Denpasar (Antaranews Bali) - Garapan fragmentari bertajuk "Martalangu" yang dibawakan Sanggar Seni Makaradhwaja, Singapadu, Gianyar dalam ajang Bali Mandara Mahalango 5 mencoba untuk mengeksplorasi cerita Panji dalam topeng.
"Kesenian Arja pakai Panji, Gambuh pakai Panji, dan sekarang saya bereksperimen bagaimana sih kalau cerita Panji masuk ke dalam topeng," kata Prof Dr I Made Bandem, penggarap ide fragmentari Martalangu, di sela-sela pementasan tersebut, di Taman Budaya Denpasar, Senin malam.
Cerita Panii yang telah menjadi bagian dari "Memory of The World" dalam warisan dunia UNESCO, membuat Bandem memacu dirinya untuk mengeksplorasi cerita Panji.
"Momennya juga pas, karena garapan eksplorasi ini juga lahir saat Bali Mandara Mahalango," ujar mantan Rektor ISI Denpasar itu.
Mahalango yang sudah berlangsung pada kali kelima ini memberikan semangat penciptaan tersendiri bagi Bandem. Pasalnya, Bandem yang mendapat giliran menggarap gelar seni teater tradisi membidik cerita Panji sebagai landasan garapannya.
Selama proses pencarian karakter topeng dalam cerita Panji, Bandem pun tak ingin gegabah menciptakan tapel atau topeng untuk garapan fragmentari yang bertajuk Martalangu.
"Ini tidak pakai topeng dulu karena orang Barat itu menganggap 'make up' is topeng, jadi disini kita ajak 'body painter' dulu," ucapnya.
Namun, Bandem tetap mencari bagaimana topeng yang sesuai untuk cerita Panji yang digarapnya. Topengnya sendiri digarap oleh seniman asal Singapadu Cokorda Raka Tisnu.
Pementasan yang ditampilkan tak hanya Fragmentari Martalangu, sebelumnya terdapat dua garapan yakni Tabuh Jaya Semara dan Tari Tresna Asih. Proses penciptaan fragmentari Martalangu memakan waktu tiga bulan.
"Masih mencari makanya tadi itu saya sedikit kaget kok wajah sisyanya belum tenget (seram)," ujar Bandem mengkritisi garapannya.
Tak hanya Bandem, garapan fragmentari ini juga melibatkan sosok sang istri, Suasthi Widjaja Bandem yang bernaung dalam Sanggar Seni Makaradhwaja, Singapadu, Gianyar.
Menyadari garapan ini adalah sebuah eksplorasi, I Wayan Dibia (kurator Bali Mandara Mahalango 5) mengkritisi sekaligus memuji garapan karya Bandem. "Ini sebuah sendratari, bagus ini eksplorasi hanya saja harmonisasinya perlu diperhatikan," ucapnya.
Harmonisasi yang dimaksud Dibia yakni keselarasan antara gamelan dengan gerakan para penari. "Kapan penari bisa menjadi roh gamelan dan kapan gamelan bisa menjadi roh penari, itulah yang perlu diperhatikan," ujar Dibia.
Selain itu, Dibia pun menuturkan bahwa sebuah garapan juga membutuhkan relevansi, yakni kesesuaian dengan kehidupan sehari-hari. Namun, secara keseluruhan, baik gerakan penari maupun tabuh yang disajikan sudah baik. "Ini semuanya 'kan seniman yang sudah punya jam terbang tinggi jadi sudah sangat bagus," kata Dibia.*