Olerh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Kemampuan dan keahlian I Nyoman Astita, MA (59) tidak diragukan lagi dalam bidang seni, yang sejak mahasiswa telah menciptakan karya seni tari dan musik berbasis tradisi budaya Bali maupun kolaborasi dengan budaya modern.
Bahkan beberapa karyanya cukup monumental, salah satu di antaranya diberi judul "Gema Eka Dasa Ludra" yang mendapat inspirasi dari kegiatan ritual di Pura Besakih, kegiatan ritual berskala besar yang digelar seratus tahun sekali.
I Nyoman Astita, pria kelahiran Denpasar, 24 September 1952 itu banyak menghasilkan karya seni yang cukup memasyarakat, bahkan beberapa diantaranya masuk ke berbagai festival seni tingkat lokal Bali, nasional maupun internasional di berbagai negara belahan dunia.
Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu memiliki darah seni yang mengalir dari kedua orang tuanya Wayan Geria (alm) dan Ni Nyoman Rindi (alm). Semasa hidupnya kedua orang tuanya itu juga dikenal sebagai seniman serba bisa, yang dengan senang hati dan iklas "mentransfer" keahliannya kepada generasi penerus.
Suami dari Ni Putu Lastini, SSN, ketika masih berstatus mahasiswa di tempatnya kini mengajar berhasil melahirkan karya monumental. Komposisi gamelan "Gema Eka Dasa Ludra" merupakan salah satu bentuk seni kerawitan kontemporer berpijak pada nilai-nilai tradisi karawitan Bali.
Karya cipta yang inovatif tersebut diramu secara artistik dalam format baru. Alunan instrumen musik tradisional tersebut cukup memikat perhatian penikmatnya, karena diolah dengan penataan tetabuhan yang disikapi dengan teknik penyajian dan tidak terikat pada ensambel tertentu.
Selain itu memanfaatkan instrumen lepas, seperti sapu lidi, kulkul, gong dekoratif yang artistik sesuai kondisi dan situasi panggung pementasan. Karya monumental itu lahir dari pembelajaran menuju proses penuangan analisis antara kesenian di Tanah Air dan luar negeri.
Ayah dari tiga putra-putri masing-masing Ni Putu Tisna Andayani, SS, Ni Made Wulan Tisandi, SS dan I Komang Aditya Permana itu, hidup kesehariannya tidak pernah lepas dari seni, baik di rumah, lingkungan masyarakat maupun kampus tempatnya mencetak seniman-seniman andal.
Salah seorang tokoh seniman muda kerawitan Bali yang beberapa kali sukses memimpin tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke mancanegara, memang sejak kecil tertarik dan menyenangi seni tabuh dan tari Bali.
Bahkan ketika berumur sembilan tahun di era tahun 1960 an sudah belajar memainkan instrumen gamelan Bali. Padahal waktu itu ekonomi masih sangat sulit, sehingga perhatian semua orang tertuju untuk mengutamakan tuntutan hidup.
Astita yang juga penggagas terciptanya Adi Merdangga, drum band tradisional Bali yang kini selalu dipercaya untuk mengawali seluruh rangkaian pawai budaya pada pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB), sejak usia anak-anak sudah biasa bermain dengan bilah-bilah gender dan plawah gong.
Meskipun usianya masih belia, saat itu, namun naluri seni tak kalah tajam dibanding kalangan remaja di banjarnya dalam lingkungan kota Denpasar, yakni Banjar Kaliungu di jalan Kedondong Denpasar selalu bergelut dengan seni di sela-sela membantu ibunya pedagang di pasar Satria dan ayahnya seorang petani.
Sukses menciptakan Adi Merdangga kemudian menggagas lomba gong blaganjur tahun 1985 bersama Himpunan Seni Remaja Badung (HSRB), hingga kini lomba tersebut berlangsung di delapan kabupaten dan satu kota di Bali.
Prestasi lainnya selama puluhan tahun sejak 1972 ketika menjadi mahasiswa di Akademi Seni Tarii Indonesia (ASTI) yang kini berubah status menjadi ISI sudah aktif membina kesenian sendratari Ramayana di sejumlah desa di Kabupaten Tabanan, Buleleng, Bangli dan kota Denpasar.
Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya dalam penggalian, pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali, sosok Komang Astita kini menjadi salah satu dominasi penerima seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali.
Satu tim dari instansi terkait menurut Kepala Seksi Perfilman dan Perizinan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan Dauh masih melakukan seleksi secara ketat terhadap mereka yang dinilai berjasa dalam pengembangan seni budaya Bali hingga sekarang eksis di tengah himpuran budaya global.
Seniman yang lolos seleksi dari tim instansi terkait tersebut mendapat anugrah Dharma Kusuma yang diserahkan pada puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-53 Pemerintah Provinsi Bali, 14 Agustus 2011.
Semakin hebat
Astita kecil yang selalu menyempatkan waktunya untuk belajar memainkan alat-alat musik tradisional di Balai banjar setempat, pada usia kelas empat sekolah rakyat atau Sekolah Dasar (SD) sekarang kemampuannya semakin hebat.
Di bawah bimbingan orang tua dan pamannya yang juga dikenal sebagai tokoh seniman gong kebyar dan gender. Pada usia 14 tahun bergabung dengan sekaa (kelompok) gong Kalingga Jaya di banjar Kaliungu Kaja, Denpasar.
Astita memang tidak bisa menghindar dari hati nuraninya yang terpaut dengan kesenian, setelah lulus sekolah rakyat No.1 Denpasar tahun 1965 melanjutkan sekolah teknik negeri jurusan bangunan Denpasar tahun 1968 dan STM Denpasar, namun kehidupan sehari-hari tidak bisa dipisahkan dengan seni.
Namun di STM hanya betah selama empat bulan (satu kuartal) yang akhirnya pindah ke Kokar yang kemudian berubah status menjadi Sekolah Menengah Kerawitan Indonesia (SMKI) Denpasar dan melanjutkan ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) yang kemudian berubah status menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang sekarang dikenal ISI Denpasar.
"Penyeberangannya" dari STM ke Kokar menurut Astita yang pernah mengajar seni gamelan Bali di sejumlah perguruan tinggi seni di Kanada dan Amerika Serikat itu didorong minat untuk menggeluti tabuh dan tarik Bali yang menggebu-gebu.
Selain itu didasari atas keyakinannya biaya sekolah dibidang seni lebih murah, disamping materi pelajaran menjadi kesenangannya, hingga akhirnya bisa memainkan semua alat gamelan Bali termasuk yang membutuhkan kemampuan spesifik, seperti menabuh kendang.
Bahkan sebagai pemain kendang muda dengan suara "emasnya" mampu memukau penonton, tidak hanya masyarakat umum, namun guru-guru pengajarnya di sekolah formal. Kelebihan yang dimiliki oleh sosok Komang Astita itulah mengantarkan dirinya dipercaya untuk memperkuat tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke Jerman tahun 1970.
Tim kesenian yang dipimpin Dirjen Kebudayaan Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm) meraih sukses yang luar biasa berkat pementasan tari barong dan keris di sejumlah kota besar di Jerman.
Lawatannya perdana ke luar negeri itu membuka wawasan dan pandangan mengenal negara lain lewat ekspresi seninya. Selain itu lebih menyakinkan pada dirinya, seniman juga bisa hidup mapan sepanjang mampu tampil profesional.
Demikian pula sebagai mahasiswa Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), sebelum berubah status menjadi STSI yang sekarang ISI Denpasar itu, banyak mereguk pengalaman, belajar kerawitan dan berorganisasi, bahkan sempat menjabat Ketua Senat Mahasiswa ASTI periode 1973-1975.
Berkat keterampilan yang profesional itu sosok Komang Astika sering mendapat kepercayaan untuk memimpin tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke mancanegara. Hampir sebagian negara di belahan dunia pernah dikunjungi, sekaligus pentas tabuh dan tari Bali.
Negara-negara tersebut antara lain sebagian besar negara di kawasan Eropa, Amerika Serikat, India, Brasil, Australia, Malaysia, Thailand dan Singapura. Perkembangan seni budaya Bali yang cukup pesat di tengah-tengah kehidupan masyarakat Pulau Dewata, menjadikan sosok Komang Astita semakin sibuk, karena mendapat permintaan dari warga masyarakat untuk melatihnya.
Kepercayaan masyarakat itu tidak disia-siakan, secara maksimal berusaha menenuhi permintaan setiap sekaa kesenian untuk melatihnya. Hingga sekarang peran sebagai pembina itu masih dilakoninya, disamping sebagai Pembina dan tim juri berbagai kegiatan seni.
Di tengah-tengah kesibukan dalam proses belajar mengajar itu juga tetap berkreativitas menciptakan karya-karya baru bidang seni karawitan.(*)