Denpasar (Antara Bali) - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali mendesak aparat penegak hukum dalam menjatuhkan putusan dapat mengakomodasi sanksi "prayascita" atau upacara penyucian bagi para pelaku tindak kriminal di Pulau Dewata.
"Sama sekali tidak adil kalau selama ini yang menjadi korban justru dibebankan untuk menggelar upacara penyucian atau prayascita dengan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan pelaku kejahatan hanya bisa dikenakan sanksi hukuman penjara," kata Ketua PHDI Bali, Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, di Denpasar, Rabu.
Pihaknya merasa prihatin dengan kian maraknya kasus kriminalitas di Bali, bahkan tindakan kejahatan oleh para pelaku semakin sadis. Beberapa kasus kriminalitas yang menonjol belakangan ini diantaranya pencurian "pratima" atau benda-benda suci di pura, pembunuhan "sulinggih" atau pendeta Hindu oleh anaknya sendiri, pembunuhan di sejumlah kamar kos, kasus pedofilia dengan puluhan korban, pembuangan hingga pembakaran orok dan yang terbaru kasus mutilasi di Kabupaten Klungkung.
"Berbagai kasus kriminal tersebut dapat mengganggu keharmonisan tanah Bali dan spiritualitas masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan ritual penyucian untuk mengembalikan keharmonisan dan kesakralan tanah Bali," ujarnya.
Menurut dia, seharusnya pelaku kejahatan di Bali dapat dibebankan hukuman menggelar ritual "prayascita" dan juga "kanorayang" atau diberhentikan sementara sebagai warga dan diminta pindah tinggal, selain memang dijatuhkan hukuman seperti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Hukuman menggelar prayascita dan kanorayang itu berlaku tidak saja bagi warga Hindu-Bali yang berbuat kejahatan, namun juga kepada siapa saja yang telah bertindak kriminal di daerah kita. Bagi pelaku yang bukan orang Bali, mereka dengan dibantu keluarganya dibebankan mengganti biaya untuk melakukan upacara penyucian tersebut sesuai dengan tingkatannya dan juga bisa diusir dari lingkungan desa setempat," ujarnya.
Sudiana menambahkan, kisaran biaya untuk menggelar ritual "prayascita" tersebut bervariasi sesuai tingkatan. Ia mencontohkan untuk ritual penyucian dalam tingkatan "padudusan agung" dibutuhkan biaya sekitar Rp50-100 juta, sedangkan untuk tingkatan yang lebih besar dapat mencapai kisaran Rp300 juta.
"Kami harapkan mulai dari pihak kepolisian, tuntutan jaksa, dan akhirnya pada putusan hakim dapat diadopsi sanksi `prayascita` dan `kanorayang` itu sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan di Bali," ujarnya.
Sudiana mengatakan penggabungan hukuman seperti itu dengan hukuman nasional dimungkinkan dan ada celah seperti halnya yang tercantum dalam pasal 98 hingga pasal 101 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Misalnya disebutkan dalam pasal 98 ayat 1 bahwa "jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan kerugian kepada perkara pidana itu".
PHDI Bali, ujar dia, juga sangat siap jika diminta menjadi saksi ahli untuk kasus kriminal yang membutuhkan penggabungan hukuman dengan upacara penyucian.
"Jangankan kasus pembunuhan hingga potongan mayat hasil mutilasi yang dibuang kemana-mana, kalau terjadi perkelahian di pura saja sebenarnya sudah diatur dalam awig-awig atau peraturan tertulis desa adat bahwa harus digelar upacara penyucian," katanya.
Sudiana berpandangan hukuman yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan harus tegas dan membawa efek jera sehingga tidak sedikit-sedikit berbuat kejahatan, serta akhirnya makin merajalela.
"Selama ini desa pakraman (desa adat) dan korban saja yang terus-menerus menanggung upacara penyucian. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula," ucap Sudiana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Sama sekali tidak adil kalau selama ini yang menjadi korban justru dibebankan untuk menggelar upacara penyucian atau prayascita dengan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan pelaku kejahatan hanya bisa dikenakan sanksi hukuman penjara," kata Ketua PHDI Bali, Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, di Denpasar, Rabu.
Pihaknya merasa prihatin dengan kian maraknya kasus kriminalitas di Bali, bahkan tindakan kejahatan oleh para pelaku semakin sadis. Beberapa kasus kriminalitas yang menonjol belakangan ini diantaranya pencurian "pratima" atau benda-benda suci di pura, pembunuhan "sulinggih" atau pendeta Hindu oleh anaknya sendiri, pembunuhan di sejumlah kamar kos, kasus pedofilia dengan puluhan korban, pembuangan hingga pembakaran orok dan yang terbaru kasus mutilasi di Kabupaten Klungkung.
"Berbagai kasus kriminal tersebut dapat mengganggu keharmonisan tanah Bali dan spiritualitas masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan ritual penyucian untuk mengembalikan keharmonisan dan kesakralan tanah Bali," ujarnya.
Menurut dia, seharusnya pelaku kejahatan di Bali dapat dibebankan hukuman menggelar ritual "prayascita" dan juga "kanorayang" atau diberhentikan sementara sebagai warga dan diminta pindah tinggal, selain memang dijatuhkan hukuman seperti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Hukuman menggelar prayascita dan kanorayang itu berlaku tidak saja bagi warga Hindu-Bali yang berbuat kejahatan, namun juga kepada siapa saja yang telah bertindak kriminal di daerah kita. Bagi pelaku yang bukan orang Bali, mereka dengan dibantu keluarganya dibebankan mengganti biaya untuk melakukan upacara penyucian tersebut sesuai dengan tingkatannya dan juga bisa diusir dari lingkungan desa setempat," ujarnya.
Sudiana menambahkan, kisaran biaya untuk menggelar ritual "prayascita" tersebut bervariasi sesuai tingkatan. Ia mencontohkan untuk ritual penyucian dalam tingkatan "padudusan agung" dibutuhkan biaya sekitar Rp50-100 juta, sedangkan untuk tingkatan yang lebih besar dapat mencapai kisaran Rp300 juta.
"Kami harapkan mulai dari pihak kepolisian, tuntutan jaksa, dan akhirnya pada putusan hakim dapat diadopsi sanksi `prayascita` dan `kanorayang` itu sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan di Bali," ujarnya.
Sudiana mengatakan penggabungan hukuman seperti itu dengan hukuman nasional dimungkinkan dan ada celah seperti halnya yang tercantum dalam pasal 98 hingga pasal 101 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Misalnya disebutkan dalam pasal 98 ayat 1 bahwa "jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan kerugian kepada perkara pidana itu".
PHDI Bali, ujar dia, juga sangat siap jika diminta menjadi saksi ahli untuk kasus kriminal yang membutuhkan penggabungan hukuman dengan upacara penyucian.
"Jangankan kasus pembunuhan hingga potongan mayat hasil mutilasi yang dibuang kemana-mana, kalau terjadi perkelahian di pura saja sebenarnya sudah diatur dalam awig-awig atau peraturan tertulis desa adat bahwa harus digelar upacara penyucian," katanya.
Sudiana berpandangan hukuman yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan harus tegas dan membawa efek jera sehingga tidak sedikit-sedikit berbuat kejahatan, serta akhirnya makin merajalela.
"Selama ini desa pakraman (desa adat) dan korban saja yang terus-menerus menanggung upacara penyucian. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula," ucap Sudiana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014