Denpasar (Antara Bali) - Akademisi Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (Stikom) Bali Marlowe Bandem berupaya mengembalikan artefak berupa foto dan film dokumenter tahun 1920-an karya warga asing.
"Saya akan terus lakukan repatriasi, restorasi dan pemulangan kembali artefak-artefak penting yang terkait seni budaya Bali," kata Marlowe Bandem di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, bersama para pamerhati kesenian dan budaya saat ini berupaya melacak dan memulangkan semua peninggalan sejarah Pulau Dewata khususnya artefak Bali yang diyakini masih banyak berada di luar negeri.
Menurut Marlowe Bandem, bentuk upaya dilakukan dengan repatriasi dan restorasi untuk mengembalikam semua artefak seni budaya Bali. Peninggalan artefak itu berupa permainan tradisional, tari-tarian dan kesenian lain yang terdokumentasikan lewat film dan foto.
Salah satunya, kata dia, segera menghadirkan volume fim dokumenter terbaru, yakni volume enam dan tujuh yang berkaitan dengan permainan anak dan seni "kerauhan" atau kesurupan.
Upaya itu harus dilakukan secara bersama-sama, berbasis komunitas, institusi lainnya.
Dengan demikian, kata dia, akan lebih banyak lagi artefak-artefak bisa dipulangkan dari Amerika, dan Eropa, khususnya yang berkaitan dengan Bali dan Belanda. Karena banyak peninggalan yang belum banyak diketahui publik terkait Bali dan Belanda.
"Ini yang perlu terus kami perjuangkan, karena sangat banyak materi yang penting terkait kesejarahan Bali terutama terkait Puputan Badung," ujarnya.
Ia mengatakan, upaya itu tidaklah mudah, banyak tantangan dar aspek komunikasi. Untuk mendapat kepercayaan Bali melalui lembaga Stikom untuk menjadi pusat pemulangan artefak-artefak itu membutuhkan kepercayaan.
Masyarakat asing yang memiliki terutama yang berwenang dengan arsip-arsip tersebut, selama ini belum yakin bahwa orang Bali mau mengurus masalah artefak budaya dan kesenian. Kemudian, masih ada yang belum yakin bahwa upaya ini sangatlah penting serta memiliki stamina untuk mengurus masalah itu.
Dikatakan, faktor kepercayaan menjadi penting dalam mendukung keberhasilan misi dan tujuan tersebut. Untuk mendapat kepercayaan tersebut, maka diperlukan komitmen kuat, komunikasi yang baik dan didukung anggaran yang saat ini masih dikelola secara independen.
Meski menghadapi banyak kendala, kata Marlowe Bandem, tidak menyurutkan langkah Stikom Bali karena selama ini pula upaya penyebaran "Koleksi Bali 1928" ini, mendapat dukungan masyarakat lewat kerja sama dengan institusi-institusi termasuk media.
Ia menambahkan, keberadan "Koleksi Bali 1928", sudah diketahui pemangku kepentingan di provinsi, kabupaten dan kota, termasuk kalangan kampus, perpustakaan. Namun sejauh ini belum ada kerja sama konkrit dengan pemerintah daerah, tapi terus mendorong upaya yang dilakukan dalam kerangka pengayaan dan pencerdaaan bagi generasi muda Bali.
Marlowe Bandem yang juga Koordinator Proyek Koleksi Bali 1928 mengatakan, upaya ini dirintis sejak tahun 2013 saat disetujuinya Stikom Bali sebagai mitra pemulangan dan restorasi arsip Bali. Hanya saja, secara tim proyek ini sudah bekerja sejak satu dekade sebelumnya yang diketuai Dr Edward Herb yang telah mengumpulkan arsip seperti piringan hitam, foto-foto dan film.
Setelah kerja sama dilakukan secara formal 2013, diluncurkan bulan Juni 2015. Dipilihnya proyek Koleksi Bali 1928 memiliki sejumlah alasan. Secara pencitraan (branding) sangat menarik karena periode itu, menandainya kehadiran perusahaan rekaman asing, seperti dari Jerman yang melakukan perekaman gamelan dan gending di atas piringan hitam.
"Ini bicara momentum dan sejarah Bali ketika bersentuhan dengan teknologi. Karena dengan teknologi itulah yang kemudian bisa merawat, menjaga semua peninggalan kesenian, kebudyaaan dan semua artefak tersebut," ujar anak Prof Dr. Made Bandem.
Langkah ini sejalan dengan visi kampus Stikom Bali yang ingin menjadi kampus kreatif di Tanah Air.
"Kami tidak hanya menempatkan teknologi, namun juga seni budaya dan kewirausahaan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat," ucapnya.
Marlowe Bandem mengatakan pihaknya ingin menjadikan kampus tidak tercerabut dari budaya. Jangan sampai ketika sampai pada zona mabuk teknologi kemudian melupakan akar budaya sendiri, khususnya di Bali.
"Kami mengharapkan kampus Stikom mampu juga melestarikan sejarah Bali melalui teknik teknologi digital. Seperti melestarikan artefak foto dan film. Sehingga generasi muda bisa mengetahui ketika Bali tempo dulu. Dan kami siap diundang untuk menjelaskan dan menyosialisasikan ke banjar-banjar sejarah Bali ini," katanya. (WDY)
Akademisi Stikom Berupaya Selamatkan Artefak Bali
Senin, 1 Mei 2017 21:15 WIB