Jakarta (Antara Bali) - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam dakwaan
disebut perlu banyak uang demi memenuhi keinginannya sebagai Presiden
Indonesia.
"Terdakwa pada sekitar 2005, keluar dari anggota Komisi Pemilihan Umum dan selanjutnya berkeinginan untuk tampil menjadi pemimpin nasional yaitu sebagai Presiden RI, sehingga memerlukan kendaraan politik dan biaya yang sangat besar," kata ketua jaksa penuntut umum Yudi Kristiana di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Dalam sidang perdana itu, jaksa mengemukakan bahwa untuk mewujudkan keinginan menjadi presiden tersebut, Anas menggunakan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik dan duduk sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) bidang politik sebagai tahap awal sebelum sebagai ketua umum Partai Demokrat.
"Dengan kedudukannya sebagai ketua DPP bidang politik, terdakwa mempunyai pengaruh besar untuk mengatur proyek-proyek besar yang dibiayai oleh APBN pun makin besar," tambah jaksa Yudi.
Anas pun akhirnya terpilih menjadi anggota DPR pada September 2009, dan selanjutnya ditunjuk sebagai ketua fraksi Partai Demokrat di DPR.
"Untuk mengumpulkan dana, terdakwa dan M Nazaruddin bergabung dengan Anugerah Grup dan kemudian berubah menjadi Permai Grup yang membawahi antara lain PT Anak Negeri, PT Anugerah dan PT Panahatan, terdakwa menjadi komisaris di PT Panahatan, sedangkan Attiyah Laila yaitu istri terdakwa dan Machfud Suroso di PT Dutasari Citra Laras," ungkap jaksa.
Anas membentuk kantong-kantong dana dari sejumlah proyek-proyek pemerintah.
"Terdakwa membentuk kantong-kantong dana dari proyek pemerintah dan BUMN dan dikelola oleh Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang untuk proyek di Kementerian Pendidkan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Munadi Herlambang untuk proyek di BUMN, dan Machfud Suroso untuk proyek di universitas, gedung pajak, dan proyek proyek Pembangunan Lanjutan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang," jelas jaksa Yudi.
Anas mendapat 7-20 persen sebagai "fee" yang disimpan di brankas Permai Grup, lanjut jaksa.
Bentuk "fee" yang diterima Anas adalah mobil Toyota Harrier B-15-AUD senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota Vellfire B-69-AUD seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
"Padahal, diketahui janji atau hadiah itu digunakan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan jabatannya yaitu selaku anggota DPR untuk mengupayakan pengurusan proyek P3SON Hambalang di Kemenpora, proyek-proyek di Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas dan proyek-proyek lain yang dibiayai APBN yang didapatkan Permai Grup," ungkap jaksa.
Atas perbuatan tersebut Anas didakwa berdasarkan pasal 12 huruf a subsider pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4-20 tahun dan pidana denda Rp200-Rp1 miliar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Terdakwa pada sekitar 2005, keluar dari anggota Komisi Pemilihan Umum dan selanjutnya berkeinginan untuk tampil menjadi pemimpin nasional yaitu sebagai Presiden RI, sehingga memerlukan kendaraan politik dan biaya yang sangat besar," kata ketua jaksa penuntut umum Yudi Kristiana di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Dalam sidang perdana itu, jaksa mengemukakan bahwa untuk mewujudkan keinginan menjadi presiden tersebut, Anas menggunakan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik dan duduk sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) bidang politik sebagai tahap awal sebelum sebagai ketua umum Partai Demokrat.
"Dengan kedudukannya sebagai ketua DPP bidang politik, terdakwa mempunyai pengaruh besar untuk mengatur proyek-proyek besar yang dibiayai oleh APBN pun makin besar," tambah jaksa Yudi.
Anas pun akhirnya terpilih menjadi anggota DPR pada September 2009, dan selanjutnya ditunjuk sebagai ketua fraksi Partai Demokrat di DPR.
"Untuk mengumpulkan dana, terdakwa dan M Nazaruddin bergabung dengan Anugerah Grup dan kemudian berubah menjadi Permai Grup yang membawahi antara lain PT Anak Negeri, PT Anugerah dan PT Panahatan, terdakwa menjadi komisaris di PT Panahatan, sedangkan Attiyah Laila yaitu istri terdakwa dan Machfud Suroso di PT Dutasari Citra Laras," ungkap jaksa.
Anas membentuk kantong-kantong dana dari sejumlah proyek-proyek pemerintah.
"Terdakwa membentuk kantong-kantong dana dari proyek pemerintah dan BUMN dan dikelola oleh Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang untuk proyek di Kementerian Pendidkan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Munadi Herlambang untuk proyek di BUMN, dan Machfud Suroso untuk proyek di universitas, gedung pajak, dan proyek proyek Pembangunan Lanjutan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang," jelas jaksa Yudi.
Anas mendapat 7-20 persen sebagai "fee" yang disimpan di brankas Permai Grup, lanjut jaksa.
Bentuk "fee" yang diterima Anas adalah mobil Toyota Harrier B-15-AUD senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota Vellfire B-69-AUD seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
"Padahal, diketahui janji atau hadiah itu digunakan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan jabatannya yaitu selaku anggota DPR untuk mengupayakan pengurusan proyek P3SON Hambalang di Kemenpora, proyek-proyek di Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas dan proyek-proyek lain yang dibiayai APBN yang didapatkan Permai Grup," ungkap jaksa.
Atas perbuatan tersebut Anas didakwa berdasarkan pasal 12 huruf a subsider pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4-20 tahun dan pidana denda Rp200-Rp1 miliar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014