Denpasar (ANTARA) - Gubernur Bali Wayan Koster melarang pengembangan kawasan pariwisata di daerahnya yang berdampak menggusur masyarakat adat ataupun menutup akses masyarakat lokal.
"Selain itu dalam pengembangan kawasan pariwisata yang meliputi hotel atau jenis akomodasi lainnya, restoran atau rumah makan dan daya tarik wisata, juga dilarang menguasai area publik, memindahkan sarana umum dan merusak dan/atau mencemari alam dan lingkungan," kata Koster, di Denpasar, Selasa.
Sejumlah larangan dalam pengembangan kawasan pariwisata itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 28 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Pariwisata Bali.
Menurut Koster, Pergub No 28/2020 sudah diluncurkan pada Sabtu (8/8) di Puri Agung Ubud, Kabupaten Gianyar bersamaan dengan Perda Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali.
"Penyelenggaraan pariwisata Bali perlu dikelola dengan baik untuk memastikan kualitas dan keberlanjutan pariwisata Bali sesuai dengan visi pembangunan daerah 'Nangun Sat Kerthi Loka Bali' melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru," ujar mantan anggota DPR RI tiga periode ini.
Baca juga: Gubernur Koster bentuk portal satu pintu untuk pariwisata Bali
Terkait dengan pengelolaan kawasan pariwisata, kata Koster, pengusaha pariwisata harus berkomitmen untuk mewujudkan pariwisata yang berbasis budaya, berkualitas, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
"Pengelola kawasan pariwisata juga harus menyediakan ruang bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk memasarkan dan menjual produk yang dihasilkannya," ucap Koster.
Koster yang saat peluncuran Pergub itu juga didampingi Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Sekda Bali Dewa Made Indra dan pimpinan OPD Pemprov Bali, menegaskan bahwa Pergub itu juga berisikan ketentuan tata kelola penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.
"Dalam penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi, penyelenggara harus menampilkan seni, olahraga rekreasi, petualangan alam khas Bali, permainan tradisional, pijat tradisional Bali yang mengutamakan sumber daya lokal Bali," ujarnya.
Selain itu, penyelenggara kegiatan hiburan dan rekreasi bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya pelecehan terhadap seniman dan pelaku kegiatan hiburan dan rekreasi.
"Seniman dan pelaku kegiatan hiburan dan rekreasi harus diperlakukan dan difasilitasi secara sopan, beretika, manusiawi, dan bermartabat. Seniman dan pelaku kegiatan hiburan dan rekreasi harus memperoleh imbalan jasa yang layak dari pengguna jasa," katanya.
Baca juga: DPD: perda kontribusi wisatawan dongkrak pendapatan Bali
Yang tidak kalah penting, lanjut dia, biro perjalanan wisata wajib menggunakan pramuwisata yang sudah memiliki KTPP, dan diperoleh melalui uji kompetensi oleh lembaga pendidikan yang kompeten di bidang pariwisata budaya.
"Kompetensi berkaitan dengan budaya, tradisi, dan kearifan lokal dengan bobot 70 persen, serta kompetensi yang berkaitan dengan bahasa dan teknik kepemanduan dengan bobot 30 persen," ucapnya.
Pada prinsipnya, lanjut Koster, tata kelola pariwisata ini ditujukan untuk menata pengelolaan penyelenggaraan pariwisata dan meningkatkan kinerja tata kelola penyelenggaraan, pembinaan, pengawasan dan evaluasinya.
"Selain itu juga memberikan kepastian hukum, keamanan, dan kenyamanan bagi wisatawan terhadap produk pariwisata yang ditawarkan dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaku industri pariwisata dalam penyelenggaraan tata kelola pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan," ujarnya.