Denpasar (Antara Bali) - Akademisi Universitas Warmadewa Denpasar Totok Noerasto menilai penghapusan mata pelajaran Pancasila dari kurikulum pendidikan berpotensi memunculkan benih-benih radikalisme.
"Saya perhatikan sejak era reformasi, pendidikan PPKN dalam kurikulum mata pelajaran sekolah dihapus. Ini juga diduga menjadi benih radikalisme," katanya dalam dialog bertema "Urgensi Pancasila Dalam Pembangunan Karakter Bangsa Untuk Mencegah Radikalisme" di Denpasar, Jumat.
Pernyataan tersebut sekaligus untuk menanggapi maraknya paham Negara Islam Irak dan Syiria (ISIS) mengkhawatirkan keutuhan NKRI.
Ia mengakui ada beberapa kali perubahan nama bagi pendidikan Pancasila. "Dulu namanya PMP, lalu PPKN, PKN, P4, sekarang berubah lagi. Ini yang membuat ditinggalkan," kata staf pengajar di FISIP Unwar itu.
Totok khawatir pelajaran Pancasila menyulitkan masyarakat dalam menyikapi keberagaman.
"Dampaknya sekarang sudah terlihat, dari terpinggirkannya Pancasila. Banyak adik-adik kita yang meninggalkan nilai Pancasila, kebetulan saya membina di kampus," katanya.
Berubah nilai Pancasila itu dalam jangka panjang, lanjut dia, tentunya dapat mengubah pola kehidupan bernegara.
Sementara itu, wartawan senior di Bali, Wayan Juniarta, dalam kegiatan tersebut menyampaikan secara panjang lebar mengenai beberapa perang zaman dahulu kala yang berafiliasi kepada kepentingan politik.
"Dalam perang Salib, agama dibawa-bawa. Itu sejatinya masalah politik," kata redaktur The Jakarta Post itu.
Ia menganggap agama lebih mudah mengajak massa untuk perang daripada mendengarkan misi dan visi.
"Kalau perang pakai agama lebih mudah membujuk orang ketimbang harus jelaskan berapa keuntungan kita kalau menguasai itu. Jauh lebih mudah perang pakai jalan agama," ucapnya.
Dengan mengandalkan agama, lanjut dia, prajurit pun diberikan pengampunan dosa.
"Saya rasa di semua agama ada benih radikalisme. Saya kira dari SD, anak-anak harus diajarkan semua agama supaya mereka tahu. Karena ketidaktahuan mengawali perpecahan, supaya tidak ada rasa saling curiga," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Saya perhatikan sejak era reformasi, pendidikan PPKN dalam kurikulum mata pelajaran sekolah dihapus. Ini juga diduga menjadi benih radikalisme," katanya dalam dialog bertema "Urgensi Pancasila Dalam Pembangunan Karakter Bangsa Untuk Mencegah Radikalisme" di Denpasar, Jumat.
Pernyataan tersebut sekaligus untuk menanggapi maraknya paham Negara Islam Irak dan Syiria (ISIS) mengkhawatirkan keutuhan NKRI.
Ia mengakui ada beberapa kali perubahan nama bagi pendidikan Pancasila. "Dulu namanya PMP, lalu PPKN, PKN, P4, sekarang berubah lagi. Ini yang membuat ditinggalkan," kata staf pengajar di FISIP Unwar itu.
Totok khawatir pelajaran Pancasila menyulitkan masyarakat dalam menyikapi keberagaman.
"Dampaknya sekarang sudah terlihat, dari terpinggirkannya Pancasila. Banyak adik-adik kita yang meninggalkan nilai Pancasila, kebetulan saya membina di kampus," katanya.
Berubah nilai Pancasila itu dalam jangka panjang, lanjut dia, tentunya dapat mengubah pola kehidupan bernegara.
Sementara itu, wartawan senior di Bali, Wayan Juniarta, dalam kegiatan tersebut menyampaikan secara panjang lebar mengenai beberapa perang zaman dahulu kala yang berafiliasi kepada kepentingan politik.
"Dalam perang Salib, agama dibawa-bawa. Itu sejatinya masalah politik," kata redaktur The Jakarta Post itu.
Ia menganggap agama lebih mudah mengajak massa untuk perang daripada mendengarkan misi dan visi.
"Kalau perang pakai agama lebih mudah membujuk orang ketimbang harus jelaskan berapa keuntungan kita kalau menguasai itu. Jauh lebih mudah perang pakai jalan agama," ucapnya.
Dengan mengandalkan agama, lanjut dia, prajurit pun diberikan pengampunan dosa.
"Saya rasa di semua agama ada benih radikalisme. Saya kira dari SD, anak-anak harus diajarkan semua agama supaya mereka tahu. Karena ketidaktahuan mengawali perpecahan, supaya tidak ada rasa saling curiga," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014