Nuansa bulan Ramadhan di China tahun ini sedikit berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya seiring dengan perkembangan situasi global, baik yang berpengaruh secara langsung maupun tidak.
Serangkaian aksi terorisme di beberapa negara menjelang bulan puasa, termasuk di Indonesia, menjadi perhatian tersendiri bagi negara berpenduduk terbanyak di dunia itu.
Meskipun belum pernah tertimpa teror dalam skala besar, China boleh dibilang negara yang menerapkan sistem pengamanan sangat ketat di dunia, baik terhadap orang asing maupun warga negaranya sendiri.
Cegah dini superketat tersebut sampai saat ini masih diberlakukan di segala bidang karena pemerintah China tidak ingin sedikit pun memberikan ruang kepada kelompok radikalisme dan separatisme.
Salah satu upaya membasmi bibit-bibit radikalisme adalah dengan menegakkan peraturan mengenai kegiatan keagamaan.
Peraturan tersebut tidak bisa ditawar atau ditoleransi sedikit pun sehingga kegiatan keagamaan sepenuhnya harus tunduk pada peraturan perundang-perundangan yang berlaku di negara yang diperintah oleh rezim komunis tersebut.
Per 1 Februari 2018, pemerintah China memberlakukan peraturan mengenai keagamaan versi revisi. Dibandingkan dengan peraturan yang berlaku sebelumnya, regulasi baru lebih spesifik dan lebih ketat yang oleh para pengamat dimaksudkan untuk mengatasi persoalan-persoalan terkini di bidang keagamaan di daratan Tiongkok itu.
"China memiliki beberapa persoalan seperti konflik antarpemeluk agama dan persoalan ini sangat serius," kata Liu Guopeng, pakar keagamaan dari Institute of World Religion Studies of the Chinese Academy of Social Sciences (CASS) sebagaimana dikutip Global Times pada 11 September 2017.
Berdasarkan penelitiannya, dia memaparkan bahwa runtuhnya kerukunan dapat mengancam stabilitas sosial dan fungsi pemerintahan.
Oleh sebab itu pula, regulasi versi revisi menekankan pentingnya semua agama memegang prinsip-prinsip kebebasan dan aturan pemerintah setempat sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh asing.
Regulasi yang berlaku bagi agama apapun di China itu memicu polemik, terutama dari media Barat, karena dianggap dapat mengekang kebebasan bagi pemeluk agama dalam menjalankan ritual peribadatan.
Padahal, kalau dicermati terdapat klausul yang menyebutkan bahwa pemerintah China melindungi hak warga negaranya dalam kebebasan beragama dan menjalankan kegiatan keagamaan secara wajar seperti yang tertuang dalam Bab I Ayat 2 aturan revisi itu.
Warga negara asing di China juga diizinkan menjalankan ritual keagamaan di rumah-rumah ibadah yang telah ditentukan sebagaimana diatur dalam Bab II Ayat 3.
Walau begitu, peraturan tersebut mencakup beberapa larangan, meliputi kegiatan keagamaan secara ilegal, penyebaran paham ekstremisme, kegiatan ekstremisme dengan mengatasnamakan agama, dan menolak infiltrasi asing.
Yang lebih penting adalah larangan mencampuradukkan urusan agama dengan beberapa bidang lain, termasuk pendidikan.
Baru-baru ini salah satu perguruan tinggi di Provinsi Gansu melarang berbagai kegiatan keagamaan selama bulan Ramadhan.
Northwest Minzu University (NMU) tidak mengizinkan berbagai kegiatan keagamaan di kampus karena adanya peraturan yang memisahkan antara pendidikan dengan agama.
"Terlepas dari anggota Partai Komunis China atau Liga Pemuda Komunis China, para pelajar memiliki hak menjalankan keyakinannya sesuai dengan peraturan tentang tempat ibadah di luar kampus," kata Kepala Departemen Publikasi NMU, Gao Zhiping, sebagaimana dikutip Global Times pada 22 Mei 2018.
Peraturan itu sebagai tindak lanjut dari keluhan para mahasiswa yang persiapan menghadapi ujian akhir semesternya terganggu oleh beberapa mahasiswa Muslim yang menjalani ibadah di kampus tersebut pada pukul 03.00 waktu setempat (02.00 WIB).
Mereka menuding pihak kampus yang berada di wilayah barat China itu membiarkan agama menyusupi lingkungan kampus.
Sebelumnya, pihak Gansu Institute of Political Science and Law mencabut surat edaran yang mengizinkan para mahasiswa muslim keluar masuk asrama mulai pukul 02.30 hingga 04.00 selama bulan Ramadhan.
"Pihak sekolah bertanggung jawab bahwa kegiatan keagamaan harus di luar kampus karena sekolah bukan tempat ibadah," kata Prof Xiong Kunxin dari Minzu University of China di Beijing.
Sementara itu, Masjid Agung Shadian, Provinsi Yunnan, mengeluarkan surat edaran pelantang panggilan shalat disetel pada pukul 03.40 dan hanya berlangsung 10 menit agar tidak mengganggu masyarakat sekitar.
Otoritas keagamaan di Shanghai juga mengeluarkan kebijakan untuk memastikan bahwa kegiatan keagamaan hanya terbatas di masjid, tidak mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat umum.
Menginspirasi
Polemik seputar puasa dan ritual keagamaan tersebut sama sekali tidak memberikan dampak yang berarti bagi warga negara Indonesia, khususnya para pelajar, di China.
Mereka tetap menjalankan ibadah puasa Ramadhan tahun ini dengan durasi waktu antara 16 hingga 17 jam per hari.
Meskipun sudah memasuki musim panas, pada bulan puasa tahun ini cuaca di daratan yang luasnya hampir 10 kali lipat luas wilayah daratan Indonesia itu tidak menentu.
Awal puasa Ramadhan, suhu udaranya masih berkisar pada 27 derajat Celcius. Namun pada Senin (21/5) hingga Selasa (22/5), suhu udara menurun hingga 16 derajat Celcius diiringi hujan turun sepanjang hari sehingga menyebabkan banjir di wilayah tengah dan baratdaya. Dua hari kemudian suhu udara meningkat hingga 33 derajat Celcius.
"Tidak ada masalah dengan puasa kami," kata Wawan Haryanto, mahasiswa kedokteran Beijing of Capital Medical University (CMU), kepada Antara di Beijing, Sabtu (26/5).
Mahasiswa asal Lombok, NTB, yang sudah empat tahun menjalani puasa Ramadhan di Ibu Kota China tersebut juga tidak pernah mendapatkan protes atau keluhan dari pelajar pribumi lainnya seperti yang terjadi di kampus NMU, Provinsi Gansu, itu.
"Bahkan, teman sekamar saya asal Vietnam tidak pernah makan atau minum apa pun di depan saya selama saya puasa," kata Suud Tasdiq, kandidat Master Hukum Shanghai University of Finance and Economic.
Mahasiswa asal Jepara, Jawa Tengah, itu juga pernah mendapatkan undangan makan malam dari profesor pembimbingnya pada bulan Ramadhan tahun ini.
"Waktu 'dinner' di China ini biasanya pukul 18.00. Namun karena saya puasa, profesor saya itu memundurkan undangan 'dinner' agar bisa bersamaan dengan waktu buka puasa saya," ujar Katib Syuriah PCINU China itu.
Pelajar muslim asal Indonesia di China, seperti Wawan dan Suud, bukan "generasi cengeng" yang selalu ingin mendapatkan keistimewaan dari kampusnya agar bisa melaksanakan kewajibannya agamanya.
Sebelum menginjakkan kaki di daratan yang dihuni mayoritas etnis Han yang tidak beragama itu, mereka sudah mempertimbangkan segala situasi dan kondisi, termasuk kendala yang bakal dihadapi.
Oleh sebab itu, aturan demi aturan yang ditetapkan oleh pemerintah atau otoritas setempat bukan penghalang dalam melakukan ibadah karena kepatuhan terhadap ajaran agama sepenuhnya tergantung pada pribadi masing-masing.
Bahkan, tidak jarang puasa yang dijalani oleh para pelajar asal Indonesia di Tiongkok itu memberikan inspirasi bagi yang lain.
"Sejak hari pertama puasa, teman saya asal Korea (Selatan) ikut-ikutan tidak makan dan minum dari pagi sampai sore karena dianggap menyehatkan," kata Ilman Tasya, siswi kelas II SMA Negeri 39 Beijing. menuturkan pengalamannya. (ed)