Balai-balai banjar di Kota Denpasar dipadati orang berpakaian putih-putih saat matahari sudah meninggi di ufuk timur.

Yang perempuan mengenakan kebaya lengkap dengan selendang yang dililitkan di pinggang dan rambut diikat membentuk sanggul agar lehernya terlihat jenjang.

Kemeja menjadi ciri tersendiri bagi kaum pria dengan "kamen" atau kain panjang sebatas lutut lengkap dengan destar di kepala dan selendang di pinggang.

Dominasi warna putih bukan hanya melambangkan kesucian jiwa, melainkan juga meluruhkan kelas sosial masyarakat Pulau Dewata yang sejatinya belum bisa menghapuskan sistem kasta.

Dari balai-balai dusun adat itu mereka menyebar ke arah timur menuju Pantai Sanur atau Pantai Padanggalak dan ke selatan menuju Pantai Kuta untuk melakukan Melasti, Jumat (28/3).

Dari pagi hingga sore hari pantai-pantai yang dikenal sebagai tujuan wisata favorit itu dipadati oleh lautan manusia berbaju putih lengkap dengan pernik-pernik ritual yang diusung dari balai banjar atau pura di desanya.

Genta di tangan para "sulinggih" saat memimpin upacara Melasti seakan menjadi penanda usainya ingar-bingar kampanye politik untuk sejenak waktu.

Praktis sejak Jumat (28/3) hingga Selasa (1/4) di Bali panggung politik menjelang Pemilu 2014, baik di lapangan terbuka maupun kegiatan "simakrama", ditiadakan sebagaimana keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.

Bagi para calon anggota legislatif dan pengurus partai politik di Pulau Seribu Pura itu berkurangnya waktu lima hari selama masa kampanye Pemilu 2014 bukan persoalan serius karena semata-mata mereka ingin menjaga kekhidmatan dan kekhusyukan umat Hindu mempersiapkan diri menyambut Tahun Baru Caka 1936.

Para peserta Pemilu 2014 di Bali pun menaati imbauan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) agar tidak memanfaatkan momentum Hari Raya Nyepi dengan menyisipkan kepentingan politik.

PHDI justru mengajak semua pihak mendinginkan situasi politik menjelang pesta demokrasi lima tahunan itu. "Nyepi kali ini momentum penilaian masyarakat tentang harmonisasi ritual dan politik," kata Ketua PHDI Provinsi Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana.

Malam Pengurupukan, Minggu (30/3) sebagai pengingat bagi umat Hindu untuk sejenak meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi pada esok harinya berlangsung khidmat.

Para peserta pemilu sejauh ini mematuhi imbauan MUDP untuk menahan diri dengan tidak menyampaikan pesan politik di sela-sela Parade Ogoh-Ogoh meskipun bukan rahasia umum bahwa mereka juga menjadi sponsor kegiatan tersebut.

Parade Ogoh-Ogoh merupakan ajang kreativitas dan wadah kebebasan berekspresi umat Hindu dalam memerangi angkara murka yang divisualisasikan melalui boneka raksasa terbuat dari "fiber glass" dan "stereofoam" beraneka warna. Tentu saja visualisasi itu berbiaya besar sehingga membutuhkan keterlibatan sponsor.


Ramai-Ramai Tinggalkan Bali
Kalau kontestan Pemilu 2014 mampu menahan dorongan syahwat politiknya pada saat Nyepi, berbeda dengan kaum urban di Pulau Dewata dalam menghadapi gejolak nafsu duniawinya.

Mereka memilih meninggalkan tempatnya mencari nafkah saat umat Hindu di Bali pantang bekerja (amati karya), pantang menyalakan api (amati geni), pantang bepergian (amati lelungan), dan pantang bersenang-senang (amati lelanguan) dalam ritual sehari "Catur Tapa Brata Penyepian".

Golongan ini tidak tahan dengan situasi di Bali yang sunyi, sepi, gelap, dan tentu saja menyengsarakan karena serba terbatas dalam mengakses kebutuhan hidup meskipun cuma sehari.

Bagi mereka lebih baik antre berjam-jam di pelabuhan penyeberangan asal bisa menginjakkan kaki di Jawa atau Lombok daripada berada di Bali yang benar-benar bersih tanpa polusi.

Mereka cepat-cepat meninggalkan ceruk sumber penghidupannya agar tidak sampai terkejar oleh sinar mentari pagi Tahun Baru Caka. "Sebelum tengah malam sudah harus tiba di Ketapang (Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur)," kata Jakfar Shodiq sebelum meninggalkan galeri batiknya di kawasan Batubulan, Kabupaten Gianyar, Minggu (30/3) siang.

Sejak Jumat (28/3) Pelabuhan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, dipadati oleh kendaraan bermotor yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Ketapang. Antrean meluber hingga 2 kilometer dari pintu gerbang Pulau Dewata di bagian barat itu.

Pemandangan yang sama juga terlihat di pintu gerbang bagian timur. Bahkan, beberapa sopir menyeberang ke Pelabuhan Lembar, Lombok, sedangkan truknya diparkir di Pelabuhan Padangbai, Kabupaten Karangasem, karena tak terangkut kapal terakhir.

Ada pula yang jauh-jauh hari merencanakan pergi ke luar Pulau Bali dengan memburu tiket pesawat murah. "Lumayan dapat tiket promo Denpasar-Makassar hanya Rp699 ribu. Apalagi Nyepi kali ini masa liburnya panjang sampai Selasa (1/4)," kata Umar Ibnu ditemui di Bandara Ngurah Rai, Bali, Jumat (28/3) sore.

Pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur, itu mengaku mendapat tumpangan dari temannya di Makassar, Sulawesi Selatan, sehingga tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk bersenang-senang di luar Bali.

"Nyepi tahun lalu, saya malah ikut kapal Awu (salah satu kapal milik PT Pelni) ke Lembar (Lombok). Di sana saya juga mendapat tumpangan dari teman," tutur pria yang bekerja di salah satu lembaga negara di Kota Denpasar itu.

Lain lagi dengan warga non-Hindu dari kalangan menengah di Bali. Mereka rela mengeluarkan Rp2 juta hingga Rp3 juta untuk membeli paket Nyepi di hotel. Meskipun fasilitas agak terbatas, "menyepi" di hotel dianggapnya lebih manusiawi. Setidaknya berbagai jenis makanan sesuai dengan selera masih tersedia.

Namun, tidak semua kaum urban di Bali seperti itu, terutama bagi jiwa-jiwa yang sudah menyatu dengan alam Pulau Dewata. "Tidak ada sesuatu yang membebani. Dari tahun ke tahun, saya dan keluarga sudah terbiasa Nyepi di sini," kata Imam Turmuzi yang sudah delapan tahun tinggal di Jalan Gatot Subroto VI/L Denpasar itu.

Pada malam hari, pria asal Malang, Jawa Timur, itu bersama kaum urban lainnya turut berbaur dengan pecalang yang berpatroli di Dusun Adat Teruna Sari. "Malam Nyepi tahun lalu, kami malah kumpul-kumpul di jalan depan banjar (dusun adat)," ujarnya. (WRA) 

Pewarta: Oleh M. Irfan Ilmie

Editor : M. Irfan Ilmie


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014