Surabaya (ANTARA) - Ketika baru-baru ini menristekdikti menyampaikan gagasan tentang mengimpor rektor dan dosen asing untuk menaikkan posisi ranking PTN (Perguruan Tinggi Negeri) kita di level internasional, saya mengira itu cuma sekadar wacana.
Mengapa? Sebab, saat ini negara kita sedang gencar-gencarnya membangun rasa kebangsaan dengan berbagai atributnya. Dari mulai cara berbusana, cara berinteraksi sampai dalam cara berkeyakinan.
Jadi, sangat wajar kalau, saya berpikir seperti itu, sampai kemudian Menteri bicara soal jumlah PTN yang ditarget dan soal waktu implementasinya. Saya jadi mulai berpikir lebih serius dan merasa perlu memberi tanggapan.
Sangat wajar kalau siapapun di negara ini, mendambakan jika ranking perguruan tinggi (PT) kita berada dalam level top dunia. Dalam skala QS World University Ranking (QS-WUR) yang selama ini dijadikan acuan Kemenristekdikti, seharusnya PT kita berada dalam 20 besar PT dunia, seperti yang diraih NUS dan NTU Singapura. Atau setidaknya 100 besar dunia seperti yang diraih Universiti Malaya (UM) dari negara jiran kita.
Nyatanya, sampai saat ini, belum ada satu pun PT di Indonesia yang mampu berada di level itu. Sejauh ini, baru ada 3 PT yang telah mencatatkan dirinya di level internasional versi QS-WUR, itupun masih di tataran 500 besar saja, masing-masing diraih oleh UI (ranking 296), UGM (320) dan ITB (331).
Malu dengan posisi yang kedodoran, lalu keluarlah idea mengimpor rektor dan dosen asing. Tetapi apakah itu memang solusinya? Untuk menjawabnya, perlu dipahami dahulu bahwa dalam menyusun pemeringkatan, QS-WUR mengukur dua aspek utama dengan bobot masing-masing kriteria adalah 50 persen, yaitu: (a). 50 persen untuk International Faculty, International Student, Citation per Faculty, Faculty/Student Ratio, dan (b) 50 persen untuk Employer Reputation, Academic Reputation.
Lalu, mari kita bandingkan skor kriteria antara Universitas Indonesia yang mempunyai ranking terbaik dari Indonesia (296) dengan Universitas Malaya (UM) yang terbaik dari Malaysia (70). Dalam hal ini, apabila dilihat dari skor yang diperoleh untuk setiap kriteria penilaian di atas, ternyata UI justru unggul di International Faculty daripada UM (skor 94.5 vs 62.8), artinya jumlah pengajar asing di UI lebih banyak dibandingkan dengan dosen asing di UM.
Toh, nyatanya kehadiran pengajar asing tidak serta merta mendongkrak UI menjadi lebih unggul levelnya daripada UM. Jadi, apakah memang pengajar asing itu lebih baik dari pengajar kita?
Sementara itu, semua skor kriteria lainnya, seluruh nilai UM lebih unggul daripada UI, bahkan ada dua kriteria yang sangat jauh sekali bedanya. Misalnya untuk jumlah sitasi per dosen (skor 41,5 vs 1,9) dan jumlah mahasiswa asing (skor 57,2 vs 5,0).
Dalam hal angka sitasi per staf pengajar kita, yang masih kalah jauh dari PT negara tetangga sebelah itu, sebenarnya perlu disikapi dengan hati-hati. Sebab, baru dalam tiga tahun terakhir ini para akademisi Indonesia ‘terbangun dari mimpi panjangnya’.
Mengapa demikian? Karena praktis pada periode inilah kita mampu menyalip jumlah publikasi internasional berbasis Scopus sehingga saat ini Indonesia berada di posisi ke atas mendekati Malaysia serta melebihi negara Asean lain, misalnya Singapura, Thailand dan Vietnam.
Total publikasi jurnal dan prosiding internasional berbasis Scopus Indonesia per Januari 2019 adalah 17.593, sementara Malaysia di peringkat pertama mempunyai jumlah publikasi 17.821. Hebatnya lagi, lebih setengah dari jumlah publikasi ilmiah internasional itu dihasilkan dalam tiga tahun terakhir ini, padahal sebelumnya kita jauh tertinggal negara Singapura dan Thailand.
Artinya kita harus sabar dahulu untuk menunggu beberapa tahun ke depan, sebab investasi ini baru akan berbuah, dengan naiknya angka sitasi yang dihasilkan PTN kita, dari publikasi yang sudah mulai tersebar di ranah akademisi internasional ini. Jadi hanya soal waktu sebenarnya, semuanya ini butuh proses, karena hasilnya tidak bisa diperoleh secara instan.
Seharusnya, kita justru angkat topi atas kerja keras para rektor dan dosen PTN kita ini, karena mereka telah produktif menghasilkan publikasi internasional di tengah segala keterbatasan yang ada, terutama support anggaran yang diterima dari Pemerintah, belum lagi juga cercaan dari sebagian kalangan yang menganggap bahwa publikasi internasional berbasis Scopus ini hanyalah merupakan sebuah bentuk “penjajahan akademik” belaka!.
Dari data Kemenristekdikti tahun 2017, misalnya, tiga PTN yang masuk dalam ranking 500 besar dunia, ternyata hanya di-support dana internasionalisasi dari APBN sebesar, 0,006 miliar dolar AS atau tidak lebih dari Rp87 miliar saja. Bandingkan dengan pemerintah Malaysia yang telah berhasil memasukkan enam PT-nya masuk dalam ranking 500 besar dunia, menyuntik dana sebesar 1,5 miliar dolar AS atau Rp21,75 triliun. Jangan dikata untuk Singapura yang telah menggelontorkan dana sebesar 4 miliar dolar AS atau sekitar Rp58 triliun!.
Baca juga: Menristekdikti: jangan kontra langsung rektor asing
Rektor LN Frustasi
Apa yang kita lihat dari data di atas, sebetulnya merupakan ilustrasi bahwa persoalan tidak munculnya PT kita di level internasional bukan semata pada manusianya, sehingga merasa perlu mengimpor rektor, bahkan dosen dari LN. Jelas, ini tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan boleh jadi rektor LN yang masuk ke PTN Indonesia, akan frustasi dengan berbagai persoalan yang ada.
Prasarana bangunan yang belum layak secara internasional, sehingga belum cukup untuk dapat menampung mahasiswa asing dalam jumlah yang banyak, apalagi mahasiswa asing yang berkeluarga dengan beberapa anak, seperti mahasiswa dari Timur Tengah yang belajar di PT Malaysia. Lalu, peralatan laboratorium yang sebagian besar sebetulnya sudah absolete karena saking tuanya, bahkan sebagian alat lebih tua dari profesor yang mengajar di PTN tersebut.
Semua ini tentunya juga berasal dari anggaran kita yang sangat terbatas, baik untuk proses belajar-mengajar maupun penelitian. Belum lagi sistem pertanggungjawaban keuangan, penggunaan anggaran yang sangat rigid pertanggungjawabannya serta sangat membatasi beberapa jenis penggunaan yang dapat dilakukan peneliti secara bebas.
Selama ini yang mungkin belum diketahui dengan baik oleh publik adalah bahwa anggaran yang dikelola PTN di Indonesia, khususnya PTNBH (PT yang sudah mandiri) utamanya berasal dari tiga sumber, yaitu: dana rupiah murni dari Pemerintah (APBN), dana dari UKT mahasiswa dan dana dari hasil kerja sama dengan para mitra. Besarnya masing-masing adalah sepertiga atau sekitar 30 persen.
Terlepas dari itu, karena PTNBH pun adalah institusi milik Pemerintah maka ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing PTN yaitu bahwa mereka harus menerima mahasiswa tidak mampu dengan beasiswa penuh minimal 20 persen dari total mahasiswa yang masuk (dananya disubsidi sebagian oleh Pemerintah) dan tidak boleh menaikkan UKT Mahasiswa seenak sendiri.
Hal ini disebabkan misi PTN adalah juga memberi fungsi pelayanan pendidikan terhadap masyarakat. Skema di atas artinya adalah bahwa PTN kita, khususnya PTNBH dituntut untuk mampu mengembangkan sumber pendapatan lain karena terbatasnya subsidi dari pemerintah maupun mahasiswa.
Padahal, selain PTN tersebut harus mampu menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas, mereka juga dituntut untuk dapat melahirkan inovasi yang dapat dihilirisasi serta pada saat yang bersamaan menaikkan reputasi Indoensia di mata internasional.
Dengan begitu banyak tantangan (jika tidak mau dikatakan sebagai beban), nampaknya kita justru harus bersyukur dengan kiprah para rektor maupun akademisi Indonesia yang dengan anggaran sangat terbatas masih mampu menaikkan martabat bangsa, walaupun tentunya belum maksimal.
Keberadaan rektor maupun akademisi asing belum tentu mampu mengangkat reputasi PT dan sekaligus bangsa kita, karena tidak melulu bersikap profesional, para akademisi di negara kita juga ‘dituntut’ untuk (secara ikhlas) mengabdi di tengah berbagai keterbatasan. Sesuatu yang mungkin tidak ada dalam kamus para professional akademisi internasional.
Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip ucapan Socrates yang mengatakan bahwa pendidikan itu hakekatnya adalah membuat seseorang menjadi lebih baik. Jadi daripada berpolemik dengan sesuatu yang tidak pasti, lebih baik kita fokus menghasilkan anak-anak didik kita agar lebih bermanfaat dan mampu membangun negara kita ini menjadi lebih baik.
*) Penulis adalah Rektor ITS Surabaya periode 2015-2019.
Menyoal Rektor Asing
Sabtu, 3 Agustus 2019 8:32 WIB