Jakarta (Antara Bali) - Walau industri tembakau punya andil untuk
perkembangan ekonomi nasional, namun hal itu berbanding terbalik dengan
penyetaraan hak konsumen rokok. Baru-baru ini pemerintah Gorontalo tidak
akan memberikan bantuan melalui BPJS Kesehatan bagi perokok. Rencana
ini pun menuai kritik karena dianggap kebablasan.
Mantan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Djoko Sungkono mengingatkan, sesuai Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional Kesehatan (SJSN), semua warga negara berhak mendapat hak jaminan perlindungan kesehatan apabila mengalami risiko sakit, termasuk mereka yang merokok.
"Cara-cara kampanye untuk tidak merokok boleh saja, tetapi tidak sampai harus mengurangi hak-hak dasar yang harus didapat warga negara yang dijamin undang-undang," tegasnya.
Ia menambahkan, pada 2019 nanti tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak dapat kepastian perlindungan kesehatan karena sudah dijamin UU SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Memang, di daerah masih ada layanan seperti Jamkesda yang dibiayai oleh APBD namun pada awal 2017, semua akan ditanggung oleh pusat. APBD hanya untuk menyokong infrastruktur kesehatan saja.
"Jadi persoalan merokok atau tidak, tidak ada aturan yang kemudian menghilangkan hak orang itu mendapatkan layanan kesehatan," tandasnya.
Di tempat terpisah, Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan mengingatkan pemerintah daerah tidak gegabah dalam mengeluarkan pernyataan.
"Rencana kebijakan seperti itu jelas salah kaprah. Jaminan seperti BPJS Kesehatan kan tidak murni pemerintah tapi model asuransi dengan premi, bukan layanan pemerintah full. Kalau mau, ya, bedakan saja preminya antara perokok dan bukan," ujar Zulvan, saat dihubungi wartawan, Rabu (21/1).
Ia mengingatkan, sebagai produk turunan tembakau, rokok juga masih kategori barang legal sehingga siapa saja berhak membeli atau mengonsumsi. Akan lebih baik, ketimbang membuat pernyataan salah kaprah, pemerintah pusat dan daerah fokus menegakan aturan juga jangan sampai terkesan berlebihan dan malah mematikan industri.
Belum lagi, maraknya kampanye hitam asing tentang kretek nasional yang bertujuan untuk mematikan ekonomi nasional. “Aturan kita saat ini sebenarnya sudah cukup berat bagi petani tembakau dan industri kecil,†tegasnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Mantan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Djoko Sungkono mengingatkan, sesuai Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional Kesehatan (SJSN), semua warga negara berhak mendapat hak jaminan perlindungan kesehatan apabila mengalami risiko sakit, termasuk mereka yang merokok.
"Cara-cara kampanye untuk tidak merokok boleh saja, tetapi tidak sampai harus mengurangi hak-hak dasar yang harus didapat warga negara yang dijamin undang-undang," tegasnya.
Ia menambahkan, pada 2019 nanti tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak dapat kepastian perlindungan kesehatan karena sudah dijamin UU SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Memang, di daerah masih ada layanan seperti Jamkesda yang dibiayai oleh APBD namun pada awal 2017, semua akan ditanggung oleh pusat. APBD hanya untuk menyokong infrastruktur kesehatan saja.
"Jadi persoalan merokok atau tidak, tidak ada aturan yang kemudian menghilangkan hak orang itu mendapatkan layanan kesehatan," tandasnya.
Di tempat terpisah, Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan mengingatkan pemerintah daerah tidak gegabah dalam mengeluarkan pernyataan.
"Rencana kebijakan seperti itu jelas salah kaprah. Jaminan seperti BPJS Kesehatan kan tidak murni pemerintah tapi model asuransi dengan premi, bukan layanan pemerintah full. Kalau mau, ya, bedakan saja preminya antara perokok dan bukan," ujar Zulvan, saat dihubungi wartawan, Rabu (21/1).
Ia mengingatkan, sebagai produk turunan tembakau, rokok juga masih kategori barang legal sehingga siapa saja berhak membeli atau mengonsumsi. Akan lebih baik, ketimbang membuat pernyataan salah kaprah, pemerintah pusat dan daerah fokus menegakan aturan juga jangan sampai terkesan berlebihan dan malah mematikan industri.
Belum lagi, maraknya kampanye hitam asing tentang kretek nasional yang bertujuan untuk mematikan ekonomi nasional. “Aturan kita saat ini sebenarnya sudah cukup berat bagi petani tembakau dan industri kecil,†tegasnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015