Jakarta (Antara Bali) - Kenaikan cukai pada tahun 2015 ini dinilai bisa
mengganggu industri rokok di Indonesia. Pada 2014 pemerintah memungut
cukai sebesar Rp 112 triliun dari target APBN 2014 sebesar Rp 116,28
triliun. Namun tahun ini pemerintah menargetkan memungut cukai rokok
sebesar Rp 141,7 triliun sesuai APBN Perubahan yang disepakati Badan
Aggaran DPR RI dengan Pemerintah beberapa hari lalu.
Pada APBN 2015 atau versi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono target cukai rokok ditetapkan sebesar Rp 120 triliun.
Dengan kenaikkan cukai sebesar 27%, merupakan kenaikan tarif cukai tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Dengan kenaikan ini industri memastikan jumlah pabrik rokok bakal menyusut drastis. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun sudah di depan mata.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengingatkan pemerintah soal dampak PHK atas kenaikan cukai. “Pada tahun 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12%, telah terjadi PHK 10 ribu buruh rokok kretek, hampir semua perempuan,†ujar Ismanu.
Ismanu menyesalkan, keputusan kenaikkan tarif cukai itu sama sekali tidak melibatkan industri. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun melalui Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dinilai enggan mendengarkan suara industri.
Ia mengingatkan, jika ini dipaksakan berpotensi melanggar Undang-undang Cukai Nomor 39/2009. “Dalam UU Cukai disebutkan syarat harus melihat situasi industri dan mendengar aspirasi dunia usaha,†ungkap Ismanu.
Gappri mempunyai catatan, saat ini industri rokok yang masih aktif kurang lebih berjumlah 100 perusahaan. Padahal pada 2009 jumlahnya mencapai 4.900 perusahaan. Dengan kenaikkan cukai sebesar itu, diperkirakan pabrik rokok bakal menyusut tinggal 60an perusahaan. “Kami berharap pemerintah mau mendengarkan kami," jelasnya dia.
Ia melanjutkan, industri rokok dalam negeri memiliki mata rantai panjang dengan jutaan pekerja. Kepentingan pekerja ini juga harus menjadi pertimbangan pemerintah bukan hanya sekadar mengejar target penerimaan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Pada APBN 2015 atau versi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono target cukai rokok ditetapkan sebesar Rp 120 triliun.
Dengan kenaikkan cukai sebesar 27%, merupakan kenaikan tarif cukai tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Dengan kenaikan ini industri memastikan jumlah pabrik rokok bakal menyusut drastis. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun sudah di depan mata.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengingatkan pemerintah soal dampak PHK atas kenaikan cukai. “Pada tahun 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12%, telah terjadi PHK 10 ribu buruh rokok kretek, hampir semua perempuan,†ujar Ismanu.
Ismanu menyesalkan, keputusan kenaikkan tarif cukai itu sama sekali tidak melibatkan industri. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun melalui Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dinilai enggan mendengarkan suara industri.
Ia mengingatkan, jika ini dipaksakan berpotensi melanggar Undang-undang Cukai Nomor 39/2009. “Dalam UU Cukai disebutkan syarat harus melihat situasi industri dan mendengar aspirasi dunia usaha,†ungkap Ismanu.
Gappri mempunyai catatan, saat ini industri rokok yang masih aktif kurang lebih berjumlah 100 perusahaan. Padahal pada 2009 jumlahnya mencapai 4.900 perusahaan. Dengan kenaikkan cukai sebesar itu, diperkirakan pabrik rokok bakal menyusut tinggal 60an perusahaan. “Kami berharap pemerintah mau mendengarkan kami," jelasnya dia.
Ia melanjutkan, industri rokok dalam negeri memiliki mata rantai panjang dengan jutaan pekerja. Kepentingan pekerja ini juga harus menjadi pertimbangan pemerintah bukan hanya sekadar mengejar target penerimaan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015