Daswani Marzuki berdiri mengantre bersama ibu-ibu lainnya di bawah tenda yang disiapkan fasilitator tempat pemungutan suara Kotak Suara Keliling (KSK) 112 di Hulu Langat, Selangor, Malaysia, Minggu (4/2), menghindari sengatan matahari yang tepat berada di ubun-ubun.
Perempuan 51 tahun asal Sungai Penuh, Kerinci, Jambi, yang sudah menjadi pekerja migran di Malaysia sejak 1991 itu mengaku memang menunggu datangnya Pemilu 2024. Alasan Daswani mungkin sama dengan yang lain, berharap ada perubahan yang lebih baik di Indonesia.
Ia mengeluhkan soal kesempatan kerja. Anaknya di Jambi sudah beberapa tahun terakhir mengikuti tes masuk aparatur negeri sipil (ASN), tapi tidak pernah berhasil. “Entah terakhir tes apa. Dia bilang P3K, (tapi) saya tak paham," ujarnya. P3K merujuk aparatur
pemerintah dengan status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.
Sekarang ini, lanjutnya, beribu-ribu anak Kerinci menyelesaikan kuliah tapi kebanyakan akhirnya datang ke Malaysia. “Di sana (Kerinci) tidak ada kerja apa-apa. Lah (sudah) dapat S-1, S-2, lantas apa? Akhirnya sampai sini (Malaysia) juga," katanya.
Ia mengaku sangat prihatin pada anak-anak muda di Indonesia yang sekolah tinggi-tinggi malah akhirnya datang ke Malaysia. “Kadang kena tangkap, kena apalah. Harusnya terbukalah peluang kerja di Indonesia,” keluhnya.
Ia berharap di Indonesia ada perubahan, mereka yang sudah selesai sekolah bisa langsung mendapat peluang masuk menjadi ASN.
Daswani mengaku tidak kenal dengan calon-calon presiden dan wakil presiden, apalagi calon-calon anggota legislatif yang bertanding merebutkan suaranya pada Pemilu 2024 ini. Namun dirinya tetap semangat hendak menyalurkan hak suara.
“Siapa yang menang, kita sokong saja. Siapa yang menang, kita semua menang,” ujar Daswani, yang mengaku awalnya datang ke Malaysia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Nur Susilawati Anwar punya harapan yang sama dari hasil Pemilu 2024 nanti. “Maunya Indonesia jadi lebih baik. Kita pingin dekat (di) sana ada pekerjaan yang lebih baik,” kata nenek dua cucu itu.
Ia datang ke Malaysia sejak 1996 dari Kerinci, Jambi, mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan akhirnya bertemu jodoh di sana. Pada masa itu, setahun sekali dirinya pulang ke kampung halaman, mengingat anak-anaknya masih kecil-kecil dan dititipkan di sana.
Namun setahun terakhir, setelah suaminya meninggal dunia, anak-anaknya yang menemaninya di Malaysia. Jika bisa memilih mungkin dirinya akan memilih pulang ke kampung halaman, tapi itu berarti anak-anaknya akan kesulitan lagi mencari pekerjaan.
Wahyudi (20) yang baru bekerja di Malaysia setahun terakhir ini juga memiliki harapan yang sama untuk siapa pun nanti presiden dan wakil yang terpilih dalam Pemilu 2024 ini. Ia berharap pemimpin baru nanti bisa membawa Indonesia menjadi lebih maju dan berkembang.
“Untuk Bapak Presiden, (tolong) bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya di Republik Indonesia. Dan juga memerhatikan pekerja migran Indonesia yang ada di luar negeri,” ujar laki-laki muda asal Kerinci, Jambi, itu.
Di tempat dan waktu yang berbeda, Yuni Januarti (44) asal Sleman, Yogyakarta, yang sedang menunggu antrean mengurus dokumen di luar Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, mengaku juga punya harapan sendiri dengan pemimpin baru yang akan memimpin Indonesia.
Ia tampak bersemangat saat ditanya soal pemilu. Ia ingin sekali bisa ikut menyalurkan suara, meski belum mengetahui apakah sudah terdaftar atau tidak dalam Daftar Pemilih Tetap Luar Negeri (DPTLN) Kuala Lumpur.
Yuni yang sudah pernah merasakan bekerja di salah satu pabrik sepatu di Tangerang dan bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi pada 2004 selama 5 tahun itu memiliki harapan agar presiden mendatang mampu membuka lapangan dan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya di Indonesia dengan upah yang juga layak.
Meski anak-anaknya kini sudah ada yang lulus dari bangku kuliah dan bekerja, perempuan paruh baya yang selalu tampak ceria itu mengaku belum ingin pulang. Dirinya masih belum mempunyai ide usaha yang tepat sehingga dapat menghasilkan jumlah yang sama seperti ketika bekerja di Malaysia.
Perbandingan pendapatan dengan bekerja di Malaysia, menurut dia, cukup jauh jika dibandingkan dirinya mengerjakan pekerjaan yang sama di Indonesia. Akan terasa berat saat pulang ke tanah air, namun harus menerima upah yang jauh lebih rendah dari yang biasa diterimanya sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia.
Sekalipun kini Yuni tidak lagi terbebani dengan biaya kuliah anak-anaknya, ia mengaku takut jika memutuskan pulang dan ternyata tidak bisa mendapat pekerjaan atau penghasilan lagi.
Ada pula Nurmawati (49) asal Kota Medan, Sumatera Utara, yang mengaku baru sekitar 1,5 tahun menjadi pekerja migran di Malaysia. Dirinya bekerja sebagai tenaga pembersih di sebuah perusahaan di Hulu Kinta, Ipoh, Perak.
Ia juga mengatakan sangat ingin bisa menyalurkan suara pada Pemilu 2024. Namun sama halnya dengan Yuni, dirinya tidak tahu caranya, dan tidak pernah menerima informasi terkait cara agar bisa mengikuti pemungutan suara di Malaysia.
Ia mengaku ingin ikut serta menentukan presiden Indonesia berikutnya. Dan berharap, pemimpin baru bisa memberikan perubahan yang lebih baik, terutama yang bisa membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Riki Prayoga, pekerja migran asal Jawa Timur, sudah lebih dari 7 tahun bekerja di Malaysia sebagai buruh bangunan. Kepada ANTARA dirinya mengaku berasal dari Kota Surabaya.
Sulitnya mendapat pekerjaan di sana menjadi alasan dirinya menjadi migran di Malaysia. Ia mengatakan kemampuannya ternyata lebih dibutuhkan dan memiliki harga di negeri jiran karena itu dirinya memutuskan terus bekerja di sana.
Jika Nurmawati yang berasal dari tengah Kota Medan dan Riki Prayoga yang berasal dari tengah Kota Surabaya saja sulit untuk mendapatkan pekerjaan, lalu bagaimana mereka yang berasal dari kampung, desa, pelosok Indonesia?
Ketersediaan lapangan kerja, itulah yang menjadi pesan kuat para pekerja migran Indonesia di Malaysia, kepada siapa pun yang besok akan memimpin Indonesia. Karena, dalam hati kecil mereka tetap berharap ada kesempatan kerja di Indonesia sehingga tidak perlu meninggalkan tanah air.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024
Perempuan 51 tahun asal Sungai Penuh, Kerinci, Jambi, yang sudah menjadi pekerja migran di Malaysia sejak 1991 itu mengaku memang menunggu datangnya Pemilu 2024. Alasan Daswani mungkin sama dengan yang lain, berharap ada perubahan yang lebih baik di Indonesia.
Ia mengeluhkan soal kesempatan kerja. Anaknya di Jambi sudah beberapa tahun terakhir mengikuti tes masuk aparatur negeri sipil (ASN), tapi tidak pernah berhasil. “Entah terakhir tes apa. Dia bilang P3K, (tapi) saya tak paham," ujarnya. P3K merujuk aparatur
pemerintah dengan status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.
Sekarang ini, lanjutnya, beribu-ribu anak Kerinci menyelesaikan kuliah tapi kebanyakan akhirnya datang ke Malaysia. “Di sana (Kerinci) tidak ada kerja apa-apa. Lah (sudah) dapat S-1, S-2, lantas apa? Akhirnya sampai sini (Malaysia) juga," katanya.
Ia mengaku sangat prihatin pada anak-anak muda di Indonesia yang sekolah tinggi-tinggi malah akhirnya datang ke Malaysia. “Kadang kena tangkap, kena apalah. Harusnya terbukalah peluang kerja di Indonesia,” keluhnya.
Ia berharap di Indonesia ada perubahan, mereka yang sudah selesai sekolah bisa langsung mendapat peluang masuk menjadi ASN.
Daswani mengaku tidak kenal dengan calon-calon presiden dan wakil presiden, apalagi calon-calon anggota legislatif yang bertanding merebutkan suaranya pada Pemilu 2024 ini. Namun dirinya tetap semangat hendak menyalurkan hak suara.
“Siapa yang menang, kita sokong saja. Siapa yang menang, kita semua menang,” ujar Daswani, yang mengaku awalnya datang ke Malaysia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Nur Susilawati Anwar punya harapan yang sama dari hasil Pemilu 2024 nanti. “Maunya Indonesia jadi lebih baik. Kita pingin dekat (di) sana ada pekerjaan yang lebih baik,” kata nenek dua cucu itu.
Ia datang ke Malaysia sejak 1996 dari Kerinci, Jambi, mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan akhirnya bertemu jodoh di sana. Pada masa itu, setahun sekali dirinya pulang ke kampung halaman, mengingat anak-anaknya masih kecil-kecil dan dititipkan di sana.
Namun setahun terakhir, setelah suaminya meninggal dunia, anak-anaknya yang menemaninya di Malaysia. Jika bisa memilih mungkin dirinya akan memilih pulang ke kampung halaman, tapi itu berarti anak-anaknya akan kesulitan lagi mencari pekerjaan.
Wahyudi (20) yang baru bekerja di Malaysia setahun terakhir ini juga memiliki harapan yang sama untuk siapa pun nanti presiden dan wakil yang terpilih dalam Pemilu 2024 ini. Ia berharap pemimpin baru nanti bisa membawa Indonesia menjadi lebih maju dan berkembang.
“Untuk Bapak Presiden, (tolong) bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya di Republik Indonesia. Dan juga memerhatikan pekerja migran Indonesia yang ada di luar negeri,” ujar laki-laki muda asal Kerinci, Jambi, itu.
Di tempat dan waktu yang berbeda, Yuni Januarti (44) asal Sleman, Yogyakarta, yang sedang menunggu antrean mengurus dokumen di luar Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, mengaku juga punya harapan sendiri dengan pemimpin baru yang akan memimpin Indonesia.
Ia tampak bersemangat saat ditanya soal pemilu. Ia ingin sekali bisa ikut menyalurkan suara, meski belum mengetahui apakah sudah terdaftar atau tidak dalam Daftar Pemilih Tetap Luar Negeri (DPTLN) Kuala Lumpur.
Yuni yang sudah pernah merasakan bekerja di salah satu pabrik sepatu di Tangerang dan bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi pada 2004 selama 5 tahun itu memiliki harapan agar presiden mendatang mampu membuka lapangan dan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya di Indonesia dengan upah yang juga layak.
Meski anak-anaknya kini sudah ada yang lulus dari bangku kuliah dan bekerja, perempuan paruh baya yang selalu tampak ceria itu mengaku belum ingin pulang. Dirinya masih belum mempunyai ide usaha yang tepat sehingga dapat menghasilkan jumlah yang sama seperti ketika bekerja di Malaysia.
Perbandingan pendapatan dengan bekerja di Malaysia, menurut dia, cukup jauh jika dibandingkan dirinya mengerjakan pekerjaan yang sama di Indonesia. Akan terasa berat saat pulang ke tanah air, namun harus menerima upah yang jauh lebih rendah dari yang biasa diterimanya sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia.
Sekalipun kini Yuni tidak lagi terbebani dengan biaya kuliah anak-anaknya, ia mengaku takut jika memutuskan pulang dan ternyata tidak bisa mendapat pekerjaan atau penghasilan lagi.
Ada pula Nurmawati (49) asal Kota Medan, Sumatera Utara, yang mengaku baru sekitar 1,5 tahun menjadi pekerja migran di Malaysia. Dirinya bekerja sebagai tenaga pembersih di sebuah perusahaan di Hulu Kinta, Ipoh, Perak.
Ia juga mengatakan sangat ingin bisa menyalurkan suara pada Pemilu 2024. Namun sama halnya dengan Yuni, dirinya tidak tahu caranya, dan tidak pernah menerima informasi terkait cara agar bisa mengikuti pemungutan suara di Malaysia.
Ia mengaku ingin ikut serta menentukan presiden Indonesia berikutnya. Dan berharap, pemimpin baru bisa memberikan perubahan yang lebih baik, terutama yang bisa membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Riki Prayoga, pekerja migran asal Jawa Timur, sudah lebih dari 7 tahun bekerja di Malaysia sebagai buruh bangunan. Kepada ANTARA dirinya mengaku berasal dari Kota Surabaya.
Sulitnya mendapat pekerjaan di sana menjadi alasan dirinya menjadi migran di Malaysia. Ia mengatakan kemampuannya ternyata lebih dibutuhkan dan memiliki harga di negeri jiran karena itu dirinya memutuskan terus bekerja di sana.
Jika Nurmawati yang berasal dari tengah Kota Medan dan Riki Prayoga yang berasal dari tengah Kota Surabaya saja sulit untuk mendapatkan pekerjaan, lalu bagaimana mereka yang berasal dari kampung, desa, pelosok Indonesia?
Ketersediaan lapangan kerja, itulah yang menjadi pesan kuat para pekerja migran Indonesia di Malaysia, kepada siapa pun yang besok akan memimpin Indonesia. Karena, dalam hati kecil mereka tetap berharap ada kesempatan kerja di Indonesia sehingga tidak perlu meninggalkan tanah air.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024