London (ANTARA) - Indonesian Film Society (IFS), komunitas film Indonesia yang berbasis di London, memperingati Hari Bumi, dengan mengadakan pemutaran film "The Land Beneath the Fog" (‘Negeri di Bawah Kabut’), yang menampilkan kehidupan petani Desa Genikan di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah, Indonesia, yang mengalami dampak perubahan iklim.
Dalam film itu dikisahkan bagaimana dampak perubahan iklim menyebabkan lingkaran kemiskinan yang seolah-olah tidak akan berkesudahan.
Pemutaran film tersebut dilaksanakan di Brunei Gallery Lecture Theater, SOAS University of London, Minggu (5/5), dengan menghadirkan dua narasumber Eric Sasono, seorang kritikus film yang tengah melaksanakan studi doctoral film di King’s College London dan Kirana Agustina, mahasiswi master jurusan ‘Environment, Politics and Society’ di University College London.
Bagi masyarakat di Desa Genikan, bertani adalah sumber pendapatan utama yang turun temurun dilakukan berdasarkan kalender Jawa. Namun, perubahan cuaca ekstrim menyebabkan berubahnya kebiasaan bertani dan situasi tak menentu bagi keluarga petani di Desa Genikan.
Bagi seorang anak SD bernama Arifin, yang merupakan salah satu tokoh utama anak petani, gagal panen yang dialami orang tuanya memberikan situasi dilematis untuk tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Meskipun memiliki nilai tertinggi di sekolahnya, namun orang tuanya tidak memiliki kemampuan untuk mengirimkan Arifin ke sekolah negeri dan masa depan Arifin pun terancam seperti kedua kakaknya, tamatan SD dan hanya membantu orang tua bertani.
Menurut Kirana Agustina, film ini memberikan tiga poin penting terkait dampak nyata dari perubahan iklim bagi kehidupan manusia. Pertama bergesernya kebiasaan tradisional atau kearifan lokal yang merupakan identitas asli masyarakat Indonesia turun temurun. Kedua, rendahnya pendidikan masyarakat pedesaan di Indonesia. Mengambil contoh Desa Genikan, masyarakat hanya memiliki pendidikan di bangku sekolah dasar, yang menyebabkan minimnya pengetahuan.
Sebagai contoh, adanya cuaca ekstrim hujan deras yang berkepanjangan memaksa mereka untuk menggunakan pestisida yang berlebihan, dan disusul kemarau yang datang lebih awal membuat debit air rendah menyebabkan petani harus bekerja lebih keras di malam hari untuk menyiram pertaniannya. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan solusi apa yang tepat untuk menjaga hasil tanamnya dari acaman gagal panen.
Ketiga, menurut dia, adalah peran besar sosok wanita, istri dari petani, mulai pembibitan, bertani, mengirimkan hasil tani ke pasar, melakukan tawar menawar harga hingga mengurus keluarga dirumah. Ini sebuah poin penting betapa wanita dan anak merupakan sosok penting yang perlu dilibatkan dalam setiap perencanaan pembangunan dari adaptasi perubahan iklim.
Menurut Luciana Coelho, seorang pengacara lingkungan asal Brazil, diskusi berlangsung menarik karena ternyata film dokumenter seperti ini harusnya mendapat perhatian lebih besar dari masyarakat Indonesia. Ia menyoroti peran pemerintah yang tidak terlihat dalam masyarakat kecil dandan penting initiatif lokal serta kolaborasi masyarakat mengatasi isu perubahan iklim dari skala lokal.
Karya dokumenter yang berhasil menyuguhkan fenomena perubahan iklim yang begitu rumit namun mudah dicerna dalam sebuah bentuk film ini diputar di berbagai negara dan mendapatkan banyak penghargaan diantaranya ‘the Special Jury Prize’ pada 2011 Dubai International Film Festival, ‘the Best Debut Documentary’ pada the Almaty International Film Festival 2013, the NETPAC Award pada JAFF 2012, hingga masuk dalam list majalah Rolling Stone Indonesia di tahun 2013 dalam jajaran film Indonesia terbaik dalam satu dekade.