Denpasar (Antaranews Bali) - Ajang seni Bali Mandara Mahalango 5 yang telah berlangsung selama 38 hari telah ditutup pada Selasa (28/8) lalu, namun para seniman dari Pulau Dewata berharap agar seni tetap bersemi, meskipun ajang tersebut untuk tahun ini telah berakhir
"Selalu memberikan wadah untuk berkreativitas adalah yang selalu saya apresiasi dari Bali Mandara Mahalango," kata seniman I Ketut Gede Rudita yang lebih dikenal sebagai salah satu anggota grup bondres Celekontong Mas dengan nama panggung Sokir itu di Denpasar, Kamis.
Rudita pun turut menyemarakkan penutupan Bali Mandara Mahalango yang berlangsung di Panggung Terbuka Ardha Candra Taman Budaya, Denpasar, Selasa (28/8) malam.
Meskipun Gubernur Bali Made Mangku Pastika memasuki masa purna bakti, namun gagasannya dalam memajukan seni dan budaya Bali senantiasa dinanti masyarakat dan seniman Bali. Hal itupun turut disadari Rudita sehingga ia sangat mengapresiasi ajang Bali Mandara Mahalango.
Dalam acara itu, Rudita pun tak sendiri, grup bondres Celekontong Mas pun berkolaborasi dengan Sanggar Paripurna Gianyar yang dipimpin oleh dalang kenamaan Bali I Made Sidia. Membawakan Pementasan Sendratari Kolosal bertajuk Parikesit Cakraningrat, ternyata turut menggandeng beberapa warga Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar untuk tampil pula di dalamnya. Salah satunya Ni Wayan Suratni.
Turut tampil dalam garapan kolosal ini, dosen ISI Denpasar ini pun merasa bahagia. "Rasanya senang bisa ikut berpartisipasi, semoga Bali Mandara Mahalango bisa terus berlanjut dan lebih kreatif," ujarnya.
Sementara itu, seniman Sidia mengaku bangga dan bersyukur kepada Tuhan telah dipercaya untuk tampil di Mahalango. "Pertunjukan yang kami tampilkan ialah Sendratari Parikesit Cakraningrat. Latar belakang digarapnya pertunjukan ini karena kebetulan sekarang masa akhir jabatan dari gubernur sehingga akan ada pemimpin baru nanti secara estafet. Nah, Parikesit ini juga salah satu regenerasi pemimpin di Kerajaan Astina,” terang Sidia.
Untuk pementasan ini Sidia melibatkan 200 penari dan penabuh, kalau termasuk properti sampai 250 orang dari Sanggar Paripurna.
Paduan suara nan merdu pun turut dipersembahkan anak-anak paduan suara dari SMA dan SMK Bali Mandara. Salah satu penampil yakni Luh Putu Ade Eka Suryadarma Putri mengaku penampilannya bersama rekan-rekan SMK dan SMA Bali Mandara terasa agak berbeda.
"Tahun lalu sempat tampil juga tapi rasanya biasa saja, sekarang terasa agak berbeda karena harus berpisah dengan Pak Gubernur," kata Ade Eka haru.
Sebuah lagu bertajuk "Pamit" yang digemari Gubernur Bali I Made Mangku Pastika menjadi kejutan spesial dari anak-anak SMK dan SMA Bali Mandara.
Gong Suling
Sementara sore harinya, sebelum penutupan berlangsung pementasan Gong Suling yang menampilkan Sanggar Bambu Swara dari desa Kesiman Petilan, Denpasar Timur.
Mereka menampilkan kreasi gong suling dengan judul "Gesing" karya I Wayan Adi Darmawan, Rare Angon digarap I Made Mahotama Warmauta dkk, tabuh dan tari kontemporer "Rwa Bhineda" dan "Litle Krisna" karya I Wayan Adi Darmawan dan Wayan Gede Bimantara. Ada juga tabuh Gong Suling klasik "Tiying Gading".
"Niki (ini) yang jelas pasti kebangkitan, karena apa karena gong suling itu kan populernya tahun 1952 hingga tahun 60-an," tutur pengamat seni, I Made Bandem.
Menurut Bandem, dengan membangkitkan gong suling ini adalah salah satu usaha yang bagus untuk anak anak muda. Itu tidak mudah dimainkan oleh anak anak.
"Asal mereka punya teknik yang bagus saya rasa ini salah satu kebangkitan dan diteruskan kepada kelompok kelompok atau komunitas yang lain lagi," kata Bandem.
Sementara itu pengamat seni lainnya yang juga kurator Bali Mandara Mahalango 5, I Komang Astita mengatakan gong suling merupakan perkembangan dari gong kebyar. Jadi dari segi repertoar mengambil dari gong kebyar tapi medianya suling.
Jadi dulu memang selain suling itu untuk gambuh, arja, lalu ada yang mengembangkan secara masal mengikuti alunan gong kebyar. Jadi di sana ada bagian bagiannya ada pukulan jegogan, suara jegogan, ada juga seperti pemimpin di gong kebyar ada ugal.
"Setahu saya gamelan gong suling yang terkenal dari Sempidi, polanya sih sama mengikuti pola dang ending gong kebyar. Cuma karena media keseluruhannya bambu jadi instrumennya menjadi khas," kata Astita. (ed)