Denpasar (Antara Bali) - Dua saksi ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan kejanggalan pada surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap tiga tersangka kasus pemalsuan sertifikat.
"Saya tidak menilai fakta. Namun, SP3 itu ada proses dan mekanisme dalam mengeluarkannya," ujar Prof Dr Eddy.OS Hiriej, SH, M Hum selaku ahli hukum dari UGM, di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Wayan Sukanila itu, saksi pun menemukan kejanggalan pada proses permohonan untuk menjadi saksi ahli dalam kasus ini.
Polda Bali mengirimkan surat pada 21 November 2014 memohon ahli. Kemudian, saksi dan rekannya Djoko Sukisno ditugaskan untuk memenuhi permohonan itu pada 27 November 2014.
"Namun kenapa malah pada 28 November sudah ada SP3? Ini ada kejanggalan," ujarnya.
Ia mengatakan ada kewajiban dari penyidik melakukan gelar perkara dalam melakukan SP3. Namun, dalam kasus ini tidak ada.
"Kenapa dijadikan tersangka ketika memang tidak ada bukti permulaan?," ujar Prof Eddy.
Kejanggalan lainnya, terkait SPDP tanpa koordinasi dengan pihak kejaksaan dan menurunkan SP3.
Saksi ahli kenotarisan DR Djoko Sukisno mengatakan, terkait dengan Akta Jual Beli (AJB), apabila ada kekeliruan tidak boleh dihapus. Namun, dicoret tipis dan dibuatkan perbaikan di sampingnya serta diberi paraf.
Ia menegaskan bahwa untuk penandatanganan dapat dilakukan di rumah pembeli atau penjual.
Sebelumnya, pada sidang gugatan praperadilan pada Senin (22/12) lalu, kuasa hukum Made Sarja selaku pemohon terkait kasus pemalsuan sertifikat dengan tiga tersangka itu meminta kepada majelis hakim agar membatalkan SP3 yang dikeluarkan kepolisian.
Tiga tersangka itu yakni Nyoman Adi Wiryatama (mantan Bupati Tabanan yang kini menjabat Ketua DPRD Bali), Made Dedi Pratama (anaknya), dan Ketut Nuridja (notaris).
Kemudian, pemohon meminta kepada majelis hakim untuk melanjutkan penyidikan kembali, dan tetap melakukan penahanan terhadap tiga tersangka.
Namun, dari Tim Penyidik Polda Bali menegaskan proses SP3 terhadap tiga tersangka telah sesuai dengan prosedur.
Kasus tersebut berawal dari terungkapnya fakta bahwa pelapor, Made Sarja dan istrinya, Wayan Kasih pada 11 Juli 2014 tidak pernah mengenal dan bertemu untuk menjual tanah kepada Gede Made Dedy Pratama.
Namun, anak pelapor, Made Harum Bawa mengakui dirinya pernah bekerja sama dengan Nyoman Adi Wiryatama.
Setelah digelar pemeriksaan pada 24 Juli 2014, Adi Wiryatama, Dedy Pratama dan Ketut Nuridja ditetapkan sebagai tersangka seiring dengan dikeluarkannya SPDP.
Surat tersebut baru diketahui dan dikirim pihak Polda Bali pada 14 November 2014. Kemudian, laboratorium forensik Cabang Denpasar menyatakan bahwa tanda tangan identik, akan tetapi terdapat ketidakwajaran pada tulisan yang berbeda pada dua alat yang digunakan, yakni printer dan mesin ketik manual.
Selain itu, terungkap bahwa di halaman terakhir pada tanda tangan atas nama Wayan Kasih dibuat lebih dulu. Kemudian, tulisan nama diketik pada dukumen dan terdapat penghapusan secara fisik.
Pengusutan kasus tersebut sempat terhenti selama dua bulan, dan Made Sarja mengirim surat pengaduan ke Mabes Polri pada 17 Oktober 2014. Berselang 14 hari berikutnya penyidik Polda Bali mengeluarkan SP3. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Saya tidak menilai fakta. Namun, SP3 itu ada proses dan mekanisme dalam mengeluarkannya," ujar Prof Dr Eddy.OS Hiriej, SH, M Hum selaku ahli hukum dari UGM, di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Wayan Sukanila itu, saksi pun menemukan kejanggalan pada proses permohonan untuk menjadi saksi ahli dalam kasus ini.
Polda Bali mengirimkan surat pada 21 November 2014 memohon ahli. Kemudian, saksi dan rekannya Djoko Sukisno ditugaskan untuk memenuhi permohonan itu pada 27 November 2014.
"Namun kenapa malah pada 28 November sudah ada SP3? Ini ada kejanggalan," ujarnya.
Ia mengatakan ada kewajiban dari penyidik melakukan gelar perkara dalam melakukan SP3. Namun, dalam kasus ini tidak ada.
"Kenapa dijadikan tersangka ketika memang tidak ada bukti permulaan?," ujar Prof Eddy.
Kejanggalan lainnya, terkait SPDP tanpa koordinasi dengan pihak kejaksaan dan menurunkan SP3.
Saksi ahli kenotarisan DR Djoko Sukisno mengatakan, terkait dengan Akta Jual Beli (AJB), apabila ada kekeliruan tidak boleh dihapus. Namun, dicoret tipis dan dibuatkan perbaikan di sampingnya serta diberi paraf.
Ia menegaskan bahwa untuk penandatanganan dapat dilakukan di rumah pembeli atau penjual.
Sebelumnya, pada sidang gugatan praperadilan pada Senin (22/12) lalu, kuasa hukum Made Sarja selaku pemohon terkait kasus pemalsuan sertifikat dengan tiga tersangka itu meminta kepada majelis hakim agar membatalkan SP3 yang dikeluarkan kepolisian.
Tiga tersangka itu yakni Nyoman Adi Wiryatama (mantan Bupati Tabanan yang kini menjabat Ketua DPRD Bali), Made Dedi Pratama (anaknya), dan Ketut Nuridja (notaris).
Kemudian, pemohon meminta kepada majelis hakim untuk melanjutkan penyidikan kembali, dan tetap melakukan penahanan terhadap tiga tersangka.
Namun, dari Tim Penyidik Polda Bali menegaskan proses SP3 terhadap tiga tersangka telah sesuai dengan prosedur.
Kasus tersebut berawal dari terungkapnya fakta bahwa pelapor, Made Sarja dan istrinya, Wayan Kasih pada 11 Juli 2014 tidak pernah mengenal dan bertemu untuk menjual tanah kepada Gede Made Dedy Pratama.
Namun, anak pelapor, Made Harum Bawa mengakui dirinya pernah bekerja sama dengan Nyoman Adi Wiryatama.
Setelah digelar pemeriksaan pada 24 Juli 2014, Adi Wiryatama, Dedy Pratama dan Ketut Nuridja ditetapkan sebagai tersangka seiring dengan dikeluarkannya SPDP.
Surat tersebut baru diketahui dan dikirim pihak Polda Bali pada 14 November 2014. Kemudian, laboratorium forensik Cabang Denpasar menyatakan bahwa tanda tangan identik, akan tetapi terdapat ketidakwajaran pada tulisan yang berbeda pada dua alat yang digunakan, yakni printer dan mesin ketik manual.
Selain itu, terungkap bahwa di halaman terakhir pada tanda tangan atas nama Wayan Kasih dibuat lebih dulu. Kemudian, tulisan nama diketik pada dukumen dan terdapat penghapusan secara fisik.
Pengusutan kasus tersebut sempat terhenti selama dua bulan, dan Made Sarja mengirim surat pengaduan ke Mabes Polri pada 17 Oktober 2014. Berselang 14 hari berikutnya penyidik Polda Bali mengeluarkan SP3. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014