Tanjung Selor (Antara) - Beberapa hari lalu, media sosial (medsos) dibanjiri meme (dibaca: mim) mobil Ketua DPR RI Setya Novanto yang menabrak tiang listrik pada Kamis (16/11/2017).
Berbagai meme kritikal lucu dan menghibur itu berhamburan menembus ruang dan waktu langsung ke genggaman semua orang berkat perkembangan teknologi, kemudahan akses serta informasi gratis.
Meme dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah ide, prilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang yang lain dalam sebuah budaya. Arti lain sesuai kamus, yakni cuplikan gambar dari acara televisi, film, dan sebagainya atau gambar-gambar sendiri yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata atau tulisan-tulisan untuk melucu atau menghibur.
Kemajuan teknologi mendorong warganet (netizen) bukan lagi sekadar "pembaca, pendengar dan penonton pasif" tetapi menjadi warganet yang "share" (menyebarkan) informasi, pemikiran maupun meme atau kritikal lucu dan menghibur layaknya wartawan melalui media sosial.
Kadang berita banjir, tanah, longsor, kecelakaan kapal, kebakaran atau tabrakan bus maut lebih cepat tersebar lewat media sosial ketimbang media mainstream.
Lahirnya meme tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi serta keberadaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, dan Instagram.
Warganet melalui postingan mereka di media sosial bisa membentuk opini publik jika mampu memviralkan pemikiran atau meme tersebut, contoh hashtag #savetianglistrik yang sempat menjadi "trending topic".
Perkembangan teknologi menjanjikan masa depan, namun di sisi lain menjadi ancaman bagi keberadaan media cetak, televisi, dan media online jika tidak melakukan perubahan sesuai tuntutan zaman.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, lihatlah dalam beberapa tahun terakhir sejumlah media besarpun satu persatu tumbang. Sinar Harapan baik cetak maupun daring berhenti pada 1 Januari 2016. Harian Bola yang coba bertahan dengan menerbitkan harian bola pada 7 Juni 2013 hanya mampu bertahan 2,5 tahun.
Jakarta Globe yang merupakan koran berbahasa Inggris yang terbit pertama kali 12 November 2008 dan akhirnya tumbang 15 Desember 2015. Koran Tempo Minggu sejak 11 Oktober 2015 tidak lagi terbit digabung dengan Sabtu.
PT The Nielsen Company Indonesia melaporkan pada 2015 tercatat dari 117 surat kabar yang dipantau, 16 unit media telah gulung tikar. Sedangkan 38 majalah juga bernasib sama. Hanya tersisa 132 majalah dari 170 majalah, yang masih bertahan.
Khabar duka juga terjadi awal Juli 2017 ketika biro daerah Koran Sindo ditutup setelah 11 tahun beroperasi per 29 Juni 2016.
Kegalauan akan masa depan media itu tercermin dalam Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) Persatuan Wartawan Indonesia 17-19 November 2017 di Bengkulu lewat Seminar Nasional bertajuk "Revolusi Digital: Peluang dan Tantangan Bagi Pembangunan Daerah" pada Sabtu (18/11) .
Seminar menghadirkan tiga pembicara, yakni staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Gun Gun Siswadi, pengamat Eknonomi dan Bisnis dari Universitas Bengkulu Prof Lizar Alfansi, PhD, dan Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Hendry Ch. Bangun.
"Reach and Money"
Dalam seminar itu, Hendry Ch. Bangun menyebutkan bahwa tidak ada yang dapat mengendalikan perkembangan teknologi yang menyerbu ke semua jenis bisnis, termasuk media di Indonesia. Informasi gratis dan kemudahan akses menghancurkan pilar pers.
Media cetak menjadi industri senja, media televisi segera menyusul, sementara media digitalbelum berkembang sesuai harapan.Di tengah kondisi ini media bertumbangan karena gagal mengantisipasi oplah turun, sulit mendapat iklan, harga kertas koran kian mahal.
Wartawan senior Kompas itu menjelaskan kondisi media sekarang cukup memprihatinkan karena keuntungan merosot, diperkirakan tahun ini mencapai 40 persen.
Tanda kian terpuruk perusahaan media cetak, yakni kasus PHK secara terbuka, pembekuan/penundaan gaji melanda puluhan majalah serta sejumlah suratkabar karena pendapatan tidak sebesar pengeluaran. Media besar mencoba bertahan dengan mencari terobosan.
Bagaimana menghadapi kondisi tersebut ? Hendry memberikan pemikiran dengan melakukan model bisnis, antara lain perusahaan pers jenis suratkabar menjalankan dua langkah untuk bertahan, yakni membuat versi e-paper (pendapatan dari pelanggan berbayar) dan atau membuat versi online (pendapatan dari iklan).
Kondisi sekarang menyebabkan perusahaan pers berjenis majalah, tabloid, sulit bertahan karena tidak cocok dengan tuntutan audiens. Semua informasi bisa diperoleh gratis dan cepat, tak perlu lagi beli atau langganan, kecuali isinya premium.
Perusahaan media online tumbuh cepat tapi hanya segelintir yang layak bisnis, mutu belum terbukti.
Hendry mengutip pendapat Earl J. Wilkinson, CEO INMA (International News Media Association) bahwa ada dua pilihan dilakukan grup media besar di penjuru dunia, yakni jurusan "reach" dan jurusan money.
Reach adalah menjangkau sebanyak mungkin audiens, terutama mendapat uang dari iklan. Konten populer, selain berita, juga memperbanyak video. Sering kelasnya dianggap untuk menengah bawah.
Sedangkan Money adalah isi premium, liputan khusus, bagi menengah atas, mendapat uang dari langganan berbayar. Media ini memahami kelas dan keinginan audiensnya.
Keniscayaan
Maraknya meme tentang Ketua DPR RI Setya Novanto juga mendapat perhatian Gun Gun Siswadi, Staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa, yakni lahir dari perkembangan teknologi media.
Pesatnya perkembangan teknologi butuh diimbangi dengan regulasi agar masyarakat terlindungi dari penyalahgunaan teknologi itu. Kemajuan teknologi ibarat pisau bermata dua, tergantung dari siapa yang memanfaatkannya.
Alasan tersebut mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan pendaftaran kartu telepon sesuai dengan kartu penduduk dan kartu keluarga.
Minat warga menggunakan sarana komunikasi cukup tinggi terbukti jumlah sim-card yang beredar di Indonesia tercatat sekitar 337 juta, padahal penduduk 256,2 juta jiwa.
Data lain yang diungkapkan bahwa pengguna internet sekitar 132 juta atau sekitar 48,2 persen dari jumlah penduduk dan 65 persen tinggal di Jawa, sedangkan dilihat profesinya 62 persen atau sekitar 82,2 juta jiwa pekerja swasta,diikuti ibu rumah tangga 16,6 persen atau 22 juta jiwa.
Data itu kata dia menjadi tantangan dan peluang bagi media massa dalam melakukan berbagai terobosan atau perubahan dalam menghadapi tantangan zaman.
Namun, Henry C Bangun menutup pandangannya dengan optimistis bahwa "Kompetisi menuntut kualitas dan inovasi serta konten bermutu dan pengelolaan yang profesional menciptakan peluang".
Lain halnya dengan Prof Lizar Alfansi PhD dari Universitas Bengkulu yang menyebut "kata kunci" menghadapi tantangan tersebut adalah harus mampu bermetamorfosa atau menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.
"Kita tidak tahu kapan media (mainstream) benar-benar habis namun itu sebuah keniscayaan," katanya.
Mau tidak mau, suka tidak suka maka perubahan adalah keniscayaan bagi insan media untuk bisa bertahan, seperti kata Albert Einstein bahwa sesuatu yang pasti adalah perubahan. (*)
------------
*) Penulis adalah Kepala/Redaktur LKBN Antara Biro Kalimantan Utara dan Ketua PWI Kalimantan Utara.