Denpasar (Antara Bali) - Umat Hindu Dharma di Bali merayakan hari Tumpek Wariga atau yang lebih dikenal dengan Tumpek Uduh, persembahan suci yang khusus ditujukan untuk menghormati semua jenis tumbuh-tumbuhan.
Kegiatan ritual menggunakan kelengkapan sarana banten, rangkaian janur kombinasi bunga dan buah-buahan, dengan kekhususan "bubur sumsum", yakni bubur dari tepung ketan yang diberi warna hijau alami dari daun kayu sugih, ditaburi dengan parutan kelapa dan diberi gula merah.
Masyarakat menggelar kegiatan ritual itu Sabtu (11/6) yang berlangsung sejak pagi hingga sore hari di ladang, sawah dan pekarangan rumah tangga masing-masing.
Ketua Program Studi Pemandu wisata Institut Hindu Dharma Indonesia (IHDN) Denpasar, Dr Drs I Ketut Sumadi M.Par menjelaskan, Tumpek Uduh dirayakan umat Hindu setiap hari Sabtu wuku Wariga yang jatuh setiap 210 hari sekali.
Kegiatan ritual itu dapat dijadikan sebagai mementum yang strategis dalam revitalisasi membangkitkan sektor pertanian mengimbangi kemajuan bidang pariwisata di Pulau Dewata, sekaligus mendukung pelestarian lingkungan.
Hal itu sangat penting mengingat alam dan potensi Bali dimanfaatkan sebagai pendukung kehidupan masyarakat Pulau Dewata secara turun temurun.
Sumber daya alam, manusia dan budaya Bali merupakan satu-kesatuan yang saling terkait dan ketergantungan satu sama lainnya.
Upaya pelestarian, harmonisasi manusia dan alam akan terjamin, jika seluruh komponen berada dalam hubungan yang selaras sesuai konsep "Tri Hita Karana".
Sebaliknya jika aktivitas pembangunan tidak terkendali menyebabkan kerusakan alam, sehingga berpengaruh terhadap daya dukung yang pada akhirnya mempengaruhi eksistensi manusia dan budayanya, tutur peraih doktor Kajian Budaya Universitas Udayana itu.
Alam Bali selama ini telah mampu memberikan kesejukan, rileksasi, ketentraman dan kenyamanan, sehingga mendapat berbagai macam julukan, didasarkan atas kesan wisatawan yang berliburan ke Pulau Dewata.
Seperti di subak Mole dan Subak Sengawang di wilayah Desa Adat Ole. Desa Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, aktivitas petani berjalan secara alami. Hamparan sawah hijau ditata secara apik oleh petani. Saluran irigasi dengan air yang mengalir jernih, di kiri-kanannya membentang areal persawahan dengan berbagai aktivitas petani.
Kegiatan petani antara lain membajak sawah menggunakan tenaga petani, namun sejak tahun 1980 mulai berkurang, bahkan sekarang lebih banyak menggunakan tenaga traktor untuk mengolah lahan pertanian.
Perkumpulan (sekaa) cangkul di sawah maupun sekaa panen padi kini hampir tidak ada lagi, padahal itu sebenarnya merupakan salah satu daya tarik wisatawan berkunjung ke Bali, disamping panorama alam dan seni budaya.
Ketut Sumadi menilai, konsekuensi dari semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Bali menuntut adanya hotel, restoran dan prasarana pendukung pariwisata lainnya.
Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan dan sumber daya air untuk kepentingan pariwisata maupun bidang pertanian.
Luas lahan pertanian menyusut setiap tahunnya berkisar 700-800 hektare. Pantai yang tadinya secara bebas bisa dimanfaatkan masyarakat sebagai mata pencaharian kini dikapling menjadi "private beach" oleh berbagai hotel.
Banyak manfaat
Aktivitas pertanian di Bali menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia tetap mempunyai fungsi strategis, selain memenuhi kebutuhan pangan, menyediakan bahan baku industri dan obat-obatan, juga aktivitas pelestarian terhadap sda dan budaya.
Petani memelihara tumbuhan-tumbuhan, merawatnya sampai tumbuhan bisa memberikan manfaat berupa bahan pangan, sandang dan papan. Bahan yang paling pokok dihasilkan berupa padi, umbi-umbian dan jenis tanaman pangan lainnya.
Orang Bali sebagai salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap semua jenis tumbuh-tumbuhan menggelar kegiatan ritual yang bertepatan dengan "Tumpek Wariga atau Tumpuk Uduh" yang jatuh pada hari Sabtu, 11 Juni 2011.
Kegiatan ritual yang jatuh setiap 210 hari sekali itu, khusus dipersembahkan untuk tumbuh-tumbuhan, yang selama ini telah mampu memberikan manfaat dan memudahkan bagi kehidupan umat manusia maupun aneka jenis satwa lainnya.
Tumpek Uduh, bukan hari untuk menyembah tumbuh-tumbuhan, namun hari untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar melalui tumbuh-tumbuhan umat manusia bisa diberikan kemakmuran dan keselamatan terhindar dari berbagai bencana.
Tumbuh-tumbuhan dengan sistem perakaran yang ada, memegang partikel tanah dan menutupi permukaan tanah, sehingga saat musim hujan permukaan tanah terhindar erosi.
"Bisa dibayangkan bagaimana parahnya erosi dan longsor, jika seluruh permukaan tanah tidak ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan. Dalam satu musim hujan saja, bagian tanah atas yang subur akan tergerus oleh aliran air," ujar Prof Windia.
Namun dengan adanya perakaran tumbuhan yang masuk jauh ke dalam tanah memungkinkan sebagian air di saat musim hujan masuk dan tersimpan di dalam tanah. Air yang tersimpan dalam tanah itu akan dilepaskan secara bertahap disaat musim kemarau, sehingga ketersediaan air berkesinambungan sepanjang tahun.
Keberadaan tumbuh-tumbuhan dalam satu kawasan tertentu sangat membantu mencegah erosi dan banjir pada musim hujan dan mencegah kekeringan pada musim kemarau.
Dengan demikian keberadaan tumbuh-tumbuhan di alam, tidak hanya memberi hidup dan manfaat bagi umat manusia, namun juga memberikan kehidupan terhadap berbagai jenis makluk hidup lainnya.
Berbagai jenis burung, serangga, kupu-kupu dan hewan lainnya sangat tergantung pada keberadaan tumbuh-tumbuhan.
Tumbuh-tumbuhan sangat bermakna bagi kehidupan di alam, selain memberikan kehidupan dan manfaat kepada umat manusia, juga kepada berbagai jenis makluk hidup lainnya di alam ini, ujar Prof Windia. ( I Ketut Sutika)
Tumpek Uduh Hormati Tumbuhan Di Bali
Minggu, 12 Juni 2011 6:18 WIB