Wacana krisis air di Bali muncul sudah agak lama. Krisis air yang terjadi juga lebih pada fenomena sosial politik karena tidak begitu jelas apakah pernyataan bahwa Bali mengalami kekurangan air itu fakta atau fiksi? Jadi, jangan sampai salah langkah dalam mengambil keputusan seperti ikan-ikan di telaga Kumudasara yang ditipu oleh bangau. Padahal, itu hanya jebakan bangau rakus untuk memangsa ikan-ikan dengan mengatakan telaga akan kering. Jangan sampai isu krisis air digunakan "bangau-bangau rakus"untuk menjatuhkan industri pariwisata Bali.
Demikianlah sepenggal pandangan dari guru besar Universitas Udayana Prof Dr I Nyoman Darma Putra saat menjadi salah satu pemateri pada sarasehan serangkaian Pesta Kesenian Bali ke-39, di Taman Budaya Denpasar, Kamis (29/6). Dalam sarasehan yang bertajuk "Ulun Danu, Representasi Peradaban Air" itu, Darma Putra melakukan tinjauan dekonstruksi atas wacana krisis air dikaitkan dengan sejumlah fragmen dalam kisah Ni Diah Tantri yang ceritanya berkaitan dengan krisis air.
Pertama, kisah mengenai "Empas dan Angsa", yang persoalan krisis airnya sebagai fakta cerita dan yang kedua kisah "Burung Bangau yang Tamak" dimana persoalan krisis air adalah tipu muslihat. "Meskipun berbeda kondisi air pada kedua fragmen dalam kisah Tantri itu, nasib tokoh utama dalam cerita sama-sama meninggal tragis," ujar Darma Putra.
Dia mengemukakan, selama ini pembicaraan air di Bali lebih sering disampaikan dalam nada kecemasan daripada kebahagiaan. Sejumlah hasil penelitian dari para ahli lingkungan dan ahli ilmu sosial budaya biasanya menegaskan bahwa air telah tercemar, sumur mengalami instrusi air laut, krisis air sudah di depan mata, dan industri pariwisata mengkonsumsi air lebih banyak daripada penduduk lokal. Dalam wacana publik dan akademik, hal-hal yang baik tentang air seperti tenggelam atas hal-hal negatif.
Meskipun ada banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan air, tetapi menurut Darma Putra, yang sering dijadikan kambing hitam adalah industri pariwisata. Hal ini dapat dimengerti karena industri pariwisatalah yang paling menonjol dan juga membuat sektor lainnya seperti pertanian menjadi menyusut.
Di samping itu, memang pemakaian air di industri pariwisata jauh lebih besar daripada pemakaian air rumah tangga. Data menunjukkan penggunaan air oleh seorang wisatawan di hotel diperkirakan menghabiskan air sampai 3.000 liter perhari atau hampir 10 kali lipat dari keperluan setiap orang dalam rumah tangga biasa.
"Namun kenyataannya menunjukkan bahwa Bali tidak pernah krisis air secara sesungguhnya seperti yang dirasakan oleh warga Brisbane tahun 2009. Di sana pemerintah sampai membatasi penggunaan air untuk mandi dan menyiram tanaman," kata Darma Putra.
Sedangkan wacana krisis air di Bali, kata dia, berada antara fakta dan fiksi. Dia mencontohkan, bagi warga miskin yang berada di daerah Jimbaran, Kabupaten Badung, krisis air menjadi fakta karena mereka kesulitan untuk mendapatkan air bersih kalau tidak mengeluarkan uang. Tetapi jika melihat ke sejumlah hotel-hotel di wilayah tersebut, justru wisatawan bisa menikmati air yang berlimpah, sehingga wacana krisis air menjadi fiksi.
"Kalaupun di beberapa daerah di Bali terjadi kekurangan suplai air, itu terjadi bukan karena sumber daya air yang terbatas, tetapi masalah tata kelola dan manajemen. Sehingga wacana krisis air lebih pada fenomena sosial politik dan memerlukan solusi kebijakan publik," tuturnya.
Terkait dengan konteks wacana krisis air di Bali, diharapkan masyarakat, pengelola usaha, investor, dan unsur pemerintah bertanggung jawab pada tata kelola air sehingga perlu terus-menerus memikirkan, menghayati, dan mengamalkan perlunya menghemat pemakaian sumber daya air.
"Salah satu penelitian yang dilakukan Stroma Cole juga menunjukkan niat wisatawan yang mendukung ke arah upaya konservasi air sebagai bagian dari pelestarian planet bumi secara global. Jadi seyogyanya tidak terus mengkambinghitamkan industri pariwisata sebagai penyebab krisis air," kata Darma Putra.
Oleh karena itu, dengan bercermin dari cerita Tantri, seyogyanya dalam menyikapi wacana krisis air haruslah berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menimbang situasi dengan baik agar tidak kena tipu. "Ikan dalam kisah itu yang kurang kritis, mudah percaya, mati secara tragis dimangsa bangau. Sedangkan bangau yang loba pun akhirnya juga mati," kata guru besar bidang Sastra Indonesia itu.
Persoalan Edukasi
Sementara itu, Prof IBG Yudha Triguna dari Universitas Hindu Indonesia Denpasar yang juga menjadi narasumber dalam sarasehan itu menyoroti perlunya edukasi kepada masyarakat untuk memuliakan air. "Selama ini, upacara yang dilaksanakan untuk memuliakan air seperti Segara Kerthi dan Nyepi Laut hanya diketahui dan dipahami oleh lingkungan terbatas," ujarnya.
Mereka yang mengerti upacara tersebut biasanya adalah pemangku kebijakan seperti para sulinggih, pemangku, pemerintah dan sebagainya. Sementara masyarakat yang hadir lebih kepada tujuan sembahyang dan dianggap sebagai piodalan biasa yang diperluas dan diperbesar. "Padahal harusnya dimaknai sebagai upaya memuliakan sumber air, danau dan hutan," ucapnya.
Mantan Dirjen Bimas Hindu itu menambahkan situasi ini terjadi karena cara dan mode transformasi pengetahuan agama masih meletakkan tanggung jawab pengetahuan pada kelompok terbatas seperti sulinggih, para penekun sastra yang tidak memiliki otoritas dan ilmuwan yang tidak memiliki jejaring.
"Sedangkan mayoritas masyarakat hanya bersandar pengetahuan, tuntunan dan keputusan kelompok terbatas. Akibatnya praktik keagamaan dilakukan dengan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena itu, diperlukan metode baru untuk memahami dan menafsirkan pengetahuan dan domain menjadi kontekstual," kata Yudha Triguna.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika juga menekankan pentingnya upaya pelestarian air di tengah tantangan nilai budaya global yang sangat kompleks dan berpotensi mendegradasi filosofi kearifan lokal. "Begitu pentingnya keberadaan air, sehingga air juga menjadi sumber peradaban. Air adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses penciptaan kebudayaan," kata Pastika saat membuka sarasehan tersebut.
Menurut dia, sarasehan dengan tema "Ulun Danu, Representasi Peradaban Air" ini dinilai sangat relevan dengan dinamika kehidupan sosial-budaya saat ini. "Kebudayaan dengan nilai-nilai kearifan lokalnya mengatur pengelolaan dan pemanfaatan air bagi kehidupan, yang menjamin air sebagai salah satu kekayaan alam, dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia sekaligus lestari," ujarnya. (WDY)
Sikapi Krisis Air Bercermin dari Kisah Tantri
Jumat, 30 Juni 2017 10:38 WIB