Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Windia mengingatkan, sektor pertanian tetap memerlukan perhatian pemerintah, karena pendapatan masyarakat dari usaha menggeluti bidang pertanian relatif kecil.

Pendapatan itu paling rendah dibandingkan menekuni sektor industri kecil, buruh bangunan maupun jasa pariwisata.

"Nilai tambah sektor pertanian hanya berkisar Rp2,5 juta per bulan untuk garapan lahan seluas satu hektare, padahal petani umumnya menggarap lahan rata-rata 20 are, sehingga penghasilannya sangat kecil," kata Prof. Windia yang juga ketua pusat penelitian subak Unud di Denpasar, Selasa.

Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat pekerja yang menggeluti sektor pertanian di Pulau Dewata dalam setahun terakhir periode Februari 2012- Februari 2013 berkurang 73.400 orang atau 11,23 persen.

Hanya sektor pertanian satu-satunya yang mengalami penurunan jumlah pekerja, berbeda dengan sektor jasa lainnya yang justru mengalami peningkatan signifikan.

Wayan Windia menambahkan, meskipun demikian penduduk yang mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian masih relatif besar yakni sekitar 45 persen.

Namun sumbangan sektor pertanian terhadap pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB) sangat kecil yakni 19 persen dari PDRB Bali sebesar Rp90,64 triliun pada tahun 2013, jauh sangat rendah dibanding pariwisata yang memberikan kontribusi 70 persen.

Pertumbuhan sektor pertanian juga relatif kecil hanya 2,1 pertahun, sementara penduduk yang bekerja dan mengandalkan pertanian masih sangat besar, sehingga produktivitas pertanian sangat rendah.

Hal itu dipicu oleh rendahnya investasi bidang pertanian yang nilainya kurang satu persen dari alokasi dana pemerintah, baik APBD Bali maupun APBD kabupaten/kota di daerah ini, ujar Prof. Windia.

Oleh sebab itu, sektor pertanian ke depan tetap memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah, termasuk memberikan berbagai kemudahan dan subsidi.

Dengan demikian petani mampu menyambung kehidupan dan kelangsungan pendidikan bagi putra-putrinya.

Kemudahan tersebut menyangkut pajak bumi dan bangunan (PBB) yang selama ini dinilai sangat berat bagi petani yang tidak pernah memiliki uang kontan (cash), karena penghasilannya habis untuk konsumsi.

Sementara PBB naik setiap dua tahun, karena disesuaikan dengan inflasi dan dasarnya pungutan pajak PBB adalah nilai jual objek pajak (NJOP) bukan produksi lahan.

Dengan demikian harga input sangat mahal, dan harga output umumnya rendah (merosot) pada saat musim panen, ujar Windia. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014