Denpasar (Antara Bali) - Perayaan ritual Tumpek Uduh atau yang juga disebut Tumpek Bubuh, merupakan implementasi ungkapan terima kasih sebagai penghargaan terhadap tumbuhan, hingga kini belum terimplementasi secara nyata dalam kehidupan masyarakat.
"Hal itu menjadi acuan, mengingat masih adanya kerusakan alam yang kini cendrung tidak memperhatikan lingkunan dalam membagun, akibat perilaku dan ulah manusia," kata Pemerhati Lingkungan Universitas Udayana, Dr Ni Luh Kartini di Denpasar, Sabtu.
Umat Hindu Dharma di Bali Sabtu (22/11) merayakan hari Tumpek Uduh dengan melakukan persembahan suci yang khusus ditujukan untuk semua jenis tumbuh-tumbuhan, yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Ia mengatakan, perayaan Tumpek Uduh sejatinya bermakna memanusiakan tumbuhan, atau memperlakukanya sebagai bagian dari kehidupan manusia, jika dilihat secara spiritual, implementasi umat terbilang sangat baik.
Hanya saja, baiknya dalam hal spiritual, ternyata tidak sebanding dengan implementasi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, ujar Luh Kartini.
Ia menambahkan, hal itu perlu menjadi acuan, mengingat masih adanya kerusakan alam akibat ulah manusia sendiri.
Demikian pula maraknya alih fungsi lahan, minimnya ruang terbuka hijau hingga menyusutnya lahan hutan, hanya segelintir permasalahan yang hingga kini belum terselesaikan secara menyeluruh.
Selain minimnya kesadaran masyarakat, lemahnya kebijakan serta pengawasan dari pemerintah daerah dalam menegakkan aturan, juga memberi andil besar kerusakan alam yang terjadi.
Jika konsep perayaan Tumpek Uduh bermakna memanusiakan tumbuhan, sudah selayaknya masyarakat lebih menghargai serta mencintai alamnya, layaknya mencintai Tuhan.
Kartini menambahkan, maraknya alih fungsi lahan karena kepentingan kebutuhan manusia, telah membuat luasan lahan hutan di Bali terus menyusut.
Hingga saat ini, Bali hanya memiliki 22 persen luas hutan, dari idealnya 30 persen dari luas daratan Bali. (WDY)