Jembrana (ANTARA) - Meskipun terbuat dari kayu, perahu nelayan Kabupaten Jembrana, Bali, mampu menghadang dan menghadapi ombak besar dan gelombang tinggi di lautan yang kerap muncul belakangan ini.
Memasuki bulan Juli, cuaca kurang bersahabat di lautan sudah merupakan hal yang biasa, bahkan dianggap wajar oleh nelayan Jembrana, sehingga tidak menyurutkan upaya mereka untuk mencari ikan ke tengah laut.
Musim timuran, demikian nelayan setempat menyebut, adalah saat cuaca buruk yang ditandai dengan angin dan arus yang kencang serta ombak besar atau gelombang tinggi mulai menerpa perahu mereka saat di tengah laut.
"Memang sekarang lagi musim angin timur. Sudah pasti ombak akan besar disertai angin kencang dan arus laut yang deras. Bagi kami itu sudah biasa," kata Akim, salah seorang nelayan dari Desa Pengambengan, Kecamatan Negara yang merupakan sentra perikanan tangkap di Kabupaten Jembrana.
Bagi Akim dan nelayan lainnya, musim timuran dengan cuaca buruknya bukan berarti membuat mereka libur, tapi tetap melaut dengan berbekal pengetahuan dari pengalaman saat menghadapi situasi yang sama.
Saat laut mengombang-ambingkan perahu selerek yang terbuat dari kayu, tukang panggung (sebutan untuk sejenis nahkoda dalam perahu tradisional masyarakat Jembrana) serta pemegang kemudi dan mesin, harus pintar-pintar mengarahkan perahu agar tidak berbenturan langsung dengan ombak.
"Saat ombak besar datang, perahu harus diarahkan sedikit miring sehingga ombak menghantam sebagian sisi depan perahu. Kalau perahu diarahkan berhadap-hadapan dengan ombak, bisa-bisa tenggelam," kata Madek Rahman, nelayan lainnya yang bertugas memegang kendali mesin.
Dengan perahu yang harus terus diarahkan agar ujung depan tidak langsung dihantam ombak, seluruh awak perahu harus waspada, bahkan saat menebarkan jaring.
Terjangan ombak sampai air laut masuk ke geladak perahu, merupakan hal yang biasa bagi nelayan Jembrana saat musim timuran.
Godaan kelebat ikan lemuru, tongkol maupun layang membuat mereka tetap menerjang badai sampai batas kemampuan dari perahu yang memiliki awak 35 sampai 40 orang tersebut.
Baik Akim maupun Madek mengungkapkan, pola tangkap nelayan yang menggunakan perahu selerek adalah dengan mengejar dan mengepung gerombolan ikan dengan jaring.
Agar perahu bisa menjalankan fungsi tersebut, perahu selerek terdiri dari dua unit perahu dengan peran satu membawa jaring dan satu sebagai penampung ikan hasil tangkap.
Saat tukang panggung melihat gerombolan ikan dalam jumlah besar, ia meneriakkan aba-aba dengan sorotan lampu senter besar sebagai perintah mengejar dan menurunkan jaring dengan pola memutar.
"Dalam cuaca yang baik, mengejar ikan hingga menurunkan dan menarik jaring bukan pekerjaan yang sulit. Tapi kalau cuaca buruk seperti ini, pekerjaan itu jadi berat dan penuh resiko," kata Akim.
Akibat cuaca buruk, ia mengatakan, setiap perahu rata-rata hanya bisa satu kali menebar jaring dengan kondisi perahu yang tiada henti dihempas ombak.
Baca juga: Predator ikan muncul, nelayan Jembrana kembali paceklik
Membatasi volume
Bahkan meski banyak gerombolan ikan yang terlihat, nelayan membatasi volume ikan yang mereka tangkap.
Hal itu karena jika isi perahu terlalu penuh, justru membahayakan keselamatan mereka karena jarak geladak dengan air laut semakin dekat.
Perahu selerek yang beroperasi di perairan Bali dengan pusat sandar di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara itu memiliki ukuran yang berbeda-beda, demikian juga dengan daya tampungnya.
Rata-rata perahu yang dipakai nelayan memiliki daya tampung maksimal 30 ton hingga 60 ton ikan. Namun ketika cuaca buruk, mereka tidak berani mengisinya secara penuh.
Akim menyebut, perahu dengan daya tampung 30 ton biasanya hanya berani membawa ikan dari tengah laut seberat 10 ton, sementara yang memiliki daya tampung 60 ton bisa membawa ikan hingga 20 ton.
"Saat menaikkan ikan ke perahu, kami juga melihat jarak geladak dengan air laut. Pada situasi cuaca tenang, meskipun hanya satu jengkal jarak geladak dengan air laut karena muatan penuh, itu masih aman. Tapi kalau cuaca seperti sekarang, tidak ada yang berani dengan jarak segitu," katanya.
Cuaca buruk yang belakangan terjadi di laut membawa banyak cerita bagi nelayan perahu selerek Kabupaten Jembrana, yang mampu berlayar hingga ke perairan Jimbaran, Denpasar.
Miswadi, salah seorang nelayan menceritakan pengalaman mencekam saat perahu selereknya dihantam ombak hingga nyaris tenggelam.
Ia memulai cerita saat perahunya mulai keluar dari pintu PPN Pengambengan, ombak besar sudah mulai terasa yang semakin keras saat mencapai jarak dua kilometer dari pelabuhan tersebut.
"Ombak benar-benar menggila. Tidak hanya melontarkan air laut sampai ke geladak, tapi juga membuat perahu terombang-ambing hingga dalam posisi yang sangat berbahaya," katanya.
Melihat perahu tidak mampu menerobos badai tersebut, juru mudi sebagai nahkoda perahu memerintahkan anak buahnya yang memegang mesin dan kemudi untuk kembali ke pelabuhan demi keamanan.
"Situasinya sangat mencekam. Agar selamat kami berdoa bersama sambil sujud mohon perlindungan Tuhan. Salah seorang kawan juga mengumandangkan azan di tengah terpaan air laut yang masuk ke perahu," katanya.
Jika perahu yang ditumpangi Miswadi harus kembali, tidak demikian halnya dengan sejumlah perahu lainnya yang nekat menerobos badai tersebut dan berhasil lolos.
Sejumlah nelayan mengatakan, lolos atau tidaknya perahu dari badai seperti itu tergantung ukuran perahu, serta kemahiran tukang pangung, juru mudi dan tukang mesin dalam mengarahkan perahu.
"Selain kami, ada perahu lain yang berdekatan dengan perahu kami. Tapi perahu itu berhasil menerobos badai dan melanjutkan perjalanan mencari ikan. Ukuran perahunya memang lebih besar dari yang kami tumpangi," katanya.
Hidup dari hasil laut dalam situasi cuaca buruk, merupakan hidup yang penuh spekulasi termasuk hasil tangkap yang tidak selalu nelayan Jembrana dapatkan.
Baca juga: Jembrana alami kekurangan penyuluh perikanan
Menerobos badai
Seringkali keberanian menerobos badai, tubuh yang basah kuyup, mata yang lelah begadang semalaman hingga teror mental perahu diombang-ambingkan ombak tidak sepadan dengan ikan yang mereka peroleh.
Bukan pemandangan yang aneh, setelah satu malam suntuk melaut, perahu yang merapat ke Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan tidak berisi ikan.
"Dalam situasi seperti ini, pekerjaan nelayan menjadi lebih sulit. Tidak hanya khawatir terhadap badai, tapi juga khawatir tidak mendapatkan hasil tangkap. Tapi inilah resiko jadi nelayan," kata H. Sulaimi, salah seorang pengurus perahu di Desa Pengambengan.
Ia mengatakan, saat ini, perahu mendapatkan hasil tangkap hingga 10 ton sudah termasuk lumayan banyak, karena perahu banyak yang kosong saat kembali.
Selain berpengaruh terhadap hasil tangkap, menurutnya, cuaca buruk di tengah laut juga membuat biaya operasional perahu bertambah, yang rata-rata disebabkan kerusakan alat tangkap.
"Karena harus melawan ombak besar, seringkali muncul kerusakan pada mesin. Selain itu, jaring juga bisa jebol saat ditarik dari laut karena kuatnya arus," katanya.
Kekuatan arus laut yang mampu membuat jaring jebol diakui sejumlah nelayan, yang biasanya terjadi saat jaring ditarik ke atas perahu setelah ditebar.
Akim, Madek dan Miswadi mengatakan, seringkali ikan yang sudah tertangkap dalam jaring lepas kembali, karena kombinasi tekanan berat ikan dan arus kencang menyebabkan jaring jebol.
Nelayan yang sudah bertahun-tahun melaut tersebut mengatakan, masing-masing ikan memiliki karakteristik sendiri-sendiri saat tertangkap jaring, hingga berpengaruh terhadap gampang atau sulitnya jaring ditarik.
"Jenis ikan tongkol paling berat saat ditarik, karena ikan ini langsung mati saat masuk ke jaring sehingga bebannya semakin berat. Ikan jenis layang dan lemuru lebih mudah ditarik, karena mereka lebih kuat hidup saat tertangkap jaring dan cenderung mengikuti arah jaring saat ditarik," kata Akim.
Meski tidak selalu mendapatkan ikan, setiap menjelang sore hingga petang hari saat gelap bulan, ratusan perahu keluar dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan dengan arah melaut masing-masing, di tengah badai yang berkecamuk dan sulit diprediksi kemunculannya.
Hal yang sama juga dialami kapal besar di Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk (Banyuwangi-Bali). Tidak jarang, kapal harus antre untuk menunggu gelombang tidak terlalu tinggi, atau jika telanjur di tengah lautan pun harus terombang-ambing selama beberapa saat.
"Ya, gelombang tinggi membuat kami membutuhkan waktu lama untuk tiba di tujuan, biasanya hanya 45 menit, tapi sekarang bisa sejam atau bahkan berjam-jam," kata Agus, penumpang kapal dari Jember yang mengaku sudah tiga kali menyeberang dalam waktu yang lama.
Baca juga: Geliat pariwisata "desa nelayan" Padangbai-Bali
Prediksi BMKG
Sebagai lembaga pemantau cuaca, BMKG Kabupaten Jembrana sudah memprediksi cuaca buruk bahkan badai akan muncul di perairan Bali pada medio bulan Juni hingga Agustus.
Kepala BMKG Jembrana Rahmat mengatakan, potensi angin kencang dan gelombang tinggi secara umum terjadi pada bulan Juni hingga Agustus, yang disebabkan menguatnya angin timuran (monsun Australia).
Menguatnya angin timuran tersebut, katanya, untuk saat ini diperkuat dengan munculnya daerah tekanan rendah di belahan bumi utara dan tekanan tinggi di belahan bumi selatan.
"Kombinasi angin timuran dengan tekanan tinggi dan rendah di belahan bumi tersebut menyebabkan angin timuran semakin kencang. Hal itu memicu gelombang tinggi di wilayah perairan Indonesia secara umumnya, khususnya wilayah Bali," katanya.
Ia mengungkapkan, gelombang tinggi tersebut masih akan muncul secara fluktuatif dan periodik hingga bulan Agustus mendatang, sehingga pihaknya mengimbau nelayan termasuk masyarakat pesisir untuk waspada angin kencang dan gelombang tinggi.
Jika cuaca buruk belakangan berpengaruh terhadap kehidupan nelayan khususnya nafkah mereka, tidak demikian halnya dengan sektor pariwisata pantai di Kabupaten Jembrana yang tetap berjalan seperti biasa.
Data dari Humas Pemkab Jembrana menyebutkan, jumlah kunjung wisatawan baik domestik maupun mancanegara ke objek wisata pantai tetap stabil hingga bulan Juni lalu.
Dari apa yang disampaikan Humas Pemkab Jembrana, bisa diambil kesimpulan dampak negatif paling besar saat cuaca buruk seperti saat ini terjadi pada masyarakat nelayan.
Mereka, nelayan, bukanlah orang-orang pemberani yang siap mengorbankan nyawa saat melaut, namun kenekatan mereka menerobos badai lebih pada tuntutan hidup sehari-hari.
Jika mereka hanya berdiam diri hingga cuaca buruk berlalu pada bulan Agustus, dipastikan anak isteri yang mereka nafkahi akan terbengkalai bahkan terlantar.
Akhirnya, keputusan atau kenekatan mereka menghadang badai dengan perahu kayu, disebabkan tidak ada pilihan lain jika ingin anak isteri mereka tetap bisa makan.
Namun dari pengalaman menghadapi ganasnya lautan, sampai saat ini sangat jarang perahu selerek yang tenggelam di tengah laut karena dihantam badai.
Kenekatan yang terukur, membuat berkali-kali nelayan Kabupaten Jembrana lolos dari jebakan badai yang bisa menyebabkan perahu mereka tenggelam.
Dalam beberapa kali peristiwa perahu tenggelam, rata-rata awak perahu berhasil diselamatkan oleh perahu terdekat, karena kebiasaan nelayan Kabupaten Jembrana, meskipun berbeda perahu, mereka melaut dalam jarak yang berdekatan.
Dekatnya jarak antar perahu saat di tengah laut ini, bisa dilihat dari pesisir Desa Pengambengan saat cuaca cerah, di mana terlihat lampu-lampu di tengah laut yang berasal dari ratusan perahu.
Cuaca cerah dengan hasil tangkap yang melimpah, diharapkan oleh seluruh nelayan Kabupaten Jembrana selepas bulan Agustus, yang dari pengalaman, selepas musim badai akan datang musim ikan.
Apabila cuaca tenang namun tidak ada ikan yang bisa mereka tangkap, kebutuhan hidup mereka akan menjadi badai lainnya yang tidak kalah mencemaskan dengan badai di tengah laut.
Pengalaman sekitar satu tahun lalu, paceklik panjang membuat nelayan harus meninggalkan sejenak jaring-jaringnya untuk mencari nafkah di sektor lainnya seperti menjadi buruh bangunan, yang hasilnya tidak sepadan dengan saat laut memberikan hasil tangkap yang melimpah.
Akibat dari bertahun-tahun berprofesi sebagai nelayan, acapkali saat menjajal pekerjaan di sektor lain, mereka merasa tertekan dan terpaksa, sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal.
Baca juga: Menkominfo minta nelayan pakai aplikasi sebelum melaut