Jakarta (Antara Bali) - Rancangan Undang-Undang Perubahan Harga Rupiah atau Redenominasi dinilai terlalu sensitif untuk dibahas pada 2017, mengingat kodisi ekonomi domestik belum stabil dan masih derasnya tekanan terhadap perekonomian, kata seorang ekonom.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira di Jakarta, Selasa, mengatakan pembahasan UU terkait redenominasi dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.

Pasalnya selama ini belum ada sosialisasi masif tentang masa transisi penggunaan rupiah, jika redenominasi atau penyederahanaan tiga digit pada nominal rupiah dilakukan.

"Agak sensitif dan bahaya. Nanti dipikir ini buat apa pemerintah tiba-tiba bikin yang aneh-aneh mau menurunkan nilai rupiah, isu yang tidak riil, padahal masyarakat masih terkendala daya beli dan masalah lainnya," ujar dia.

Jika redenominasi diterapkan, nilai rupiah menjadi lebih sederhana, namun nilai tukarnya tidak berubah. Misalnya, setelah redenominasi, nilai tukar rupiah yang saat ini sebesar Rp13.405 per dollar AS menjadi Rp13,4 per dollar AS

Bhima menuturkan masyarakat belum mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang rencana redenominasi, yang sebenarnya sudah mengemuka sejak 2013.

Dengan minimnya pemahaman tersebut, jika pemerintah dan parlemen memaksakan memulai pembahasan RUU redenominasi, bisa menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.

"Seharusnya bisa belajar dari India. Ada pemahaman, ketik ramai-ramai masyarakat sudah menukarkan uangnya kepada bank karena aksi redenominasi itu, bisa menimbulkan kegaduhan, akhirnya kontraproduktif," ujar dia.

Menurut Bhima, sebaiknya RUU terkait redenominasi ini dibahas pad 2018 atau 2019. Sepanjang dua hingga tiga tahun sejak sekarang, pemerintah dan BI diminta untuk melakukan sosialisasi masa transisi dari redenominasi rupiah.

Sebelumnya, Bank Indonesia menyatakan pemerintah sudah mengusulkan agar Rancangan UU tentag Perubahan Harga Rupiah atau Redenominasi dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional 2017.

Deputi Gubernur BI Ronald Waas mengusulkan diberlakukan masa transisi minimal 5 tahun setelah RUU Perubahan Harga Rupiah disahkan.

"Masa transisi itu seperti uangnya akan kita hapus terlebih dahulu, kemudian keluar rupiah baru. Masa transisinya minimal 5 tahun," kata Ronald pekan lalu.

BI, kata Ronald, berharap RUU terkait dengan redenominasi ini dapat dibahas secepatnya.

"Yang penting undang-undangnya kalau bisa diketok, disepakati, soal diberlakukan mulai kapan bisa diatur di dalam undang-undang," katanya.

Berdasarkan catatan Antara, saat redenominasi diterapkan oleh bank sentral di beberapa negara lain, setidaknya dibutuhkan masa transisi lima hingga 12 tahun. Beberapa negara yang pernah menerapkan redenominasi, antara lain, Belanda dan Polandia.

Dengan redenominasi diharapkan terjadi efisiensi. Namun, di sisi lain, penyesuaian dengan nilai nominal rupiah baru tidak akan mudah karena sosialsiasi harus masif, mengingat kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau.

Lembaga penyelenggara sistem pembayaran pun perlu melakukan penyesuaian biaya investasi karena harus mengubah sistem pembayaran dengan menghilangkan tiga digit.(WDY)

Pewarta: Pewarta: Indra Arief Pribadi

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016