Gianyar (Antara Bali) - Puncak ritual pelebonan keluarga Puri Ubud, yakni almarhum Anak Agung Niang Rai (80), ibunda Bupati Gianyar Cokorda Oka Artha Ardana Sukawati, Kamis, dibanjiri ribuan masyarakat, termasuk wisatawan mancanegara.
Pelancong dan warga masyarakat Bali mulai memadati sepanjang Jalan Raya Ubud hingga Puri Agung Ubud sejak pukul 09.00 waktu setempat. Ada yang nongkrong di kafe yang berjejer di sepanjang jalan tersebut, sebagian rela bertengger di atap rumah warga.
Hal ini mereka lakukan demi mendapatkan gambar yang pas dari peristiwa yang unik, menarik dan langka, karena menggunakan "bade", yakni menara pengusung jenazah setinggi 24 meter.
Mereka rela berpanas-panasan, demi melihat arakan hingga prosesi pelebon usai. Puluhan bahkan ratusan kamera mengabadikan momen tersebut.
Baik itu jurnalis dari berbagai media ataupun warga yang ingin mengambil gambar yang merupakan tradisi unik di Bali tersebut.
"Informasi soal upacara pelebon AA Niang Rai santer di negara kami. Hal itu membuat saya penasaran. Alhasil, saya memboyong keluarga sejak sebulan lalu untuk tinggal di Ubud," kata Kevin Hans (43), wisatawan asal Belanda saat ditemui pada saat upacara pelebon tersebut.
Hal yang sama dikatakan Dewi Hartanti (24). Gadis asal Jakarta ini mengaku, demi melihat prosesi pelebon itu, dirinya menginap di Ubud sejak tiga hari lalu.
Dia bersama teman-temannya mengaku mendengar kabar adanya pelaksanaan pelebon di Ubud, saat pemandu di tempatnya menginap di kawasan wisata Kuta, memberitahunya.
Demi dapat melihat prosesi yang biasanya hanya bisa disaksikan lewat layar televisi itu, dirinya rela nongkrong di Pasar Ubud sejak pagi hari.
"Saya tidak ingin kehilangan momen. Kalau bisa tiap acara harus saya dapatkan gambarnya. Kan biasanya, saya lihat hanya di televisi, kini bisa langsung," jelasnya.
Arak-arakan bade dan lembu dari Puri Agung Ubud dimulai sejak pukul 13.00 Wita. Dalam perjalanan ke setra (kuburan), arak-arakan tersebut diiringi lantunan gending yang ditabuh oleh para pemuda Ubud. Sedikitnya 4.500 krama atau warga mengiringi arakan tersebut, termasuk pengusung.
Selama arakan hingga menuju setra, terjadi beberapa kali pergantian anggota penggusung bade dan lembu. Daalam setiap estafet tersebut, membutuhkan 300 orang.
"Untuk mengusung bade yang beratnya mencapai 10 ton hingga sampai setra yang jaraknya sekitar 900 meter, diperlukan 4.500 krama. Sejak di Puri Agung Ubud hingga setra, krama tersebut diganti sebanyak tujuh kali. Setiap pergantian, membutuhkan 300 orang," ujar Tjokorda Gede Putra, putra pertama dari mendiang AA Niang Rai.
Meski awalnya ada perkiraan Presiden RI akan hadir dan ternyata batal, namun pengamanan tetap ketat.
Sebanyak 450 personel gabungan dari kepolisian, Dishub, Satpol PP Gianyar, turun guna mengamankan jalannya prosesi. Personel tersebut, tersebar di titik-titik rawan seperti depan Kantor Tourism Information Ubud, Lapangan Astina Ubud, Kantor Camat Ubud, dan perempatan ke Jalan Suksma, Tebessaya, Peliatan.
"Untuk mengamankan puncak pelebon, kami kerahkan 450 personel. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari kepolisian, Dishub, TNI dan Satpol PP. Mereka disebar ke sejumlah titik rawan di sepanjanjang jalur yang dilewati prosesi pelebon," ujar Kapolsek Ubud AKP Gede Redastra.(*)