Denpasar (Antara Bali) - Seorang ibu rumah tangga berinisial SA (40) di Bali menggugat cerai suami SW (40) karena selama ini menelantarkan dirinya bersama dua anaknya tidak diberi nafkah hidup selama 12 tahun.
"Dia (SW) sudah menelantarkan saya. Dan saya sudah laporkan ke polisi atas sikap dan prilakunya," kata SA kepada media di Denpasar, Senin.
SA bercerita, saat ini pihaknya tengah menggugat cerai suaminya SW. Sebelum mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri Denpasar, SA sudah melaporkan suaminya ke petugas PPA di Polresta Denpasar.
Ia mengatakan, sejak 12 tahun lalu atau tiga tahun setelah menikah, SW sudah tidak pernah memberi nafkah hidup. Selain tidak menafkahi dirinya selaku istri yang sah, suaminya juga tidak bertanggungjawab atas biaya hidup, kesehatan, dan pendidikan kedua anaknya.
"Dia (SW) sama sekali tidak mau tahu, tidak bertanggungjawab atas kehidupan saya dan anak-anak. Meski sudah saya sampaikan, tetap saja tidak mau bertanggungjawab, misal untuk biaya kesehatan dan pendidikan anak 12 tahun saya dan anak-anak saya ditelantarkan, tidak diberi nafkah," ujarnya.
Selain tidak menafkahi dirinya dan menelantarkan kedua anaknya, suami SA yakni SW juga memiliki wanita idaman lain.
"Sejak 12 tahun itu dia juga selingkuh dengan wanita lain. Bahkan mereka tinggal serumah di tempat lain dan memiliki anak juga. Suami saya melakukan itu tanpa seizin saya sebagai istri yang sah," katanya.
SA mengaku dirinya memilih bersabar selama 12 tahun dengan alasan kasihan terhadap kedua anaknya jika mereka berpisah di usia anak yang masih kecil. Sementara untuk menyambung hidup karena tidak dinafkahi suami, SA bekerja serabutan terutama di bidang jasa pembuatan SIM, STNK, dan pengadaan barang di instansi pemerintah di lingkungan Kota Denpasar.
"Syukur ya, ada saja rejeki selama 12 tahun ini, saya bisa membesarkan kedua anak saya, keduanya kini duduk di bangku SMP," ucapnya.
Sementara itu, Luh Anggraeni dari LBH Apik Bali mengatakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menduduki peringkat pertama di Pulau Dewata. Peringkat pertama kasus KDRT di Bali terjadi di Kabupaten Tabanan.
"Di Bali kasus KDRT masih tinggi, di Tabanan tertinggi, cuma penyelesaiannya selama ini di polisi saja. Dalam melaporkan masalah KDRT, banyak perempuan Bali masih belum mandiri. Oleh karena itu perlu pendampingan dari LSM," katanya.
Anggraeni mengaku selama ini aktif turun ke banjar-banjar (dusun) untuk menyosialisasikan Undang-Undang KDRT, guna memberi masukan agar perempuan Bali yang sudah menikah bisa menjaga rumah tangganya dan tidak sekadar menjadi objek semata.
"Kami lakukan penguatan-penguatan dengan informasi, sekarang tergantung mereka, pilihan mana yang mau dipilih. Jika mereka tidak punya akses, maka akan ada pendampingan agar mereka lebih paham UU KDRT," ujarnya.
Dari hasil pantauan di sejumlah wilayah di Bali, ibu rumah tangga yang mengalami KDRT baik fisik maupun psikis, tidak ingin menghukum suami dengan melaporkan ke polisi.
"Tapi KDRT harus distop, kita harus kuatkan para ibu-ibu ini, agar paham dengan pilihan yang ditempuh, banyak yang tidak tega lapor polisi tapi pilih cerai," ujarnya.
Anggraeni mengingatkan pentingnya kampanye ada hak-hak perempuan dalam rumah tangga, seperti hak untuk punya akses yang sama terhadap harta gono-gini. Jadi setelah bercerai atau ada kasus KDRT, ibu-ibu tersebut mengerti apa yang harus dilakukan.
Terkait kasus KDRT yang dihadapi SA di Denpasar Bali, LBH APIK Bali menyayangkan kenapa sudah 12 tahun SA baru melaporkan kasus KDRT dan perselingkuhan yang dihadapi ke pihak berwajib.
"Kenapa baru lapor sekarang. Apakah karena baru mendapat akses informasi tentang UU KDRT. Ini harus dibela, dia harus lepas dari lingkar kekerasan rumah tangga, dan ternyata dia sudah berani keluar dari lingkar kekerasan. Harus kita dampingi," ujarnya.
Anggraeni menambahkan, dalam kasus KDRT, tak hanya bentuk fisik yang bisa dilaporkan, tapi kekerasan psikis juga bisa diproses di kepolisian. Penelantaran ekonomi juga termasuk kejahatan KDRT.
"Poligami juga melanggar hukum, ancamannya penjara 5 tahun kalau tidak ada tanda tangan persetujuan istri pertama. Perempuan yang diajak menikah dengan suaminya juga turut serta terlibat dalam perbuatan melanggar hukum tersebut," ucapnya.
Terkait kasus poligami di Bali, LBH APIK Bali mencatat sudah ada suami yang dipenjara empat tahun dua bulan di wilayah Kabupaten Bangli, karena melakukan poligami tanpa persetuajuan istri pertama.(I020)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Dia (SW) sudah menelantarkan saya. Dan saya sudah laporkan ke polisi atas sikap dan prilakunya," kata SA kepada media di Denpasar, Senin.
SA bercerita, saat ini pihaknya tengah menggugat cerai suaminya SW. Sebelum mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri Denpasar, SA sudah melaporkan suaminya ke petugas PPA di Polresta Denpasar.
Ia mengatakan, sejak 12 tahun lalu atau tiga tahun setelah menikah, SW sudah tidak pernah memberi nafkah hidup. Selain tidak menafkahi dirinya selaku istri yang sah, suaminya juga tidak bertanggungjawab atas biaya hidup, kesehatan, dan pendidikan kedua anaknya.
"Dia (SW) sama sekali tidak mau tahu, tidak bertanggungjawab atas kehidupan saya dan anak-anak. Meski sudah saya sampaikan, tetap saja tidak mau bertanggungjawab, misal untuk biaya kesehatan dan pendidikan anak 12 tahun saya dan anak-anak saya ditelantarkan, tidak diberi nafkah," ujarnya.
Selain tidak menafkahi dirinya dan menelantarkan kedua anaknya, suami SA yakni SW juga memiliki wanita idaman lain.
"Sejak 12 tahun itu dia juga selingkuh dengan wanita lain. Bahkan mereka tinggal serumah di tempat lain dan memiliki anak juga. Suami saya melakukan itu tanpa seizin saya sebagai istri yang sah," katanya.
SA mengaku dirinya memilih bersabar selama 12 tahun dengan alasan kasihan terhadap kedua anaknya jika mereka berpisah di usia anak yang masih kecil. Sementara untuk menyambung hidup karena tidak dinafkahi suami, SA bekerja serabutan terutama di bidang jasa pembuatan SIM, STNK, dan pengadaan barang di instansi pemerintah di lingkungan Kota Denpasar.
"Syukur ya, ada saja rejeki selama 12 tahun ini, saya bisa membesarkan kedua anak saya, keduanya kini duduk di bangku SMP," ucapnya.
Sementara itu, Luh Anggraeni dari LBH Apik Bali mengatakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menduduki peringkat pertama di Pulau Dewata. Peringkat pertama kasus KDRT di Bali terjadi di Kabupaten Tabanan.
"Di Bali kasus KDRT masih tinggi, di Tabanan tertinggi, cuma penyelesaiannya selama ini di polisi saja. Dalam melaporkan masalah KDRT, banyak perempuan Bali masih belum mandiri. Oleh karena itu perlu pendampingan dari LSM," katanya.
Anggraeni mengaku selama ini aktif turun ke banjar-banjar (dusun) untuk menyosialisasikan Undang-Undang KDRT, guna memberi masukan agar perempuan Bali yang sudah menikah bisa menjaga rumah tangganya dan tidak sekadar menjadi objek semata.
"Kami lakukan penguatan-penguatan dengan informasi, sekarang tergantung mereka, pilihan mana yang mau dipilih. Jika mereka tidak punya akses, maka akan ada pendampingan agar mereka lebih paham UU KDRT," ujarnya.
Dari hasil pantauan di sejumlah wilayah di Bali, ibu rumah tangga yang mengalami KDRT baik fisik maupun psikis, tidak ingin menghukum suami dengan melaporkan ke polisi.
"Tapi KDRT harus distop, kita harus kuatkan para ibu-ibu ini, agar paham dengan pilihan yang ditempuh, banyak yang tidak tega lapor polisi tapi pilih cerai," ujarnya.
Anggraeni mengingatkan pentingnya kampanye ada hak-hak perempuan dalam rumah tangga, seperti hak untuk punya akses yang sama terhadap harta gono-gini. Jadi setelah bercerai atau ada kasus KDRT, ibu-ibu tersebut mengerti apa yang harus dilakukan.
Terkait kasus KDRT yang dihadapi SA di Denpasar Bali, LBH APIK Bali menyayangkan kenapa sudah 12 tahun SA baru melaporkan kasus KDRT dan perselingkuhan yang dihadapi ke pihak berwajib.
"Kenapa baru lapor sekarang. Apakah karena baru mendapat akses informasi tentang UU KDRT. Ini harus dibela, dia harus lepas dari lingkar kekerasan rumah tangga, dan ternyata dia sudah berani keluar dari lingkar kekerasan. Harus kita dampingi," ujarnya.
Anggraeni menambahkan, dalam kasus KDRT, tak hanya bentuk fisik yang bisa dilaporkan, tapi kekerasan psikis juga bisa diproses di kepolisian. Penelantaran ekonomi juga termasuk kejahatan KDRT.
"Poligami juga melanggar hukum, ancamannya penjara 5 tahun kalau tidak ada tanda tangan persetujuan istri pertama. Perempuan yang diajak menikah dengan suaminya juga turut serta terlibat dalam perbuatan melanggar hukum tersebut," ucapnya.
Terkait kasus poligami di Bali, LBH APIK Bali mencatat sudah ada suami yang dipenjara empat tahun dua bulan di wilayah Kabupaten Bangli, karena melakukan poligami tanpa persetuajuan istri pertama.(I020)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015