Keseharian hidup orang Bali dalam menjaga kelestarian lingkungan cukup serius hampir sama dengan pecinta lingkungan dari berbagai daerah di Indonesia maupun mancanegara.
Hal itu tercermin dalam aktivitas kehidupan masyarakat setempat merayakan hari Tumpek Wariga atau juga dikenal Tumpek Uduh, melakukan persembahan suci yang khusus ditujukan untuk semua jenis tumbuh-tumbuhan, yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kegiatan ritual yang digelar 25 hari menjelang Hari Suci Galungan, hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan, kali ini jatuh pada hari Sabtu (11/3) Kliwon Wariga, yang jatuh setiap enam bulan (210 hari) sekali, tutur Direktur Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi.
Pada hari baik yang khusus menghormati tumbuh-tumbuhan itu, pohon besar di pinggir jalan atau ladang dihiasi dengan kain poleng (kain kotak-kotak hitam putih) dan diberi sesaji.
Hal ini sebagai petunjuk bagi masyarakat dan umat manusia agar selalu sadar menjaga hubungan yang harmonis dengan alam semesta beserta segala isinya. Tanah Bali yang dikenal subur, makmur, dan indah berlimpah pangan tetap menjadi harapan umat Hindu.
Kegiatan ritual Tumpek Uduh di masing-masing rumah tangga menggunakan kelengkapan sarana banten, rangkaian janur kombinasi bunga dan buah-buahan, ditambah kekhususan bubur sumsum, yakni bubur dari tepung ketan yang diberi warna hijau alami dari daun kayu sugih, ditaburi dengan parutan kelapa yang diberi gula merah.
Hal itu dilakukan sebagai cara orang Bali menghormati tumbuh-tumbuhan. Hal itu dinilai sangat penting karena tumbuh-tumbuhan dengan sistem perakaran yang ada memegang partikel tanah dan menutupi permukaan tanah, sehingga ketika musim hujan permukaan tanah terhindar erosi.
Bali yang subur menyebabkan apa yang ditanam akan tumbuh subur, segala kebutuhan hidup akan diperoleh dengan mudah. Ini artinya, Tumpek Bubuh mengingatkan setiap orang, bahwa setiap tindakan pencemaran atau perusakan lingkungan, sekecil apapun, harus siap menanggung konsekuensi besar.
Bumi hanya memberikan apa yang diperlukan manusia, bukan memenuhi kerakusan. Dengan memahami fungsi dan makna ritual Tumpek Wariga tersebut diharapkan mampu melestarikan lingkungan dan mengingatkan umat manusia untuk tidak melakukan penebangan pohon secara sembarangan.
Oleh sebab itu masyarakat dan umat manusia untuk mendapatkan kayu bakar, mereka harus mencari ranting dan daun kering yang jatuh berserakan di tanah. Demikian pula anak-anaknya diajak menanam pohon secara bersama-sama, bahkan salah seorang anaknya digendong saat menanam pohon kelapa sebagai simbol regenerasi menjaga kelestarian lingkungan.
Bersahabat dengan alam
Ketut Sumadi yang juga pengamat masalah sosial dan agama itu mengingatkan, leluhur orang Bali sangat bersahabat dengan alam, yang kini dapat dilihat dari berbagai jenis ritual yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai penguasa alam dan semua mahluk.
Oleh sebab itu bagi leluhur orang Bali, memelihara kelestarian lingkungan merupakan kewajiban suci sebagai pengamalan nilai ajaran agama yang terbungkus dalam Tattwa, susila, dan acara yakni melaksanakan ajaran agama dengan mendalami pengetahuan dan filsafat.
Dengan demikian prilaku bersahabat dengan alam, hidup nyaman dalam lingkungan yang bersih serta hijau yang bisa dilihat dari pelaksanaan ritual Tumpek Bubuh bagi masyarakat setempat, khususnya di daerah perdesaan.
Rangkaian janur kombinasi dengan kue dan buah yang dipersembahkan ke hadapan Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara, dewa penguasa tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hidup.
Oleh sebab itu bagi warga yang mempunyai hamparan kebun yang luas dan banyak tumbuh-tumbuhan yang produktif, seperti kelapa, kopi, cengkih, dan tanaman produktif lainnya sesajen itu dilengkapi dengan babi guling.
Ketut Sumadi mengharapkan untuk dapat hidup nyaman dalam perkembangan sektor pariwisata yang pesat di daerah ini dapat mengembangkan paradigma pembangunan pariwisata kerakyatan berkelanjutan.
Paradigma pembangunan pariwisata tersebut menggunakan pendekatan peran serta masyarakat, pengembangan kepariwisataan berkelanjutan, dan kepariwisataan kerakyatan. Dengan paradigma baru itu, masyarakat diberdayakan agar dapat berperan secara aktif dari tahap awal, sehingga dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan fisik maupun sosial bisa dihindari.
Pariwisata, seperti diungkapkan oleh Sekjen WTO, Francesco Frangiali, adalah salah satu sahabat baik lingkungan. Hal ini berarti pariwisata selain ikut menentukan pendapatan suatu negara, juga sebagai persekutuan organisasi bersifat nasional maupun internasional dalam usaha menyelematkan lingkungan dan usaha pelestarian alam.
Konsep THK
Ketut Sumadi yang juga ketua komunitas pengkajian agama, budaya dan pariwisata Bali itu menambahkan, Bali mewarisi konsep Tri Hita Karana (THK) yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Konsep tersebut kini diamalkan lebih lanjut dalam satu kesatuan wilayah yang disebut desa adat (Pekraman) di delapan kabupaten dan satu kota di daerah ini.
Untuk itu Orang Bali selalu bekerjasama menerapkan pola humanisme dalam membangun kehidupan yang bahagia, dengan selalu bekerj sama, baik dalam suka maupun duka, sehingga sistem kekerabatan sangat kental diwarnai rasa setia kawan dan pelayanan yang tulus.
Kesetiakawanan dan hubungan sosial yang harmonis itu kemudian dipopulerkan dengan konsep Tri Hita Karana, di mana orang Bali tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga memelihara hubungan harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama, dan dengan lingkungan.
Konsep Tri Hita Karana yang menjamin setiap orang untuk saling menghargai, menghormati, dan toleransi terhadap perbedaan di tengah berkembang pesatnya sektor pariwisata.
Dalam perspektif itulah pelaksanaan Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations (THK Awards) menjadi sangat penting artinya dalam perkembangan pariwisata budaya.
Untuk membangun pariwisata di Bali dewasa ini maupun di masa depan, karena tradisi dan budaya Bali yang diwarisi dari leluhurnya harus dipertahankan kelestariannya.
Berbagai pernik tradisi Bali yang dijiwai oleh agama Hindu di Pulau Dewata menjadi daya tarik wisatawan yang harus dapat dilestarikan dan dijaga oleh seluruh komponen pariwisata dan masyarakat di daerah ini.
Oleh sebab itu keuntungan yang diperoleh dari bisnis pariwisata harus sebagian disisihkan untuk kontribusi terhadap upaya-upaya menggali, mengamalkan, mengembangkan dan melestarikan tradisi Bali serta kelestarian lingkungan, ujar Ketut Sumadi. (WDY)
Tumpek Wariga Cara Orang Bali Hormati Tumbuhan
Sabtu, 11 Maret 2017 11:26 WIB