Denpasar (Antara Bali) - Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Bali Putu Suardhika mengingatkan pentingnya mengelola sebab suatu permasalahan sebagai langkah antisipasi terhadap timbulnya konflik di masyarakat.
"Jangan sampai pola pikir aparat dan masyarakat justru mengarah untuk mengelola akibat," kata Kepala Badan Kesbangpollinmas Putu Suardhika di Denpasar, Jumat, terkait bentrok antar kelompok warga yang sempat meluas di Bangli, Selasa (19/7).
Ia mengungkapkan, jika yang dikelola itu "akibat" berarti sama saja dengan bersikap membiarkan konflik sampai terjadi bukan pada upaya pencegahan.
"Mengelola sebab, ditunjukkan melalui sikap mawas diri dan kewaspadaan. Inilah yang tak henti-hentinya kami ingatkan kepada semua jajaran anggota kesbangpollinmas di tingkat provinsi hingga kabupaten," ucapnya.
Serangkaian dengan langkah ini, Suardhika mengatakan pihaknya senantiasa meningkatkan koordinasi dengan berbagai aparat keamanan yang ada dan masyarakat.
"Bali harusnya selalu waspada. Walaupun masyarakat Bali telah melaksanakan ajaran Tri Hita Karana yaitu menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam, namun potensi konflik dan kebencanaan, sewaktu-waktu dapat saja terjadi," ujarnya.
Menurutnya, menjadi sangat penting untuk menjaga keamanan dalam arti luas. Tugas ini tak hanya menjadi tugas aparat keamanan, tetapi juga masyarakat dimulai dari lingkungan keluarga.
Terkait bentrokan warga yang terjadi di Kabupaten Bangli, agar tak sampai terulang, Suardika mengingatkan kepada masyarakat agar berpikir dewasa dan jernih dalam menyikapi persoalan yang ada.
"Masyarakat harus cerdas dan jangan terbawa emosi sesaat terkait keadaan yang tidak kondusif. Intinya harus bisa mengutamakan untuk duduk bersama dengan kepala dingin," pintanya.
Tegasnya, jangan belum apa-apa masyarakat sudah membunyikan "kulkul bulus" atau kentongan bertalu-talu sebagai tanda bahaya karena hal tersebut dapat semakin memanaskan situasi.
"Konflik berbau adat dan kelompok yang belakangan ini terjadi, itu bukan berarti semangat kekeluargaan mereka meluntur dan karakter orang Bali menjadi semakin keras," ucapnya.
Terjadinya konflik, lanjut dia, merupakan akumulasi berbagai faktor seperti akses informasi yang kian terbuka, merenggangnya komunikasi antara orang tua dengan anak, dan karakter orang Bali yang tidak bisa menerima jika harga dirinya sampai diinjak-injak.
"Konflik disebabkan oleh hal yang bersifat kasuistis, yang tidak dapat digeneralisasi berlaku umum untuk semua keadaan. Hal tersebut perlu kajian yang lebih mendalam dan peningkatan kewaspadaan," ujarnya.(*)