Denpasar (Antara Bali) - Di tengah perkembangan pariwisata yang pesat, nilai-nilai budaya sakral di Bali tak luput dari praktek komomodifikasi yang menyebabkan terjadinya pergulatan dan kompromi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
"Praktek modifikasi dan komodifikasi berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan, bertujuan untuk memperoleh keuntungan, biasanya berupa uang atau harta," kata Ketua Sanggar Seni Suar Agung Bali Dr I Ketut Suwentra, SST, MSC di Denpasar, Kamis.
Seniman andal yang sering memimpin tim kesenian daerah ini dalam lawatan ke mancanegara dan juga dosen matakuliah kesenian etnik Bali di University Nagoya College of Music, Jepang itu mengatakan, budaya uang di tengah kapitalisme ekonomi membuka ruang selebar-lebarnya terhadap hasrat dan praktek mengkomoditikan sesuatu yang telah dimodifikasi.
Bahkan praktek komodifikasi itu dijadikan prinsip meraup keuntungan finansial, sehingga nilai-nilai sakral menjadi sebuah komoditi, sehingga realitas dan fenomena komodifikasi itu dapat disimak secara transparan dalam industri pariwisata.
Ketut Suwentra menambahkan, Bali adalah sebuah "komoditi" yang memiliki nilai jual dalam industri pariwisata, sekaligus semakin mengukuhkan daerah ini dalam persaingan di tingkat internasional.
"Pesatnya perkembangan pariwisata Pulau Dewata menyebabkan semua pihak ingin mengakomodasikan hampir seluruh 'lekuk skala dan niskala', dari gunung hingga laut, urusan religi hingga mistik dan anugerah alam Bali dimodifikasi tanpa sisa," tutur Ketut Suwentra yang selalu sukses memimpin tim kesenian ke mancanegara.
Danau, pantai dan laut yang diyakni masyarakat Bali sebagai tempat pembersihan suci serta gunung, bukit dan tebing yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan makhluk halus juga tidak luput dari usaha modifikasi dan komodifikasi.
Semua itu sebagai salah satu dampak dari perkembangan pariwisata yang pesat maupun pengaruh paham kapitalisme. Selendang yang biasa digunakan masyarakat saat ritual adat dan agama, kini dimodifikasi dengan disewakan kepada wisatawan saat memasuki tempat suci.
Demikian pula destar (udeng), salah satu elemen pakaian adat Bali untuk menutup kepala, kini menjadi komoditi atau matadagangan yang banyak diminati wisatawan dalam dan luar negeri.
Bahkan benda keramat berupa barong dan rangda yang oleh masyarakat Bali biasa diusung dengan takzim, juga dimodifikasi menjadi cinderamata. "Yang lebih memprihatinkan upacara perkawinan adat kita dipaketkan atau dijajakan untuk turis," tutur Ketut Suwentra.(*)
Nilai Sakral Bali Tak Luput Praktek Komodifikasi
Kamis, 21 Juli 2011 7:24 WIB