Jakarta (Antara Bali) - Anggota Komisi IX DPR Surya Chandra Surapaty mengatakan biaya
perawatan medis rawat inap maupun rawat jalan untuk penyakit-penyakit
terkait rokok di Indonesia mencapai Rp2,1 triliun setiap tahunnya.
"Angkanya sangat besar karena jumlah perokok di Indonesia tertinggi ke-3 di dunia setelah India dan China. Dampak yang tak kalah penting adalah hilangnya produktivitas akibat kematian prematur, mordibitas maupun disabilitas yang jatuh sakit. Diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 105,3 triliun," ujarnya dalam diskusi yang digelar Pusat Studi Hukum dan Pembangunan (PSHP) bertajuk "Dilema APBN Untuk Membiayai Penyakit Terkait Rpkok Dalam Perspektif Asas Keadilan", di Jakarta, Kamis.
Diskusi yang dibuka Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Gufron Mukti menampilkan pembicara Ketua Pusat Studi Hukum dan Pengembang (PSHP) Ade Komaruddin, Anggota Komisi IX/Anggota Badan Anggaran Surya Chandra Surapaty dan Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran, Man S Sastrawidjaja.
Kondisi itu, menurut Surya Chandra, membuat Indonesia bagai jatuh tertimpa tangga pula. Artinya, sudah banyak warganya yang sakit akibat rokok, negara pun harus tekor karena beban APBN yang begitu besar.
"Ketimpangan ini akan semakin terasa jika JKN diterapkan pada 2014, karena anggaran pemerintah yang terbatas itu bisa saja habis untuk mengobati pasien yang disebabkan oleh rokok. Ini tidak boleh terjadi," ucapnya.
Ia mengutip data Balitbangkes 2012 ada sebanyak 384.058 total kasus penyakit yang terkait rokok, 183 ribu diantaranya adalah penyakit paru, 53 ribu kasus penyakit jantung koroner, 47 ribu kasus stroke, 47 ribu kasus berat lahir rendah dan 19 ribu kasus tumor paru dan bronkitis.
"Padahal semua penyakit itu bisa dicegah asalkan tidak merokok. Risiko ini seharusnya juga menjadi beban para perokok, karena sebenarnya mereka tahu risiko atas perilakunya itu. Tak ada jika kemudian, masyarakat yang berusaha sehat dengan tak merokok diambil haknya untuk mendapat layanan kesehatan prima," tuturnya.
Hal itu bisa terjadi, menurut Surya Chandra, karena harga rokok di Indonesia sangat murah, bila dibandingkan harga rokok di negara lain. Di Malaysia harga rokok perbungkusnya mencapai Rp30 ribu. Sedangkan di Singapura, harganya mencapai Rp80 ribu hingga Rp90 ribu.
Ia mengatakan permintaan terhadap rokok, hanya bisa berkurang secara signifikan kalau kenaikan harga rokok dilakukan secara radikal. Sebagai contoh, kalau harga cukai rokok yang Rp375 perbatang dinaikan 300-500 persen menjadi Rp1000- Rp1.500 perbatang, maka harga rokok yang tadinya hanya Rp12 ribu perbungkus menjadi Rp20 ribu sampai Rp30 ribu.
Dampak penerimaan cukai pada sektor rokok akibat naiknya cukai secara radikal akan luar biasa juga mencapai antara Rp250 triliun hingga Rp350 triliun," katanya.
Terkait hal itu, Wamenkes Ali Gufron Mukti mengatakan pihaknya saat ini masih membahas apakah penyakit akibat rokok ditanggung pemerintah atau tidak. Hal itu selain untuk membebani anggaran pemerintah, juga memberi pembelajaran bagi para perokok atas risiko yang telah diambil.
"Tetapi kondisi ini bagi pemerintah dilema juga karena disatu sisi tugas pemerintah memberi layanan kesehatan bagi warganya, tetapi disisi lain tidak ada pembelajaran bagi warga untuk menjaga kesehatan pribadinya," katanya. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Angkanya sangat besar karena jumlah perokok di Indonesia tertinggi ke-3 di dunia setelah India dan China. Dampak yang tak kalah penting adalah hilangnya produktivitas akibat kematian prematur, mordibitas maupun disabilitas yang jatuh sakit. Diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 105,3 triliun," ujarnya dalam diskusi yang digelar Pusat Studi Hukum dan Pembangunan (PSHP) bertajuk "Dilema APBN Untuk Membiayai Penyakit Terkait Rpkok Dalam Perspektif Asas Keadilan", di Jakarta, Kamis.
Diskusi yang dibuka Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Gufron Mukti menampilkan pembicara Ketua Pusat Studi Hukum dan Pengembang (PSHP) Ade Komaruddin, Anggota Komisi IX/Anggota Badan Anggaran Surya Chandra Surapaty dan Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran, Man S Sastrawidjaja.
Kondisi itu, menurut Surya Chandra, membuat Indonesia bagai jatuh tertimpa tangga pula. Artinya, sudah banyak warganya yang sakit akibat rokok, negara pun harus tekor karena beban APBN yang begitu besar.
"Ketimpangan ini akan semakin terasa jika JKN diterapkan pada 2014, karena anggaran pemerintah yang terbatas itu bisa saja habis untuk mengobati pasien yang disebabkan oleh rokok. Ini tidak boleh terjadi," ucapnya.
Ia mengutip data Balitbangkes 2012 ada sebanyak 384.058 total kasus penyakit yang terkait rokok, 183 ribu diantaranya adalah penyakit paru, 53 ribu kasus penyakit jantung koroner, 47 ribu kasus stroke, 47 ribu kasus berat lahir rendah dan 19 ribu kasus tumor paru dan bronkitis.
"Padahal semua penyakit itu bisa dicegah asalkan tidak merokok. Risiko ini seharusnya juga menjadi beban para perokok, karena sebenarnya mereka tahu risiko atas perilakunya itu. Tak ada jika kemudian, masyarakat yang berusaha sehat dengan tak merokok diambil haknya untuk mendapat layanan kesehatan prima," tuturnya.
Hal itu bisa terjadi, menurut Surya Chandra, karena harga rokok di Indonesia sangat murah, bila dibandingkan harga rokok di negara lain. Di Malaysia harga rokok perbungkusnya mencapai Rp30 ribu. Sedangkan di Singapura, harganya mencapai Rp80 ribu hingga Rp90 ribu.
Ia mengatakan permintaan terhadap rokok, hanya bisa berkurang secara signifikan kalau kenaikan harga rokok dilakukan secara radikal. Sebagai contoh, kalau harga cukai rokok yang Rp375 perbatang dinaikan 300-500 persen menjadi Rp1000- Rp1.500 perbatang, maka harga rokok yang tadinya hanya Rp12 ribu perbungkus menjadi Rp20 ribu sampai Rp30 ribu.
Dampak penerimaan cukai pada sektor rokok akibat naiknya cukai secara radikal akan luar biasa juga mencapai antara Rp250 triliun hingga Rp350 triliun," katanya.
Terkait hal itu, Wamenkes Ali Gufron Mukti mengatakan pihaknya saat ini masih membahas apakah penyakit akibat rokok ditanggung pemerintah atau tidak. Hal itu selain untuk membebani anggaran pemerintah, juga memberi pembelajaran bagi para perokok atas risiko yang telah diambil.
"Tetapi kondisi ini bagi pemerintah dilema juga karena disatu sisi tugas pemerintah memberi layanan kesehatan bagi warganya, tetapi disisi lain tidak ada pembelajaran bagi warga untuk menjaga kesehatan pribadinya," katanya. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013