Jakarta (Antara Bali) - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat I Putu Sudiartana divonis
enam tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider tiga bulan
kurungan, dan kewajiban uang pengganti Rp300 juta, karena menerima suap
dan gratifikasi senilai Rp3,2 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta,
Rabu, juga menjatuhkan vonis tambahan pada terdakwa berupa pencabutan
hak untuk dipilih setelah lima tahun setelah menjalani pidana pokok.
"Majelis berpendapat untuk mengabulkan tuntutan jaksa agar mencabut
hak politik terdakwa," kata Ketua Majelis Hakim Hariono.
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK
yang meminta agar Putu divonis tujuh tahun penjara dan denda sebesar
Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.
Putusan itu berasal dari dua dakwaan yaitu dakwaan pertama pasal 12
huruf a UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP dan dakwaan kedua dari pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Dalam dakwaan pertama Putu dinilai terbuki menerima suap dari
Direktur PT Faktanusa Ciptagraha Yogan Askan yang juga salah satu
politikus Partai Demokrat di Sumatera Barat dan Kepala Dinas Prasarana
Jalan Tata Ruang dan Pemukiman provinsi Sumbar Suprapto senilai Rp500
juta.
Tujuan pemberian itu adalah membantu pengurusan penambahan alokasi
Dana Alokasi Khusus (DAK) kegiatan sarana dan prasarana penunjang tahun
anggaran 2016 provinsi Sumatera Barat pada APBN Perubahan 2016.
Suap Rp500 juta itu berasal dari Yogan Askan sebesar Rp125 juta,
Suryadi Halim sebesar Rp250 juta, Johandri sebesar Rp75 juta dan
Hamnasri Hamid sebesar Ro50 juta, selanjutnya masing-masing mentransfer
uang ke rekening Yogan yang selanjutnya akan diserahkan ke asisten Putu
bernama Novianti dengan istilah "kaleng susu 500 kotak".
"Dalam dakwaan kesatu pertama ada tindak pidana yang didakwakan
karena ada pemberian uagn dari Yogan Askan untuk penambahan dana alokasi
khusus agar membantu pengurusan dana alokasi khusus sarana dan
prasarana yang diperoleh dari APBD 2016 provinsi Sumbar," ungkap hakim.
Walau di persidangan Putu mengaku bahwa uang yang diterimanya tidak
ada hubungan dengan pengurusan anggaran tapi terkait rencana pencalonan
Yogan sebagai ketua DPD Partai Demokrat Sumbar namun hakim tidak sepakat
dengan keterangan itu.
"Terdakwa terbukti menerima uang Rp500 juta melalui Novianti, atas
sepengetahuan dan kehendak terdakwa soal committment fee pengusahaan
anggaran. Terdakwa sudah mengetahui pemberian uang untuk menggerakkan
terdakwa selalu anggota DPR untuk membantu penambahan anggaran DAK
provinsi Sumbar," jelas hakim.
Dalam dakwaan kedua, JPU juga menilai Putu terbukti menerima
gratifikasi sebesar Rp2,7 miliar yang berasal dari Salim Alaydrus
sebesar Rp2,1 miliar yang diterima pada April 2016; dari Mustakim
sebesar Rp300 juta; dan dari Ippin Mamonto yang merupakan orang dekat
wakil ketua MPR 2014-2019 EE Mangindaan sebesar Rp300 juta pada Mei
2016.
Uang dari Salim Alaydrus digunakan Putu untuk membayar utang kepada
Djoni Garyana sebesar Rp1,6 miliar dan sisanya sebesar Rp500 juta
ditransfer ke rekening Ni Luh Putu Sugiani.
"Uang diterima dari Salim secara tunai tanpa tanda terima, tidak ada
tanda penerimaan dan bukan transaksi yang wajar karena diperintahkan
untuk mengambil secara tunai lalu dibawa ke Jakarta. Uang digunakan
untuk kepentingan terdakwa, tidak ada digunakan untuk kepentingan usaha
dan penerimaan itu adalah gratifikasi yang tidak dilaporkan pada KPK
setelah 30 hari sehingga harus dianggap sebagai suap," kata hakim.
Hakim juga tidak sependapat dengan Putu yang menyatqkan penerimaan
uang Rp300 juta yang diakui sebagai pembayaran utang. Sedangkan
penerimaan dari Ippin Mamonto juga hakim menilai bukan merupakan hasil
penjualan tanah.
"Penerimaan uang dari Ipin Mamoto sebesar Rp300 juta di Plasa
Senayan Jakarta bukan transaksi yang wajar tanpa tanda terima dan tidak
dihadirkan pembeli maka tidak terbukti sebagai fakta hukum dan
penerimaan Rp300 juta harus dianggap sebagai suap," ungkap hakim.
Adapun uang terdakwa sebesar 40 ribu dolar Singapura yang ditemukan
petugas KPK saat penangkapan 28 Juni 2016 dan diterangkan sebagai honor
sebagai anggota DPR tidak mendasar.
"Namun bukti transaksi tidak cukup maka terhadap uang 40 ribu dolar
Singapura saat OTT majelis anggap sebagai gratifikasi. Jaksa juga
menuntut majelis merampas Rp150 juta dan Rp50 juta karena merupakan
bagian dari suap dan majelis sepakat akan hal itu," tambah hakim.
Atas putusan itu, Putu mengatakan menerima.
"Apapun keputusannya saya terima. Saya mendukung penegakan hukum
yang diputuskan. Saya menerima. Saya tidak kecewa, kalau salah, ya,
salah. Saya salah, dan saya minta maaf kepada rakyat Indonesia, saya
minta maaf, saya salah dan dihukum memang wajar. Terima kasih semuanya,"
kata Putu usai sidang.
Sedangkan jaksa KPK menyatakan pikir-pikir. (WDY)
Putu Sudiartana Divonis Enam Tahun Penjara
Kamis, 9 Maret 2017 7:17 WIB