Denpasar (ANTARA) - Anggota DPD Made Mangku Pastika mengajak jajaran Pemerintah Provinsi Bali untuk lebih berhati-hati dalam menyalurkan bantuan sosial terkait dampak pandemi COVID-19 kepada masyarakat agar jangan sampai menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
"Kalau uang pemerintah, satu rupiah pun pertanggungjawabannya harus jelas. Kalau tidak jelas, besok, para pelaksananya bisa saja 'digantung'. Sudah pensiun pun bisa ditarik-tarik lagi dimintai keterangan," kata Pastika dalam acara penyerapan aspirasi secara virtual bertajuk "Implementasi Pergub Bali Nomor 15 Tahun 2020 dalam Mewujudkan Jaring Pengaman Sosial bagi Pekerja Terdampak Pandemi COVID-19" di Denpasar, Jumat.
Menurut senator asal Bali itu, birokrat dalam bekerja tentu harus selalu berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK), serta tentu tidak bisa bekerja berdasarkan perintah lisan dari pimpinan.
Mantan Gubernur Bali dua periode ini mengerti kondisi betapa sulitnya untuk mengimplementasikan peraturan. khususnya yang berkaitan dengan bantuan kepada masyarakat.
"Begitu mendengar bantuan, masyarakat tentu bisa langsung semangat dan ingin dalam waktu singkat menerima, tetapi persoalannya kan tidak semudah itu," ucapnya.
Untuk bantuan kepada para pekerja, misalnya, kata Pastika, tentu tidak boleh begitu saja dibagi rata kepada semua orang yang di-PHK atau dirumahkan karena dampak pandemi COVID-19.
"Kadang, bahkan lebih susah cari datanya, padahal antara data dan dana harus klop. Ketika dananya tersedia, tetapi datanya tidak ada ya nggak bisa. Demikian juga kalau datanya ada, namun dananya nggak ketemu juga akan menjadi persoalan," ucapnya.
Baca juga: Sekda Bali ingatkan akuntabilitas dana COVID-19
Pastika berpandangan Pergub Bali Nomor 15 Tahun 2020 itu sudah bagus, tinggal bagaimana melaksanakannya supaya kebijakan yang begitu bijaksana itu bisa betul-betul diterima rakyat dengan baik.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali Ida Bagus Ngurah Arda mengatakan Pemerintah Provinsi Bali merealokasikan anggaran pada APBD Semesta Berencana Tahun 2020 sebesar Rp756,06 miliar lebih untuk membiayai kegiatan pencegahan penyebaran dan percepatan penanganan COVID-19 di daerah setempat.
Hasil realokasi anggaran tersebut digunakan untuk tiga paket kebijakan percepatan penanganan COVID-19 di Provinsi Bali, yaitu penanganan kesehatan terkait COVID-19 dengan pagu anggaran sebesar Rp275,76 miliar. Kedua, penanganan dampak COVID-19 terhadap ekonomi dengan pagu anggaran sebesar Rp220 miliar. Ketiga, penanganan dampak COVID-19 terhadap masyarakat dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial dengan pagu anggaran sebesar Rp261,3 miliar.
Arda mengemukakan, dari data perusahaan yang diterima pihaknya hingga 24 Juni 2020 tercatat jumlah pekerja di Bali yang dirumahkan sebagai dampak pandemi COVID-19 sebanyak 73.520 orang dari 1.214 perusahaan, sedangkan yang terkena PHK sebanyak 2.663 orang dari 142 perusahaan.
"Sebenarnya data tersebut belum mencerminkan berapa sejatinya jumlah pekerja dari masing-masing kabupaten. Itu data dari perusahaan, misalnya bagi yang bekerja di perusahaan di Denpasar, orangnya belum tentu orang dari Denpasar semua. Data dari masing-masing kabupaten berapa yang sebenarnya di PHK dan dirumahkan sedang disusun. Dinas Tenaga Kerja di kabupaten/kota terjun langsung ke desa adat untuk mencari data yang terakurat," ujarnya.
Arda mengatakan hingga saat ini bantuan sosial tunai untuk kelompok pekerja formal yang merupakan salah satu bagian dari Jaring Pengamanan Sosial sesuai Pergub No 15 Tahun 2020 sebesar Rp600.000 per bulan yang akan diberikan selama tiga bulan itu belum bisa terealisasi karena masih belum lengkapnya data dari kabupaten dan persyaratan yang harus dilengkapi calon penerima.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bagi calon penerima, yakni berdomisili di Provinsi Bali, melampirkan surat rekomendasi dari bendesa yang bersangkutan, melampirkan surat keterangan PHK atau dirumahkan dari perusahaan tempat bekerja.
"Diperlukan langkah yang tepat, cepat dan akurat dan implementasi pergub ini. Jangan sampai terjadi tumpang tindih penerima bantuan, misalnya yang sudah menerima bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota. Bantuan ini selektif diberikan kepada pekerja formal di sektor pariwisata, industri dan perdagangan yang terkena PHK atau dirumahkan," katanya.
Baca juga: Gubernur Koster gelontorkan stimulus untuk koperasi terdampak COVID-19
Ketua Pengurus Daerah Federasi Serikat Pekerja Pariwisata (FSP Par) - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Bali Putu Satyawira Marhaendra berharap agar mekanisme penerima bantuan tersebut benar-benar transparan sehingga tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
"Di satu sisi para pekerja yang terkena PHK ini ingin syaratnya simpel, tetapi pemerintah juga tidak boleh ngawur. Meskipun 'New Normal' di Bali telah dibuka 9 Juli, tetapi beberapa perusahaan tetap tidak mau membuka usahanya sampai Desember karena memang tidak ada kunjungan wisatawan, akhirnya pekerja pun harus rela tetap dirumahkan dengan menerima gaji kini hanya 20 persen," ucap Satyawira.
Sementara itu, akademisi Prof Dr I Nengah Dasi Astawa SE, MSi menekankan bahwa untuk melaksanakan kebijakan dibutuhkan komitmen, konsistensi, kejujuran, dan disiplin.
Dasi Astawa mengatakan ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kebijakan seperti aspek empiris, yuridis, sosiologis, politis, historis, logis dan sebagainya.
Dalam acara dialog virtual yang dipandu oleh I Nyoman Baskara itu juga menghadirkan narasumber Kadis Koperasi dan UKM Provinsi Bali I Wayan Mardiana, Ketua Aliansi Masyarakat Pariwisata Bali Dr IGK Suthawa, Ketua NCPI Bali Agus Maha Usadha dan Ketua DPD HPI Bali Nyoman Nuarta.