Oleh I Ketut Sutika
Dentingan suara genta, semerbak wangi bunga dan dupa menyebar dalam lingkungan banjar yang kondisinya masih asri dan lestari di Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri.
Banjar itu berlokasi bersebelahan dengan Candi Pahlawan Taman Pujaan Bangsa Margarana, 25 km arah barat daya Kota Denpasar.
Puja-puji sang pendeta yang secara silih berganti memimpin ritual pediksan (penobatan) Ir Ida Bagus Tantra (60) dan istrinya Ida Ayu Artini, SKM, MM (56) menjadi Ida Pedanda dengan diiringi gemerencingan irama gamelan yang ditabuh ibu-ibu anggota PKK setempat yang tengah mempersiapkan diri mewakili duta seni Kabupaten Tabanan mengikuti Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-34 di Taman Budaya Denpasar, Juni mendatang.
Hampir setiap hari pedanda secara bergantian memimpin kegiatan ritual yang diiringi dengan mengumandangkan lagu-lagu kerohanian oleh Sekaa Santi Eka Darma Banjar Ole maupun sekaa angklung dari desa tetangga Banjar Kelaci yang puncaknya bertepatan dengan Purnama Kedasa pada hari Jumat (6/4).
Setelah dinobatkan Ida Bagus Tantra yang sebelumnya seorang wiraswasta itu bergelar (mabiseke) Ida Pedanda Gede Cau Pasuruan dan istrinya Ida Pedanda Istri Raka Patmi.
Kegiatan tersebut dihadiri Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Tabanan dr I Wayan Arwata, MM, Ketua Paruman Sulinggih/Dharma Upapati PHDI Tabanan Ida Pedanda Gede Sukawati Manuaba yang sebelumnya telah melakukan diksa pariksa, yakni mengetes kemampuan suami-istri tersebut menyangkut Tatwa, susila dan acara/upakara.
Selain itu dihadiri puluhan pedanda dari sejumlah Kabupaten/Kota di Bali, termasuk tokoh spiritual Bali Ida Pedanda Made Gunung yang juga Ketua Dharma Gosaka Pusat.
Rangkaian kegiatan ritual menurut Ketua Panitia Ir Ida Bagus Gandem telah berlangsung sejak pertengahan maret 2012. Hampir setiap hari selama tiga minggu itu ada puluhan warga, bahkan hari-hari tertentu melibatkan 290 kepala keluarga (KK) banjar setempat untuk membantu kelancarannya.
Ida Pedanda Gede Sukawati, Ketua Paruman Sulinggih PHDI Kabupaten Tabanan pada acara "diksa pariksa" yakni menguji kemampuan suami-istri itu menanyakan, siapa yang mendorong untuk menjadi Ida Pedanda.
Ida Bagus Tantra, sosok pria yang berpenampilan sederhana itu secara tegas menjawab, atas kesadaran sendiri untuk mengabdikan dalam memberikan pelayanan kepada umat. Kesadaran itu tumbuh secara ikhlas yang tidak datang secara tiba-tiba saat umat membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual dalam menghadapi kehidupan sehari-hari yang semakin berat dan komplek.
Pia kelahiran Griya Banjar Ole, 18 Juli 1952 itu, sejak anak-anak hingga memasuki usia remaja penampilannya tidak pernah berubah seperti sekarang. Menjalani kehidupan pada masa anak-anak 1958-1964 menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) atau sekolah dasar (SD) di Desa Tujuk hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumahnya.
Seperti kebanyakan anak desa saat itu, waktu pulang sekolah kegiatannya lebih banyak membantu orang tua di sawah sambil bermain dengan teman-temannya di sawah.
Sekali-sekali bermain sepak bola menggunakan buah jeruk bersama teman-temannya di jalan desa yang jauh dari keramaian kota.
Mengembala itik, menyabit rumput untuk ternak piaraan merupakan aktivitas keseharian yang dilakoninya hingga taman Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Marga (1966-1968).
Ida Bagus Tantra yang akrab disapa Gus Man merupakan anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Ida Bagus Cau (alm) dan Ida Ayu Ketut Puspem (alm). Setelah menamatkan pendidikan SMPN Marga, melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Tabanan, Bersama teman sepermainnya di desa antara lain I Wayan Sudiarsa (alm) dan I Made Sukerta (alm) serta satu kelas di bawahnya I Made Kuasa (59), yang kini Wakil Kepala SMPN Marga.
"Sosok Gus Man sejak usia anak-anak, remaja hingga sekarang tidak pernah berubah. Kesan ramah, peduli dan senang membantu sesama hingga sekarang masih melekat. Hampir tidak ada 'cacat' atau citra yang kurang baik, meskipun kehidupan yang dijalaninya tidak bebas dari rintangan," tutur pria yang akrab disapa Pan Wira yang juga seniman tabuh dan sekaa santi itu.
Meskipun ekonomi pada awal pemerintah orde baru (1965-1970) itu masih sulit dengan mengandalkan dukungan dana dari orang tua yang bekerja sebagai petani, Gus Man tetap melanjutkan cita-citanya menuntut ilmu ke Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana muda pada tahun 1977.
Dari sana langsung mengabdikan diri bekerja sebagai tenaga honorel pada Dinas Perkebunan Provinsi Bali. Selama dua tahun mengabdikan diri hingga 1979 kembali melanjutkan kuliah dan dua tahun kemudian 1981 berhasil menyelesaikan S-1 Ir (insinyur) pada Fakultas Pertanian Unud.
Tak lama kemudian membentuk rumah tangga dengan wanita pilihannya Ida Ayu Artini, SKM, MM, wanita kelahiran griya Cucukan, Desa Selat, Kabupaten Klungkung.
Sejak saat itu ayah dari Ida Ayu Putu Astini Ari (23) menjalani kehidupan baru dengan wanita pilihannya Ida Ayu Artini yang mengabdikan diri sebagi PNS pada Dinas Kesehatan Provinsi Bali, sempat pindah tugas di beberapa tempat hingga memasuki masa pensiun pada Biro Kesra Pemerintah Provinsi Bali pertengahan 2011.
Sosok Ida Bagus Nyoman Tantra dalam menjalani bahtera rumah tangga
lebih banyak mendalami sastra agama dengan dukungan dari istrinya Ida Ayu Artini yang dengan setia mendampinginya.
Profesi leluhur
Ida Bagus Tantra sebelum dinobatkan sebagai pedanda telah mempersiapkan diri secara matang dengan harapkan dapat mengemban tugas mulia dan melanjutkan profesi yang pernah dilakoni para leluhurnya, Ida Pedanda Ketut Tjaoe (kakek) yang meninggal 937.
Ida Pedanda Istri Ketut Tjaoe (istri almarhum) kemudian melanjutkan sebagai pemimpin upacara kegiatan ritual hingga akhir hidupnya 1962.
Sejak saat itu atau dalam kurun waktu 50 tahun di geria Ole Kaja Kauh tidak ada yang melanjutkan sebagai pendeta. Meskipun umat tetap mendapat pengayoman.
Istrinya Ida Ayu Artini, wanita berpenampilan sederhana, namun enerjik dan gigih dalam mengemban tugas dan tanggung jawab dengan setia mendampingi suami.
Ia sejak remaja menekuni aktivitas dalam berbagai kegiatan sosial, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu. Seperti umumnya aktivitas wanita Bali merangkai janur atau membuat berbagai jenis sesajen, sarana upacara keagamaan bagi umat Hindu memang menjadi kesenangannya sejak kecil, meskipun dibesarkan di Kota Denpasar.
Ayu Artini yang tamatan sekolah dasar (SD) Nomer 18 Denpasar tahun 1966, kemudian melanjutkan SMPN 1 Denpasar (1969), SMAN I Denpasar (1972) dan Akademi Penilik Kesehatan (APK) Surabaya (1976) itu tidak bisa lepas dari aktivitas ritual.
Kegiatan sosial kemasyarakatan itu tetap ditekuni anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Ida Bagus Putu Artha (alm) dengan Ida Ayu Putu Andri (alm).
Ayu Artini seusai menyelesaikan pendidikan pada Akademi Perawat Kesehatan (APK) Surabaya itu langsung bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada Dinas Kesehatan Kabupaten Badung tahun 1977.
Setelah sepuluh tahun mengabdikan diri, seorang ibu dari putrinya Ida Ayu Putu Astini Ari itu pindah sebagai petugas penyuluh Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan tak lama kemudian mendapat tugas belajar di Pakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia hingga meraih telar S-1 (SKM).
Sementara program pasca sarjana (S-2) diraihnya di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar. Tahun 2001. Hampir selama 34 tahun mengabdikan diri sebagai pelayan masyarakat (PNS) dari satu instansi ke instansi lain dan terakhir pada Biro Kesra Pemerintah Provinsi Bali.
Setelah memasuki masa purna karya, sosok wanita yang mempunyai kesenangan memasak makanan khas Bali itu telah memantapkan diri bersama suaminya Ida Bagus Tantra sebagai pelayan umat.(*/T007)
Tantra Dan Artini Mengabdi Untuk Umat
Senin, 9 April 2012 19:09 WIB