Kemampuan dan keahlian pria berpenampilan sederhana itu tidak diragukan lagi. Sejak mahasiswa ia telah berhasil menciptakan karya seni tari dan musik berbasis tradisi budaya Bali serta berkolaborasi dengan budaya modern (Barat).
Bahkan beberapa karyanya cukup monumental, salah satu di antaranya diberi judul "Gema Eka Dasa Ludra" yang mendapat inspirasi dari pelaksanaan ritual di Pura Besakih, kegiatan berskala besar yang digelar seratus tahun sekali.
Dr I Nyoman Astita, MA (62), pria kelahiran Denpasar, 24 September 1952 itu banyak menciptakan karya seni yang cukup memasyarakat, bahkan beberapa di antaranya masuk ke berbagai festival seni tingkat lokal Bali, nasional, dan internasional.
Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu memiliki darah seni yang mengalir dari dari kedua orang tuanya yang juga dikenal sebagai seniman serba bisa, yang dengan senang hati mengajarkan keahliannya kepada generasi penerus.
Suami dari Ni Putu Lastini, S.SN, ketika masih berstatus mahasiswa tahun 1979 di tempatnya kini mengajar berhasil menciptakan karya monumental. Komposisi gamelan "Gema Eka Dasa Ludra" merupakan salah satu bentuk seni kerawitan kontemporer berpijak pada nilai-nilai tradisi kerawitan Bali.
Karya cipta yang inovatif tersebut diramu secara artistik dalam format baru. Alunan instrumen musik tradisional tersebut cukup memikat perhatian penikmatnya, karena diolah dengan penataan tetabuhan yang disikapi dengan teknik penyajian dan tidak terikat pada ensambel tertentu.
Selain itu memanfaatkan instrumen lepas, seperti sapi lidi, kulkul, gong dekoratif yang artistik sesuai kondisi dan situasi panggung pementasan. karya monumental itu lahir dari pembelajaran menuju proses penuangan analisis antara kesenian di Tanah Air dan luar negeri.
Ayah dari tiga putra-putri masing-masing Ni Putu Tisna Andayani, SS, Ni Made Wulan Tisandi, SS dan I Komang Aditya Pertama itu, hidup kesehariannya tidak pernah lepas dari seni, baik di rumah, lingkungan masyarakat maupun kampus tempatnya mencetak seniman-seniman andal.
Alumnus pascasarjana (S-3) Kajian Budaya Universitas Udayana itu merupakan salah seorang tokoh seniman muda kerawitan Bali yang beberapa kali sukses memimpin tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke mancanegara, memang sejak kecil tertarik dan menyenangi seni tabuh dan tari Bali.
Bahkan ketika berumur sembilan tahun di era tahun 1960-an sudah belajar memainkan instrumen gamelan Bali. Padahal waktu itu ekonomi masih sangat sulit, sehingga perhatian semua orang tertuju untuk mengutamakan tuntutan kebutuhan sehari-hari.
Astita yang juga penggagas terciptanya Adi Merdangga, drum band tradisional Bali yang kini selalu dipercaya untuk mengawali seluruh rangkaian pawai budaya pada pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB), sejak usia anak-anak sudah biasa bermain dengan bilah-bilah gender dan plawah gong.
Meskipun usianya masih belia, namun naluri seni tak kalah tajam dibanding kalangan remaja di banjarnya di lingkungan kota Denpasar, yakni Banjar Kaliungu Kaja di jalan Kedondong Denpasar selalu bergelut dengan seni di sela-sela membantu ibunya pedagang di pasar Satria dan ayahnya seorang petani.
Mengajar luar negeri
Astita kecil yang selalu menyempatkan waktunya untuk belajar memainkan alat-alat musik tradisional di Balai banjar setempat tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan enerjik, bahkan mempunyai pengalaman mengajar gamelan di luar negeri saat mendapat kesempatan belajar di San Diego Universitas Kalifornia tahun 1981.
Selama melanjutkan jenjang pendidikan di Amerika Serikat juga mengajar grup gamelan Sekar Jaya di San Fransisco (1982) dan grup gamelan Cal Art dan UCLA Los Angles serta di Music Departement Montreal Universitu Kanada (1998).
Selain itu juga mendirikan Komunitas Gamelan Giri Mekar di Hudson New York, memberi workshop komposisi di UCLA California, Serika Serikat (1995) serta tahun 2006 mendapat "Filbright Grand" untuk mengajar kebudayaan dan gamelan Bali di Union College Schenacty, New York.
Sedangkan kegiatan di tingkat nasional sosok Komang Astita dikenal sebagai komponis setelah tampil pada pekan Komponis Muda Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979 dengan karya "Gema Eka Dasa Rudra".
Sebagai seniman dan dosen kala itu sering mengikuti seminar dan workshop kesenian di berbagai kota besar di Indonesia, sekaligus menjadi pengamat parade tari Nusantara di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta tahun 2011.
Sementara kegiatan di tingkat lokal Bali sejak usia sepuluh tahun menekuni gamelan Bali hingga sekarang menjadi pembina Sekaa Gong Kalingga Jaya Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar.
Sebagai seniman kerawitan, Nyoman Astita menciptakan karya komposisi kerawitan tradisional maupun kontemporer. Belasan jenis karya yang monumental itu antara lain Paksi Ngelayang (1990), Murdaning Sekati dan Ubitning Selonding (1987) dan Semara Winangun (1979).
Karya Kerawitan Kontemporer, antara lain diberi judul Uma Sadina (1980), Pencon dan Ombak buluh (1987), Kotekan for Marimba Flute and Chimes (1986), Dolanan dan Waton (1998).
Selain itu juga karya tabuh iringan tari antara lain Baris Bandana Manggala Yudya (1979), Gebyar Baris (1994), Baris Landep dan Baris Denpur (2013). Selama mengajar di lembaga pendidikan tinggi seni itu juga aktif menjadi seniman dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB).
Sebagai konsultan seni ikut merancang kegiatan Maha Bandana Prasada, parade Ogoh-Ogoh, Gerebeg Aksara, Perayaan Tumpek Landep, pembinaan gong kebyar dan kesenian klasik di Kota Denpasar.
Selain itu juga sebagai anggota dewan pakar Sabha Upadesa, sebuah lembaga yang bertujuan mensinkronisasikan lembaga adat, subak dan desa dinas di ibukota Denpasar.
Serba bisa
Sosok Komang Astita yang menekuni gamelan Bali sejak duduk di kelas tiga sekolah dasar didorong atas minat untuk menggeluti tabuh dan tari Bali yang menggebu-gebu hingga akhirnya bisa memainkan semua alat musik tradisional Bali termasuk yang membutuhkan kemampuan spesifik, seperti menabuh kendang.
Bahkan sebagai pemain kendang muda dengan suara "emasnya" mampu memukau penonton, tidak hanya masyarakat umum, namun guru-guru pengajarnya saat duduk di bangku sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) sebelum melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan tinggi seni.
Kelebihan yang dimiliki oleh sosok Komang Astita itulah mengantarkan dirinya dipercaya untuk memperkuat tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke Jerman tahun 1970, ketika masih menjadi mahasiswa.
Tim kesenian yang dipimpin Dirjen Kebudayaan Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm) meraih sukses yang luar biasa berkat pementasan tari barong dan keris di sejumlah kota besar di Jerman.
Lawatannya perdana ke luar negeri itu membuka wawasan dan pandangan mengenal negara lain lewat ekspresi seninya. Selain itu lebih menyakinkan pada dirinya, seniman juga bisa hidup mapan sepanjang mampu tampil profesional.
Demikian pula sebagai mahasiswa Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), sebelum berubah status menjadi STSI yang sekarang ISI Denpasar itu, banyak mereguk pengalaman, belajar kerawitan dan berorganisasi, bahkan sempat menjabat Ketua Senat Mahasiswa ASTI periode 1973-1975.
Berkat keterampilan yang profesional itu sosok Komang Astita sering mendapat kepercayaan untuk memimpin tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke mancanegara. Hampir sebagian negara di belahan dunia pernah dikunjungi, sekaligus pentas tabuh tabuh dan tari Bali.
Negara-negara tersebut antara lain sebagian besar negara di kawasan Eropa, Amerika Serikat, India, Brasil, Australia, Malaysia, Thailand dan Singapura.
Perkembangan seni budaya Bali yang cukup pesat di tengah-tengah kehidupan masyarakat Pulau Dewata, menjadikan sosok Komang Astita semakin sibuk, karena mendapat permintaan dari warga masyarakat untuk melatihnya.
Kepercayaan masyarakat itu tidak disia-siakan, secara maksimal berusaha menenuhi permintaan setiap sekaa kesenian untuk melatihnya. Hingga sekarang peran sebagai pembina itu masih dilakoninya, disamping menciptakan karya-karya baru bidang seni kerawitan, di samping tugas pokoknya sebagai dosen di ISI Denpasar. (WDY)
I Nyoman Astita Ciptakan Karya Monumental
Jumat, 16 Mei 2014 15:17 WIB