang disebar oleh unggahan di media sosial.
Kemudian, foto kedua dan foto ketiga bukanlah dua orang yang sama. Foto kedua adalah foto pelaku pengeboman Gereja Katedral Makassar dengan inisial L. Sedangkan foto ketiga adalah pelaku penusukan Syekh Ali Jaber di Lampung pada September 2020.
Surat wasiat
Terkait surat wasiat yang isinya tidak jauh berbeda satu sama lain antara pengebom di Makassar dan Mabes Polri, pakar Linguistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Makyun Subuki menyebut pelaku aksi terorisme di Makassar (28/3/2021) dan Jakarta (31/3/2021) yang meninggalkan surat wasiat yang isinya mirip itu merupakan kode bagi pelaku teror yang lain dalam jaringan yang sama.
“Surat itu bisa jadi merupakan semacam ‘lolongan anjing’, di mana kode-kode tertentu, misalnya template, di dalamnya langsung dapat dipahami oleh sesama anggota dan menjadi pengingat bagi sesama anggota jaringan untuk segera bertindak,” katanya.
Seandainya template surat itu benar-benar ada, maka upaya menggerakkan orang untuk bunuh diri ini dipastikan ada dan sangat terstruktur. “Kalau kedua pelaku ini tidak pernah bertemu, berarti jejaring mereka sudah tersebar di berbagai kota,” terang alumnus Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu.
Makyun melihat beberapa kemiripan pada isi surat wasiat dua pelaku teror yang tidak saling kenal dan tinggal berjauhan itu. Pada pembukaannya, kedua surat tersebut menyebut kalimat yang sama persis, yakni “Wasiat kepada orang yang saya cintai karena Allah”. Surat juga ditutup dengan harapan yang sama, yaitu bertemu di surga.
Baca juga: Korban bom Gereja Katedral Makassar jadi 20 orang
“Bagian awal surat itu menunjukkan keganjilan yang mungkin akan dengan segera menimbulkan pertanyaan, bagaimana kesamaan semacam itu dapat terjadi,” ujarnya. Kesamaan lainnya, lanjut Makyun, kedua pelaku itu menuliskan permintaan maaf kepada orang tua, mengingatkan ibadah, dan berdoa agar dapat masuk surga.
Pesan yang disampaikan berikutnya juga sama, yakni pengulangan permintaan maaf dan sama-sama menggunakan frasa “sekali lagi”. Hal tersebut menegaskan bahwa mereka benar-benar menyayangi orang tua mereka, dan mengakhirinya dengan kalimat yang persis sama, “Tapi Allah menyayangi hamba-Nya.”
Rangkaian awal surat ini diakhiri dengan pesan yang sama, yaitu agar orang tua mereka menjauhi bank, karena termasuk riba. Bagian berikutnya tampak merupakan bagian yang dibuat sendiri oleh mereka, sebab pesan yang disimpan lebih bersifat pribadi dengan karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain.
Pelaku teror di Makassar menyebut sejumlah uang yang dimilikinya yang dapat digunakan untuk melunasi pinjaman bank keluarganya. Sementara pelaku teror di Jakarta memberikan nasihat soal keharaman bekerja untuk pemerintah yang disebutnya taghut.
Setelah satu perbedaan ini, isi pesan kembali sama, yaitu meminta kepada saudara mereka untuk menjaga orang tua. Hanya saja, pesan pelaku teror di Makassar diawali dengan permintaan maaf kepada saudaranya, sedangkan pesan pelaku teror di Jakarta tidak.
Selanjutnya, pelaku teror Makassar mengakhiri surat, sedangkan pelaku teror Jakarta melanjutkan surat dengan pesan tentang nasihat beribadah, berpenghasilan halal, mendekati ulama, tidak membanggakan Ahok kafir, memakai hijab, menonton video dakwah, permintaan maaf, jihad sebagai ajaran utama, tidak ikut pemilu, demokrasi produk kafir, dan sebagainya.
Meskipun ada perbedaan, secara keseluruhan, sebagian besar surat tersebut berisi hal yang serupa. Sasaran dari tindakan teror mereka juga terepresentasikan di dalam surat pelaku teror di Jakarta, yaitu sikap permusuhan terhadap gereja sebagai simbol orang kafir dan institusi polisi sebagai bagian dari negara demokrasi.
Dua sasaran itu belum mencakup semua hal yang dimusuhi dan disebut di dalam surat, misalnya bank, Pemilu, demokrasi, UUD, Pancasila, dan seterusnya. “Apabila kita memberikan kekhawatiran yang berlebih terhadap kedua surat itu, institusi perbankan dan kantor pemerintahan patut diduga termasuk hal yang akan menjadi sasaran,” pungkas Makyun.