Kepolisian Daerah(Polda) Bali mengantisipasi potensi aksi massa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang saat ini tinggal menunggu disahkan dalam sidang paripurna DPR Republik Indonesia.
 
Kepala Biro Operasi Polda Bali Komisaris Besar Polisi Soelistijono saat ditemui di Lapangan Niti Mandala, Renon Denpasar, Kamis mengatakan Polda Bali memang tidak ada persiapan khusus, namun antisipasi terus ditingkatkan  untuk mengawal aksi unjuk rasa yang akan dilaksanakan oleh mahasiswa maupun organisasi masyarakat sipil.

"Tidak ada hal khusus yang kami tingkatkan, tetapi kita sudah rutinitas," katanya didampingi Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol. Jansen Avitus Panjaitan.

Soelistijono menjelaskan di wilayah hukum Polda Bali hingga saat ini belum ada informasi ada permohonan izin dari mahasiswa ataupun masyarakat untuk melaksanakan aksi demonstrasi.

"Aksi mahasiswa sampai dengan sekarang belum ada permohonan izin," kata mantan Direktur Polairud Polda Bali itu.

Baca juga: Polisi kerahkan 1.273 personel untuk jaga aksi di MK

Dia menyatakan wilayah hukum Polda Bali hingga kini masih aman. Dirinya berharap situasi yang kondusif di Bali saat ini dapat bertahan hingga pelaksanaan Pemilihan Umum Gubernur maupun Bupati/Wali kota yang kini akan segera memasuki tahap pendaftaran.

"Di Bali secara menyeluruh, informasi dari intel dan jajaran sampai dengan putusan MK itu belum ada riak-riak di Bali. Mudah-mudahan ini sampai dengan pelaksanaan Pilkada," kata dia.
 
Berdasarkan informasi yang beredar luas di media sosial dan juga flyer yang diterima ANTARA, salah satu pihak yang berencana melakukan aksi penolakan terhadap revisi UU Pilkada adalah BEM Universitas Udayana.

Akun resmi BEM Universitas Udayana juga telah mengeluarkan undangan untuk menghadiri acara konsolidasi di Kampus Sudirman, Denpasar guna menolak revisi UU Pilkada yang akan disahkan DPR dalam rapat paripurna DPR RI.

Ketua BEM Universitas Udayana Wayan Tresna yang dikonfirmasi terkait rencana aksi tersebut belum memberikan jawaban hingga berita ini ditulis.

Baca juga: Polisi kerahkan dua ribu lebih personel untuk jaga aksi unjuk rasa di depan Gedung Parlemen

Sebelumnya, Selasa (20/8), Mahkamah Konstitusi memutuskan dua putusan terkait tahapan pencalonan kepala daerah, yakni Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.

Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Sementara, Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Putusan itu menggugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung sebelumnya yang menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.

Namun, pada Rabu (21/8), Badan Legislasi DPR RI menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.

Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada itu.

Pertama, penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.

Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada dengan memberlakukan hanya bagi partai non parlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.
 

Pewarta: Rolandus Nampu

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024