Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menanggapi tantangan aktivis mahasiswa Cipayung Plus dalam debat terbuka mengenai UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Debat terbuka itu digelar di Jakarta, Rabu (4/11) malam, yang juga disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube BKPM.
Dalam debat terbuka itu, sebanyak delapan organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) menyampaikan alasan keberatannya atas UU Cipta Kerja yang dinilai tidak menjawab kebutuhan penciptaan kerja sebagaimana namanya. Pembahasan dan penyusunan UU Cipta Kerja juga dinilai tidak melibatkan partisipasi publik sehingga tidak transparan.
"UU Cipta Kerja tidak disusun untuk penyelesaian pengangguran. Ini cuma politik hukum dari proyeksi IMF untuk mencapai pertumbuhan ekonomi," kata Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Susanto Triyogo.
Susanto juga menilai UU Cipta Kerja bagai ilusi terhadap investasi. Pasalnya, tren investasi sepanjang 2015-2019 yang terus meningkat tidak sebanding dengan serapan tenaga kerjanya.
"Kami juga melihat untuk masalah birokrasi berputar (berbelit), ada Inpres Nomor 7 Tahun 2019. Naiknya investasi juga belum menjamin penciptaan lapangan kerja," imbuh Susanto.
Baca juga: Anggota DPR: Indonesia makin siap bersaing dengan Omnibus Law
Senada dengan itu, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Arya Kharisma menilai masalah kemudahan perizinan dan upaya menarik investasi tidak cukup menjadi landasan bagi UU Cipta Kerja masuk ke semua lini.
"Soal investasi, kenapa akhir-akhir ini dibilang butuh menarik investasi, tapi kondisinya baik, naik terus. Ironisnya ini tidak beriringan dengan daya serap tenaga kerja. Sudah bahan baku tidak diambil dari dalam negeri, serapan tenaga kerjanya juga tidak besar," katanya.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) Najih Prastiyo menyoroti banyaknya aturan turunan UU Cipta kerja yang akan disusun nantinya yang justru kontradiktif dengan keinginan Presiden Jokowi untuk menyederhanakan aturan.
"Saya mengapresiasi Presiden Jokowi yang akan memangkas UU yang hambat investasi, tapi kemudia dia menjelaskan dari UU Cipta Kerja ini nanti ada peraturan pemerintah dan banyak lagi turunan ini itu. Kalau tujuannya aturan baru di bawahnya, apa hubungannya dengan perampingan yang disampaikan di awal?" ungkap Najih.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Benidiktus Papa menyoroti pengebirian aturan mengenai lingkungan hidup yang dalam UU Cipta Kerja. Ada pun Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) menilai UU Cipta Kerja sangat sentralitas, jauh dari semangat reformasi yang mendorong desentralisasi.
"Lalu, soal pengelolaan tanah, pemerintah mengatakan ini akan digunakan untuk pembangunan. Kalau mau bangun bangsa Indonesia, jangan kasih ke investor, coba kasih ke masyarakat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat 2," kata Ketua Umum KMHDI I Kadek Andre Nuaba.
Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonensia (GMKI) Corneles Galanjinjinay menilai UU Cipta Kerja sebaiknya disebut UU kemudahan investasi karena substansinya yang lebih memudahkan investasi, bukannya menciptakan lapangan kerja.
"Substansinya juga kita ragukan akan menjamin investasi ke depan," katanya.
Baca juga: Stafsus Menaker Dita Indah Sari: UU Cipta Kerja tetap akomodasi buruh
Tanggapan Kepala BKPM
Menanggapi masukan-masukan dari kalangan aktivis, Bahlil mengakui kurangnya sosialisasi dalam proses perundang-undangan. Namun, dalam penyusunan 36 peraturan pemerintah (PP) turunan UU Cipta Kerja nanti, pemerintah akan membuka masukan publik secara terbuka.
"Kami menyadari sosialisasi kurang. Maka dalam penyusunan 36 PP, kita akan buka posko untuk menerima masukan secara terbuka. Bahkan kita akan buka web supaya tidak ada kesan (diam-diam). Kita buka," katanya.
Bahlil juga mengajak rekan-rekan aktivis mahasiswa untuk ikut berpartisipasi dalam penyusunan aturan turunan UU Cipta Kerja.
"UU ini pasti banyak yang menurut teman-teman perlu diperbaiki. Ruang memperbaikinya ada. Saya menawarkan, PP lagi dibuat, ayo teman-teman bikin rekomendasi pasal per pasal. Saya kawal dan saya akan bertanggung jawab," imbuhnya.
Baca juga: DPR: UMKM adalah penyelamat ekonomi Indonesia
Lebih lanjut, mantan Ketua Umum Hipmi itu menjelaskan alasan tren investasi di Indonesia yang terus meningkat tapi tidak sejalan dengan penyerapan tenaga kerja. Hal itu terjadi karena adanya transformasi ekonomi, di mana Indonesia sedang mendorong nilai tambah.
"Kalau tidak menciptakan nilai tambah, dari zaman VOC kita akan kirim (ekspor) bahan baku terus. Presiden perintahkan setiap sumber daya alam harus didorong agar menciptakan nilai tambah, dan ada industri turunan yang beri tenaga kerja tidak langsung," katanya.
Namun, kata Bahlil, penciptaan tenaga kerja tidak langsung dari kegiatan investasi tetap terjadi. Ada pun hitungan tenaga kerja yang terserap langsung melalui kegiatan investasi pada 2019 memang tercatat sekitar 1,2 juta orang dari total Rp809 triliun investasi yang masuk.
Terkait Inpres Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha, Bahlil menjelaskan Inpres tersebut hanya memerintahkan pendelegasian wewenang dari 22 kementerian/lembaga kepada BKPM.
"Tapi proses notifikasinya belum ada aturan yang membatasi berapa lamanya. Di UU Cipta Kerja ada NSPK, itu yang jadi kinci K/L, bupati, gubernur agar tidak lama beri izin. Di Inpres itu tidak ada," katanya.
Baca juga: Bertemu Pemred, Menaker: UU Cipta Kerja sediakan lapangan kerja sebanyak mungkin
Sementara itu, terkait masalah upah yang juga jadi sorotan banyak pihak, Bahlil menegaskan tidak ada penghapusan upah minimum kabupaten/kota. Ia bahkan akan meminta Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah untuk bisa membuka ruang soal masalah upah di UU Cipta Kerja.
"Soal upah, bukan tidak ada upah kabupaten/kota, ada tuh. Kalau masih diragukan, saya bilang ke Bu Menaker diperkuat lagi, dimasukkan ke PP. Kita buka ruang kok," pungkasnya.