Beijing (ANTARA) - Asosiasi Muslim di China, termasuk juga di Hong Kong dan Taiwan, telah bersepakat menetapkan 1 Ramadhan 1443 Hijriah jatuh pada hari Ahad, tanggal 3 April 2022.
Umat Islam di China yang dipersatukan dalam wadah "Zhongguo Yisilanjiao Xiehui" atau dikenal dengan CIA atau IAC bahkan sejak Maret lalu sudah menetapkan 1 Syawal 1443 Hijriah jatuh pada tanggal 3 Mei 2022.
Sementara Chinese Muslim Association of Taiwan (CMA) baru memutuskan 1 Ramadhan pada Jumat (1/4) malam melalui sidang itsbat seperti di Indonesia.
Demikian juga dengan The Islamic Union of Hong Kong menetapkan puasa Ramadhan sama dengan Taiwan.
Dengan ditetapkannya puasa pada tanggal 3 April itu berarti bertepatan dengan musim liburan Festival Qingming di China daratan, Hong Kong, dan Taiwan.
Otoritas setempat menetapkan libur Qingming pada 1-5 April 2022. Pada tanggal tersebut, masyarakat China daratan, Hong Kong, Taiwan, termasuk juga Makau memperingatinya dengan ritual mengunjungi atau menziarahi makam leluhur.
Kalangan etnis minoritas Tionghoa di Indonesia memperingati tradisi yang juga dikenal dengan sebutan "Cengbeng" itu.
Presiden China Xi Jinping berseru kepada rakyatnya agar menjadikan Qingming sebagai momentum untuk mengenang jasa-jasa pahlawan, termasuk mereka yang gugur dalam bertugas di garda terdepan pertempuran melawan pandemi COVID-19 yang sampai tulisan ini diturunkan masih terjadi lonjakan kasus harian di Shanghai dan Hong Kong, termasuk juga Taiwan.
Tentu saja libur Qingming bagi sebagian besar pekerja migran Indonesia (PMI) di Taiwan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mengawali bulan Ramadhan ini dengan berbagai kegiatan ruhaniah.
Jamaah shalat tarawih di kantung-kantung PMI di Taiwan, seperti Taipei, Keelung, Hsinchu, dan Kaohsiung terlihat ramai.
Sejak pemerintah Indonesia menetapkan 1 Ramadhan, majelis-majelis taklim di Taiwan yang anggotanya adalah para PMI sudah menyebarkan pengumuman pelaksanaan shalat tarawih dan jadwal imsak melalui berbagai kanal media sosial.
Sejumlah warga negara Indonesia (WNI) di Beijing juga tidak kalah semangatnya dengan sesama kaum diaspora di Taiwan.
Mereka berbondong-bondong menuju aula serba guna Kedutaan Besar RI di Beijing, meskipun pada Senin (4/4) dan Selasa (5/4) diliburkan karena Festival Qingming itu.
Oleh karena libur kerja itu pula, maka di KBRI Beijing juga tidak ada acara buka bersama.
Walau begitu, bukan berarti aula serba guna KBRI sepi. Menjelang azan isya, aula yang berada di atas kantor imigrasi dan kekonsuleran itu ramai didatangi para WNI yang menggabungkan diri dalam Majelis Taklim At-Taqwa.
Bukan Hambatan
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan dua kutub yang berbeda antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam perspektif sosial kemasyarakatan.
Hukum Islam juga tidak membedakan antara mayoritas dan minoritas.
Demikian halnya dengan kewajiban berpuasa, perintah-Nya juga tidak mengarah pada kelompok tertentu.
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa."
Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 183 itu disyariatkan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya.
Tidak ada pengecualian, apakah orang yang beriman itu dari kelompok mayoritas atau dari kalangan minoritas. Dengan begitu maka perintah wajib itu harus dijalankan di mana saja, kecuali jika memang ada uzur syar'i (halangan secara syariat).
Tidak ada beda antara Ramadhan tahun ini dengan satu hingga dua tahun sebelumnya. Tiga Ramadhan ini masih berlangsung dalam suasana pandemi.
Sebagian negara, termasuk Indonesia, memang sudah mengendorkan protokol kesehatan ketat COVID-19. Masjidil Haram di Mekkah sudah mulai lagi menerima jamaah umrah dari berbagai negara sejak sebelum Ramadhan tahun ini. Masjid-masjid di Indonesia juga sudah mulai membuka diri untuk jamaah shalat tarawih.
Tapi tidak dengan di China. Pintu masjid masih tertutup untuk umum seiring dengan makin banyaknya kasus baru COVID-19. Bukan masjid saja, melainkan juga rumah ibadah agama lain juga tutup, apalagi sejak penambahan kasus harian di negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu sudah mencapai lima digit.
Otoritas China masih teguh menerapkan kebijakan nol COVID-19 secara dinamis, meskipun sempat melonggarkan prokes. Shanghai masih lockdown untuk yang kesekian kalinya. Demikian pula dengan Beijing dan Provinsi Jilin yang juga mengalami lonjakan kasus. Kasus COVID-19 di Hong Kong lebih parah lagi, sampai-sampai otoritas setempat menyatakan ketidaksanggupannya sehingga membutuhkan bala bantuan dari China daratan.
Prokes yang ketat itu bukan halangan bagi sekitar 20 juta jiwa Muslim di China daratan dalam menjalankan rukun Islam yang ketiga itu. Demikian halnya bagi 60 ribu jiwa penduduk Taiwan yang Muslim ditambah 250 ribu pekerja Muslim dari Indonesia, Malaysia, dan berbagai negara lain yang bekerja di Taiwan.
Umat Islam lokal bersama dengan ribuan WNI Muslim yang tinggal di China daratan, Hong Kong, dan Taiwan menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan penuh khidmah. Mereka menjalankan ibadah selama bulan puasa ini juga dengan tetap mematuhi prokes yang diberlakukan oleh otoritas setempat.
Sebagai kelompok minoritas, umat Islam di China daratan, Hong Kong, dan Taiwan juga tidak menuntut pengecualian dari pemberlakuan prokes selama bulan puasa. Apalagi meminta agar dihormati sebagai orang yang berpuasa. Mereka punya cara tersendiri dalam menjalankan kewajibannya sebagai hamba tanpa harus mendapatkan kekhususan atau keistimewaan tertentu dari rezim yang sedang berkuasa.
Kalau pun di China daratan tidak disediakan fasilitas beribadah di ruang-ruang publik, bukan berarti mereka abai atas kewajibannya sebagai seorang hamba.
Penulis beberapa kali mendapati orang melaksanakan salat wajib di depan gate penumpang pesawat, ruang-ruang kosong bandara dan mal tanpa ada gangguan sedikit pun atau larangan dari petugas karena memang keberadaan mereka tidak mengganggu siapa pun.
Apalagi puasa, sebuah amalan yang samar karena hanya pribadi yang bersangkutanlah yang tahu.
Nabi Muhammad SAW juga telah bersabda: Pada puasa tidak ada sifat riya (pamer).
Demikian pula dengan hadits qudsi yang berbunyi: Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.”
Ibadah bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan, melainkan sebuah keharusan untuk diamalkan. Wallahu a'lam bis shawab.