Ingar-bingar pagelaran dalam Pesta Kesenian Bali ke-40, Senin (9/7) siang ini, begitu istimewa. Sejumlah seniman dengan mengenakan pakaian adat Bali bernuansa cokelat, berbaris dengan saling memegang bahu masuk ke Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar. Mereka kemudian menuju ke sisi kiri, lantas duduk di belakang seperangkat gamelan, dan Tabuh kreasi Purwa Pascima pun dilantunkan dengan indah.
Tabuh Purwa Pascima karya maestro gamelan Bali (alm) I Wayan Berata memang bukanlah hal yang baru karena telah lahir tahun 1956. Tetapi, alunan tabuh ini terdengar mengenai kalbu karena dibawakan oleh 23 penabuh laki-laki dan dua penabuh perempuan yang semuanya penyandang tunanetra.
Meskipun berkesenian dalam "gelap", mereka begitu piawai memainkan bilah-bilah gamelan, sampai penonton pun berulangkali bertepuk tangan dan terkagum-kagum. Hampir sekitar 15 menit, alunan Tabuh Purwa Pascima diperdengarkan kepada penonton yang memadati Kalangan Angsoka oleh para penabuh dari Sekaa Gong Jepun Putih, Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Badung itu. Sesudahnya barulah disusul penampilan Tari Puspanjali yang dibawakan tujuh remaja putri yang menyandang disabilitas tunarungu.
"Sekaa" atau kelompok seni yang baru pertama kali tampil dalam Pesta Kesenian Bali itu berhasil "membius" para penonton untuk tak beranjak dari tempat duduknya, meskipun terik matahari masuk ke sebagian Kalangan Angsoka. Terlebih, penonton kian dibuat takjub dengan Tari Puspanjali yang dibawakan begitu piawai, meskipun penarinya harus mengandalkan gerak isyarat dari seorang pelatih yang berdiri di depan panggung.
Pada pementasan terakhir, Sekaa Gong Jepun Putih dibantu Sanggar Seni Guntur Madu juga mengiringi pentas topeng Tugek Carangsari yang mengangkat cerita bertajuk "Sang Bang Manik Angkeran".
"Walaupun keadaan kami seperti ini, ada keterbatasan, kami tetap mempunyai semangat yang berapi-api untuk maju dan melestarikan kebudayaan Bali," tutur Ketua Pertuni Kabupaten Badung Anak Agung Ngurah Mayun Juliawan yang ditemui di sela-sela pementasan tersebut.
Bagi orang nomor satu di Pertuni Badung itu, kesenian dan kebudayaan Bali yang diwariskan para leluhur merupakan aset yang luar biasa. "Orang luar negeri saja banyak yang tertarik belajar kesenian kita, mengapa kita harus meninggalkan? Walaupun kami dihadapkan pada keterbatasan, mari kita melangkah mengajegkan (melestarikan) budaya Bali," ucapnya.
Semangat berapi-api untuk melestarikan kebudayaan Bali itu, diakuinya telah berhasil mengalahkan keterbatasan fisik yang dimiliki sehingga hampir tidak ada kesulitan yang berarti ketika menabuh dalam "gelap", walaupun tidak sesempurna orang yang normal. Baginya, kesulitan justru sempat datang karena persoalan dana, namun hal itu sudah bisa diselesaikan dengan cara swadaya.
Apalagi, dengan tema PKB tahun ini yakni "Teja Dharmaning Kauripan, Api Spirit Penciptaan", bagi Mayun sangat tepat untuk menunjukkan betapa api dalam diri jika dikelola dengan benar, akan menjadi kekuatan yang luar biasa dan mengalahkan segala kekurangan maupun keterbatasan yang ada.
"Untuk tampil di PKB ini, kami sudah berlatih sejak Januari lalu. Kami biasanya berlatih setiap minggu pertama dan ketiga di Puri Agung Petang, Kabupaten Badung, karena sarana prasarana latihan berupa gamelan sudah tersedia lengkap," ucap Mayun seraya mengatakan memang sudah lama berangan-angan dapat pentas dalam Pesta Kesenian Bali.
Oleh karena itu, semenjak terpilih menjadi Ketua Pertuni Badung, dia mengakui terus berupaya untuk menyatukan penyandang disabilitas tunanetra agar mau bergabung dalam wadah Pertuni dan rutin berlatih kesenian Bali.
Meskipun baru tampil perdana di PKB, Mayun bersama rekan-rekannya sudah beberapa kali pentas kesenian. "Kami pernah mengisi Malam Festival Kesenian Budaya di Kabupaten Badung pada 2016 dan 2017, mengisi acara Hari Disabilitas Internasional, dan sosialisasi Pilkada Bali bersama KPU Kabupaten Badung," kenangnya.
Banyak Belajar
Melatih orang yang berkebutuhan khusus untuk menabuh, menurut I Made Oka Sedana, bukanlah perkara mudah. Oka sebagai pembina tabuh Sekaa Gong Jepun Putih itu mengakui banyak menemui suka-duka dalam proses persiapan untuk pementasan di Pesta Kesenian Bali tersebut.
"Persoalannya bukan dari semangat mereka, namun bagaimana kita yang melihat ini dapat mentransfer apa yang diinginkan untuk ditampilkan kepada mereka yang tidak bisa melihat. Saya masih perlu banyak belajar cara mentransfer kemampuan menabuh ini, apalagi baru pertama kalinya saya mendapat tanggung jawab melatih para penyandang disabilitas," ucap Oka Sedana.
Dalam proses latihan, dirinya harus menggunakan bermacam-macam kode, mulai dari tepuk tangan dengan beberapa ketukan maupun dengan ucapan, karena keseluruhan penabuh sama sekali tidak bisa melihat. "Jadi, otomatis mereka hanya mengandalkan suara dalam proses transfer kemampuan menabuh," ujarnya.
Hal senada disampaikan Ni Made Wulan Meryantini, yang menjadi pembina tari Puspanjali, dengan para penari yang semuanya tidak bisa mendengar. "Awal-awalnya cukup sulit untuk berkomunikasi karena saya bukan guru mereka di sekolah dan saya juga tidak menguasai bahasa isyarat," ujar Wulan yang merupakan pembina tari di Sanggar Sandi Muni Kumara, Denpasar itu.
Kesulitan lainnya, Wulan pun harus bisa menjaga "mood" anak-anak saat berlatih karena mereka tidak bisa dipaksa kalau mereka sedang tidak ingin berlatih. Untuk melatih satu tarian itu, diakuinya bisa memakan waktu sampai enam bulan dan paling cepat tiga bulan. "Kalau nggak 'mood', ya mereka bisa ngambek, dan tidak bisa dipaksa belajar. Suasana latihan harus didesain dengan 'enjoy' tetapi serius," ucapnya. (*)