Kabupaten Badung dikenal sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di Bali, ditandai keberadaan hotel-hotel berbintang, restoran dan fasilitas pendukung lainnya yang berjejer di wilayah yang PAD-nya terbesar di Pulau Dewata itu.
Meskipun sebagian lahan telah dipenuhi bangunan hotel dan restoran yang berjejer di sepanjang kawasan Nusa Dua, Jimbaran, Kuta dan Legian, namun Kabupaten Badung masih memiliki hamparan sawah yang luas untuk mengembangkan sektor pertanian, yakni di wilayah tengah sekitar Mengwi dan daerah utara kawasan Petang.
Karenanya, Badung yang dikenal sebagai pusat pengembangan kepariwisataan itu masih sanggup menyabet penghargaan peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dari pemerintah pusat.
Pemkab Badung memberikan penghargaan kepada petani melalui keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), terutama di kawasan jalur hijau. Petani di kawasan jalur hijau tidak lagi membayar PBB, sedangkan sawah di tempat lainnya diberikan keringanan 30 persen.
Sementara lahan pertanian yang sudah beralih fungsi pajaknya dikenakan 100 persen. Ini karena sejak tahun 2005 alih fungsi lahan pertanian di daerah itu mencapai sekitar 100 hektare setiap tahunnya.
Namun berkat kerja keras dan kerja sama dengan berbagai pihak, alih fungsi lahan dapat ditekan hingga sepuluh hektare per tahunnya dan hingga sekarang tetap melakukan ekstensifikasi pertanian.
Khusus pertanian di wilayah utara Kabupaten Badung yang meliputi Kecamatan Petang, khususnya Desa Pelaga, dikembangkan produk OVOP (one village one product) dengan komoditi unggulan asparagus.
Pengembangan sayur mayur kualitas terbaik itu mampu mengangkat pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani, sekaligus memenuhi kebutuhan hotel yang bertebaran di wilayah selatan Badung.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Badung I Wayan Suambara mengatakan, pihaknya berupaya membantu mengekspor asparagus yang dihasilkan petani setempat dengan meningkatkan promosi ke berbagai negara tujuan.
Pihaknya masih melakukan negosiasi dan promosi untuk bisa menembus pangsa pasar internasional. Kualitas asparagus yang dibudidayakan petani di Kecamatan Petang tidak diragukan lagi bahkan terbaik di Asia Tenggara.
Dengan kualitas tersebut, yakin akan bisa menembus pangsa pasar internasional yang menjadi cita-cita para petani setempat. Pemkab Badung melalui Dinas Pertanian setempat terus mengupayakan perluasan areal pertanian asparagus sehingga nantinya bisa memenuhi permintaan pasar dari luar dan dalam negeri.
Petani tertarik
I Wayan Suambara menjelaskan, meskipun asparagus belum berhasil menembus pasaran ekspor, namun harganya cukup menjanjikan yakni mencapai Rp12 ribu per kilogram.
Harga yang lumayan baik itu menjadikan petani cukup puas dengan penghasilan tersebut, sehingga banyak masyarakat di daerah Petang beralih untuk mebudidayakan asparagus.
Ia berjanji untuk terus memantau perkembangannya guna menjamin kualitas asparagus. Pengembangan jenis sayur mayur itu mencapai 45 hektare, yang produksinya banyak diserap kalangan hotel dan pusat perbelanjaan, disamping sasaran ekspor.
Bahkan petani setempat telah menghimpun diri dalam wadah koperasi yang siap bermitra dan membina petani dalam mengembangkan asparagus.
Petani yang membudidayakan asparagus pada lahan seluas sepuluh are (1.000 meter persegi) setiap bulannya bisa menghasilkan Rp2,3 juta atau rata-rata Rp230.000 per are setiap bulan.
Pengembangan asparagus pada lahan sepuluh are itu pada awalnya membutuhkan investasi antara Rp18 juta hingga Rp21 juta dengan masa panen selama delapan tahun, disamping setiap bulannya membutuhkan dana perawatan sekitar Rp5 juta.
Berdasarkan hasil perhitungan, petani yang mengembangkan asparagus secara intensif itu investasi yang ditanam sudah bisa dikembangkan pada tahun pertama atau tahun kedua.
Dengan demikian selama enam tahun tinggal merawat sambil menikmati hasil yang lumayan besar, sehingga pengembangan asparagus itu sangat menjanjikan. Petani bisa memanfaatkan modal dari koperasi dengan bunga ringan, setelah tanaman berumur enam bulan sudah dapat dipanen, sekaligus memulai menyicil hutang yang digunakan untuk investasi.
I Made Artana, seorang petani asparagus menjelaskan, proses budi daya dari bibit bijian hingga penyemaian membutuhkan waktu selama tiga bulan. Setelah itu bibit siap ditanam di hamparan sawah.
Selama enam bulan perawatan selanjutnya sudah mulai bisa dipanen, jika dihitung dalam setahun lahan seluas sepuluh are itu menghasilkan sedikitnya Rp30 juta sehingga investasi yang ditanam bisa kembali pada tahun pertama atau kedua.
Pengembangan asparagus itu seluruhnya menggunakan pupuk organik yang berimbang disamping persediaan air yang tidak begitu banyak untuk penyiraman.
Tim Bapenas
Tim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) yang dipimpin Leonardo Sambodo pada pertengahan 2013 sempat meninjau "One Village One Product" (OVOP) Asparagus Desa Plaga, di wilayah utara Badung tersebut.
Kunjungan tim itu bertujuan untuk mengecek program Kementerian Koperasi dan UKM terkait dengan bantuan pusat guna mendukung pengelola OVOP.
Tim Bappenas melihat secara langsung aktivitas Koperasi Tani Mertanadi dalam mengumpulkan produk OVOP dari petani berupa sayuran selain asparagus juga terong ungu, brokoli, pare putih dan tomat.
Demikian pula meninjau usaha pembibitan dan perkebunan asparagus. Leonardo Sambodo memberikan apresiasi terhadap perkembangan sektor pertanian di wilayah utara Badung itu, khususnya menyangkut budi daya asparagus.
Pihaknya yakin dana bantuan yang diterima dari pemerintah pusat sudah dimanfaatkan dengan baik oleh Koperasi Tani Mertanadi. Hal itu dapat dilihat dari aktivitas koperasi yang begitu tinggi dan pemasaran hasil produksi yang terus berkembang.
Untuk itu pengembangan komoditi pertanian asparagus dan sayur mayur dapat lebih diintensifkan guna memenuhi kebutuhan pasar yang sangat luas sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pertanian asparagus Plaga sangat menjanjikan bagi masyarakat, mengingat permintaan asparagus dari konsumen cukup besar dan harganyapun tinggi, sehingga petani sangat bergairah. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Meskipun sebagian lahan telah dipenuhi bangunan hotel dan restoran yang berjejer di sepanjang kawasan Nusa Dua, Jimbaran, Kuta dan Legian, namun Kabupaten Badung masih memiliki hamparan sawah yang luas untuk mengembangkan sektor pertanian, yakni di wilayah tengah sekitar Mengwi dan daerah utara kawasan Petang.
Karenanya, Badung yang dikenal sebagai pusat pengembangan kepariwisataan itu masih sanggup menyabet penghargaan peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dari pemerintah pusat.
Pemkab Badung memberikan penghargaan kepada petani melalui keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), terutama di kawasan jalur hijau. Petani di kawasan jalur hijau tidak lagi membayar PBB, sedangkan sawah di tempat lainnya diberikan keringanan 30 persen.
Sementara lahan pertanian yang sudah beralih fungsi pajaknya dikenakan 100 persen. Ini karena sejak tahun 2005 alih fungsi lahan pertanian di daerah itu mencapai sekitar 100 hektare setiap tahunnya.
Namun berkat kerja keras dan kerja sama dengan berbagai pihak, alih fungsi lahan dapat ditekan hingga sepuluh hektare per tahunnya dan hingga sekarang tetap melakukan ekstensifikasi pertanian.
Khusus pertanian di wilayah utara Kabupaten Badung yang meliputi Kecamatan Petang, khususnya Desa Pelaga, dikembangkan produk OVOP (one village one product) dengan komoditi unggulan asparagus.
Pengembangan sayur mayur kualitas terbaik itu mampu mengangkat pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani, sekaligus memenuhi kebutuhan hotel yang bertebaran di wilayah selatan Badung.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Badung I Wayan Suambara mengatakan, pihaknya berupaya membantu mengekspor asparagus yang dihasilkan petani setempat dengan meningkatkan promosi ke berbagai negara tujuan.
Pihaknya masih melakukan negosiasi dan promosi untuk bisa menembus pangsa pasar internasional. Kualitas asparagus yang dibudidayakan petani di Kecamatan Petang tidak diragukan lagi bahkan terbaik di Asia Tenggara.
Dengan kualitas tersebut, yakin akan bisa menembus pangsa pasar internasional yang menjadi cita-cita para petani setempat. Pemkab Badung melalui Dinas Pertanian setempat terus mengupayakan perluasan areal pertanian asparagus sehingga nantinya bisa memenuhi permintaan pasar dari luar dan dalam negeri.
Petani tertarik
I Wayan Suambara menjelaskan, meskipun asparagus belum berhasil menembus pasaran ekspor, namun harganya cukup menjanjikan yakni mencapai Rp12 ribu per kilogram.
Harga yang lumayan baik itu menjadikan petani cukup puas dengan penghasilan tersebut, sehingga banyak masyarakat di daerah Petang beralih untuk mebudidayakan asparagus.
Ia berjanji untuk terus memantau perkembangannya guna menjamin kualitas asparagus. Pengembangan jenis sayur mayur itu mencapai 45 hektare, yang produksinya banyak diserap kalangan hotel dan pusat perbelanjaan, disamping sasaran ekspor.
Bahkan petani setempat telah menghimpun diri dalam wadah koperasi yang siap bermitra dan membina petani dalam mengembangkan asparagus.
Petani yang membudidayakan asparagus pada lahan seluas sepuluh are (1.000 meter persegi) setiap bulannya bisa menghasilkan Rp2,3 juta atau rata-rata Rp230.000 per are setiap bulan.
Pengembangan asparagus pada lahan sepuluh are itu pada awalnya membutuhkan investasi antara Rp18 juta hingga Rp21 juta dengan masa panen selama delapan tahun, disamping setiap bulannya membutuhkan dana perawatan sekitar Rp5 juta.
Berdasarkan hasil perhitungan, petani yang mengembangkan asparagus secara intensif itu investasi yang ditanam sudah bisa dikembangkan pada tahun pertama atau tahun kedua.
Dengan demikian selama enam tahun tinggal merawat sambil menikmati hasil yang lumayan besar, sehingga pengembangan asparagus itu sangat menjanjikan. Petani bisa memanfaatkan modal dari koperasi dengan bunga ringan, setelah tanaman berumur enam bulan sudah dapat dipanen, sekaligus memulai menyicil hutang yang digunakan untuk investasi.
I Made Artana, seorang petani asparagus menjelaskan, proses budi daya dari bibit bijian hingga penyemaian membutuhkan waktu selama tiga bulan. Setelah itu bibit siap ditanam di hamparan sawah.
Selama enam bulan perawatan selanjutnya sudah mulai bisa dipanen, jika dihitung dalam setahun lahan seluas sepuluh are itu menghasilkan sedikitnya Rp30 juta sehingga investasi yang ditanam bisa kembali pada tahun pertama atau kedua.
Pengembangan asparagus itu seluruhnya menggunakan pupuk organik yang berimbang disamping persediaan air yang tidak begitu banyak untuk penyiraman.
Tim Bapenas
Tim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) yang dipimpin Leonardo Sambodo pada pertengahan 2013 sempat meninjau "One Village One Product" (OVOP) Asparagus Desa Plaga, di wilayah utara Badung tersebut.
Kunjungan tim itu bertujuan untuk mengecek program Kementerian Koperasi dan UKM terkait dengan bantuan pusat guna mendukung pengelola OVOP.
Tim Bappenas melihat secara langsung aktivitas Koperasi Tani Mertanadi dalam mengumpulkan produk OVOP dari petani berupa sayuran selain asparagus juga terong ungu, brokoli, pare putih dan tomat.
Demikian pula meninjau usaha pembibitan dan perkebunan asparagus. Leonardo Sambodo memberikan apresiasi terhadap perkembangan sektor pertanian di wilayah utara Badung itu, khususnya menyangkut budi daya asparagus.
Pihaknya yakin dana bantuan yang diterima dari pemerintah pusat sudah dimanfaatkan dengan baik oleh Koperasi Tani Mertanadi. Hal itu dapat dilihat dari aktivitas koperasi yang begitu tinggi dan pemasaran hasil produksi yang terus berkembang.
Untuk itu pengembangan komoditi pertanian asparagus dan sayur mayur dapat lebih diintensifkan guna memenuhi kebutuhan pasar yang sangat luas sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pertanian asparagus Plaga sangat menjanjikan bagi masyarakat, mengingat permintaan asparagus dari konsumen cukup besar dan harganyapun tinggi, sehingga petani sangat bergairah. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014