Denpasar (Antara Bali) - Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali tidak melarang komite sekolah di SMAN/SMKN untuk melakukan pungutan kepada para siswa, sepanjang memang dibutuhkan.

Kepala Disdikpora Provinsi Bali Tjokorda Istri Agung (TIA) Kusuma Wardhani, di Denpasar, Kamis mengingatkan pungutan komite sekolah jangan sampai memberikan beban pada masyarakat.

"Kalau pemerintah sudah `nutupi` apa perlu lagi ambil dari komite? Intinya kegiatan mana yang memang dibutuhkan, bukan yang diinginkan," ucapnya didampingi Kepala Biro Humas Provinsi Bali Dewa Gede Mahendra Putra.

Menurut TIA, ketika kegiatan di sekolah sudah dialokasikan dari dana Bantuan Operasional Sekolah dan dari APBD, maka kekurangannya itu yang bisa diambil dari pungutan komite, namun harus tertuang di dalam rencana kerja anggaran sekolah (RKAS).

TIA mencontohkan untuk kebutuhan tenaga kontrak di SMA/SMK Negeri, tidak lantas mereka itu diberhentikan semua seiring peralihan kewenangan pengelolaan dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi mulai 1 Januari 2017.

Kalau sebelumnya tenaga kontrak tersebut bekerja berdasarkan SK dari bupati/wali kota dan dibayarkan lewat APBD, ketika pindah ke provinsi menjadi kewajiban pemprov untuk membayar honornya. Namun untuk tenaga kontrak yang sebelumnya dibayar oleh komite, maka dengan peralihan ini tetap menjadi tanggung jawab komite.

"Jangan sampai ketika beralih, lalu tenaga kontrak habis semua. Itulah yang menjadi tugas satuan pendidikan untuk mencarikan solusi, termasuk lewat pungutan komite," ujar TIA.

Meskipun uang komite, TIA menegaskan penggunaanya harus tetap mengacu pada Peraturan Gubernur Bali No 75 Tahun 2014 tentang Honorarim dan Satuan Biaya pada SKPD di lingkungan Pemprov Bali.

"Yang terpenting, aktivitas pihak sekolah harus tertuang pula dalam RKAS. Kalau sekolah membuat program baru yang tidak tertuang dalam RKAS, itu tergolong pungutan liar (pungli)," ucap TIA sembari tidak memungkiri besarnya pungutan komite tiap sekolah akan berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing sekolah.

Di sisi lain, pihaknya saat ini tengah melakukan kajian terkait standar kebutuhan tenaga administrasi disesuaikan dengan luas sekolah, jumlah ruang kelas dan siswa.

"Jangan sampai sekolah yang jumlah siswanya tidak begitu besar, tetapi tenaga administrasinya hingga 57 orang, itu `kan pemborosan. Apalagi kalau ada tenaga administrasi yang tugasnya hanya mencatat siswa yang pindah saja," kata TIA.

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016